Bab 16
Plak!
Nadira terkejut, tidak menyangka Yohan masih sebegitu percaya dirinya!
'Dasar muka tembok! Jangan bikin novel sendiri, dong!' maki Nadira dalam hati, merasa konyol.
Sebuah tawa penuh emosi terlepas dari bibirnya, dingin dan tajam, bahkan merasuk hingga ke hati dan merayap ke tenggorokan. "Kamu memuakkan, Yohan! Saking muak dan najis, aku sampai malu mendengar omonganmu! Pikirmu masih bisa memanfaatkanku? Mimpi sana!" bentaknya penuh kebencian.
"Kamu ..." Yohan menatap dengan wajah suram, tidak menyangka Nadira menolaknya mentah-mentah. "Sudah diberi kesempatan, malah ditolak! Kalau sampai kamu menyesal suatu hari nanti, jangan salahkan aku yang nggak sudi menerimamu lagi!" bentak Yohan tidak kalah keras, tidak terima dengan penolakan tersebut.
'Hahaha! Menyesal?'
Nadira menatapnya muak, perutnya terasa mual sampai nyaris tertawa keras. 'Ya, tunggulah hari itu datang sekalipun kiamat sudah datang!'
Langit makin mendung, rintik hujan mulai turun perlahan, terasa dingin saat menyentuh kultinya. Usai berjalan jauh dengan amarah yang masih membara, Nadira baru menyadari seluruh tubuhnya sudah basah kuyup oleh hujan.
Nadira pun memanggil taksi dan pulang ke rumah.
Di depan vila, baru turun dari mobil dan belum sempat menata suasana hatinya, dia bertemu L yang baru saja pulang.
Pria tinggi itu berdiri tegap, tatapannya tajam dan mendalam. Tubuhnya tingginya, dengan kaki jenjang bak model profesional, membuat dirinya tampak memancarkan aura yang begitu memikat, seakan-akan dunia di sekitar terhenti sejenak.
L mengernyitkan dahi, menatapnya penuh perhatian. "Kamu habis apa sampai mirip mayat hidup begitu? Kalau kamu demam gara-gara kehujanan, bisa-bisa anakku ikut demam!" ujarnya.
Nadira hanya bisa terdiam.
Meskipun terdengar kasar, pertanyaan bernada dingin yang L lontarkan serasa tengah mengingatkannya bahwa bayi di perutnya bukan anak haram.
L sangat menghargai anak itu dan Nadira tidak perlu merasa terluka oleh kata-kata Yohan yang penuh kebencian.
Perasaan kesepian yang selama ini sulit dijelaskan perlahan agak mereda.
Di bawah tekanan, Nadira membalas dengan suara pelan. "Pak L, janin nggak mungkin bisa demam. Kalau demam, yang sakit juga hanya aku."
L langsung terdiam. 'Jadi, dia mau adu kepintaran sama aku?' pikirnya.
Pria itu mendengus dingin. "Cepat masuk dan ganti pakaianmu!"
"Ya," jawab Nadira cepat, lalu masuk ke rumah.
Setelah berganti pakaian, Nadira menuju ruang tamu dan mendapati ibu L sedang diam-diam menyelipkan camilan. Takut dimarahi putranya, Nyonya Besar segera menyeret Nadira ke dalam aksinya, memasukkan camilan itu ke mulut Nadira. "Nadira, ini untukmu!" katanya dengan senyum lebar.
"Ibu, buang dulu krimnya. Itu nggak bagus untuk ibu hamil," tegur L kepada ibunya.
Pria itu sedang terduduk di kursi sofa.
Nyonya Besar, tanpa berkata apa-apa, langsung menurut dan begitu patuh sambil menepuk dadanya. "Nak, Ibu nggak makan sedikit pun, kok."
Pria itu melihat ibunya dengan tatapan tidak percaya!
Nyonya Besar mengerucutkan bibir.
Nadira senang melihatnya. Hubungan mereka yang begitu harmonis agak menenangkan hatinya.
Kemudian, L beralih menyelesaikan pekerjaannya. Tangannya bergerak untuk melepas dasi. Namun, saat sorot matanya yang dalam tidak sengaja menangkap krim susu menempel di bibir Nadira, dia berhenti sejenak.
Dengan tatapan tajam, dia menunjuk bibir Nadira. "Kamu itu bayi kucing yang masih menyusu, ya?"
Nadira mengangkat wajah, matanya yang besar dan penuh kebingungan berbinar.
"Di sini." Dia mengangkat alis, mengisyaratkan.
"Di mana?" Nadira belum juga menemukan maksud yang dituju.
"Aduh, kalian berdua repot banget," ujar Nyonya Besar sambil mendekat. Dengan lembut, dia mengangkat ibu jari L dan mengusapnya perlahan di dekat mulut Nadira.
"Tuh. Beres, 'kan?" Senyum nakal terukir di wajah wanita tua itu. Belum sempat putranya bereaksi, Nyonya Besar mengarahkan tangan L ke bibir Nadira dengan gesit, lalu terdengar suara kecupan pelan. Nadira dapat melihat bagaimana bibir pria itu mengecap dan menelan sisa krim susu yang masih menempel di bibirnya.
Rasa kaget dan canggung sontak menyergap Nadira, otaknya serasa siap meledak.
Pria itu, L, malah tampak tenang saat menelan sisa krim dari bibirnya. Bukannya merasa muak, L justru menatapnya penuh arti.
Wajah Nadira sontak merah padam.
Sementara itu, Nyonya Reva menatap putranya dengan wajah penuh arti, mencubit L dengan gemas. "Bagaimana? Manis, 'kan?"
Nadira menggigit bibirnya, berusaha menahan malu.
Pria bermata hitam itu menyentuh bibir merah Nadira, lalu suara rendah dan ambigu miliknya menjawab, "Hmm, manis."
Entah karena busa susu yang manis atau karena sesuatu yang lain, suara L meluncur dengan pesona yang begitu menggoda.
Jantung Nadira berdegap kencang. Nadira buru-buru menjilat bibirnya, takut ada sisa krim yang tertinggal.
Namun, tatapan L makin dalam. Matanya mengamati gerakannya dengan gelisah dan segera melepas dasinya.
L terlihat lebih gelisah dari sebelumnya dan Nadira bisa melihat jakunnya bergerak naik turun. Wajahnya seketika merona.
Apakah dia baru saja melakukan kesalahan?
Nadira merasa kebingungan.
L pun beranjak bangkit dan meminum segelas air dingin.
"Aduh! Di sini serasa panas, ya? Bi Sunny, AC belum hidup, ya?" teriak Nyonya Reva sengaja menjahili suasana.
Bi Sunny tersenyum mendengarnya. "Sudah dibuka, Nyonya Besar."
"Sudah, sampai di sini saja," ucap L dengan nada dingin seraya beranjak pergi ke lantai atas.
Nyonya Reva menjulurkan lidah, mengerjai putranya yang sudah pergi. Lalu, matanya beralih pada Nadira, tampak patuh menikmati makanan penutup. Wanita itu tersenyum nakal dan membuka tablet, terdengar pelan saat berbisik, "Nadira, tahu nggak? Sore tadi, Ibu bilang sama dia mau belikan kamu beberapa baju, lalu kukirim beberapa pilihan. Tapi, malah dia yang pilih sendiri. Tebak, suamimu pilih apa?"
Nadira justru kaget mendengar mertuanya bisa berbelanja secara online!
Dengan cepat, Nyonya Reva menunjuk sebuah gambar di layar. "Lihat, deh! Ibu benar-benar nggak menyangka selera bocah itu seliar ini!"
Nadira menundukkan kepalanya dan melihat sepasang rok plisket mini.
Sontak Nadira tertegun canggung.
Nadira menggigit bibirnya lagi. Pikirannya langsung kembali ke pakaian yang dia kenakan pagi tadi saat bertemu dengan musuh bebuyutannya. 'Apa ini hanya kebetulan?'
'Kenapa L juga suka pakaian begini?'
...
Dalam kamar pengantin mewah di kediaman keluarga Winata, Sabrina berhasil membujuk Yohan dengan akting penuh tangis dan sikap manja.
"Kak Yohan, kumohon, maafkan aku! Aku nggak hamil, aku hanya ingin membuatmu senang. Ini karena Ibu Daisy selalu menolakku, aku benar-benar kehabisan cara ..."
Sabrina tampak rapuh hingga sengaja menarik Yohan ke tepi ranjang. Perlahan, dia melepas gaunnya, memperlihatkan bahu yang menggoda. Tatapannya dalam dan penuh godaan. "Aku mencintaimu ..." bisiknya, terdengar begitu menggetarkan hati.
Yohan memicingkan mata, menatap Sabrina dengan tajam. "Jangan alihkan topik! Lalu, siapa pria itu?"
Sabrina merasa hampa, bersama air mata yang segera meluncur. Dia menangis, suaranya terdengar patah-patah. "Kamu sungguh percaya ucapan Kak Nadira? Dia mengeluarkan foto palsu buat menuduhku, kamu juga nggak percaya sama aku? Kalau gitu, lebih baik aku mati saja."
Sabrina memukul dada Yohan dengan lembut, menangis manja. "Kenapa kamu nggak bisa mengerti, sih? Aku hanya punya kamu! Waktu itu, aku masih muda dan segala yang pertama kali kumiliki sudah kuberikan padamu."
Saat itu, Nadira saja tidak memberinya ciuman pertama. Sementara itu, Sabrina, yang masih belia, sudah dinodai oleh Yohan yang tidak mampu lagi menahan gejolak nafsunya.
Dengan gerakan perlahan, Sabrina menjatuhkan tubuh Yohan ke ranjang. "Kalau kamu mau banget punya bayi, kita bisa mengusahakannya."
"Hei, Gadis Nakal, jangan kira karena sikap manjamu, aku akan ..."
"Kakak Nakal, aku tahu apa yang paling kamu suka," sela Sabrina, terlihat begitu malu-malu.
Kali ini, Yohan hampir tidak bisa menahan serangan perasaan. Di bawah ranjang, dia tampak polos sekaligus penuh gairah ... entah berapa besar perbedaannya ketimbang Nadira yang kaku bagai kayu.
Namun, setiap kali momen seperti ini datang, wajah cantik Nadira selalu hadir dalam benaknya. Jika saja wanita itu tidak terlalu konservatif dan tidak menjauh darinya delapan tahun terakhir, mungkin dia tidak akan jatuh cinta pada Sabrina.
'Cuih, masih bilang dirimu suci, Nadira? Sekarang, kamu dikotori oleh seorang preman. Berani-beraninya menolakku!' batin Yohan kesal.
Yohan mengepalkan tangan, marah dan kecewa pun menggelora.
Satu jam kemudian, Sabrina keluar dan menutup pintu kamar perlahan.
Prita sudah menunggu di luar. "Bagaimana? Berhasil membujuknya?"
Sabrina sangat puas. "Tenang saja, Bu. Nadira mungkin mengira sudah menghancurkan hubungan kami, tapi dia nggak tahu kalau Yohan sudah sepenuhnya di tanganku. Yohan saja nggak sempat berpikir meninggalkan aku."
"Ibu memang hebat! Ibu memang ahli mengendalikan pria," puji Sabrina, merasa bangga karena telah mewarisi keahlian ibunya.
Ada sedikit kebanggaan yang Prita rasakan. Dia memang berhasil perihal mengendalikan Halim, suaminya.
"Sudah, sudah. Cepat minum obat. Kalau nggak, nanti kamu nggak subur. Untung Yohan nggak curiga sama perbaikan itu."
"Mana mungkin, justru karena selaput yang aku perbaiki itu, dia sekarang sangat menyayangiku," ucap Sabrina dengan bangga.
"Walaupun Yohan itu anak haram, Tuan Besar keluarga Salim sangat sayang padanya. Yohan pasti diangkat menjadi pewaris perusahaan. Kamu sudah susah payah merebut posisi Nadira, pastikan untuk menjaganya baik-baik," kata Prita, mengingatkan Sabrina.
Namun, Sabrina tidak menganggapnya serius dan berkata, "Keluarga Salim memang salah satu dari empat keluarga besar, tapi masih tertinggal jauh kalau dibandingkan dengan keluarga Lionel."
"Keluarga Lionel begitu terkenal, mana mungkin kita bisa mendekatinya? Keluarga Lionel itu harus bergantung pada kakak sepupumu," jawab Prita, menunjukkan senyum bangga.
Sabrina tahu, dia punya seorang kakak sepupu yang sangat hebat. Wanita itu selalu menjaga hubungan dekat dengan Tuan Ketiga dari keluarga Lionel yang terkenal kuat dan misterius itu.
Cepat atau lambat, dengan mendekati keluarga Lionel, keluarga Winata akan ikut naik daun. Sementara out, nasib Nadira hanya akan berakhir terusir dari keluarga Winata.
Sabrina teringat kejadian memalukan yang dia alami hari ini, membuatnya menggertakkan gigi. "Di hotel, ada banyak orang merekam video palsu tentang keguguranku. Wanita jalang itu mempermalukanku di depan umum. Kalau video itu sampai ke Ibu Daisy, pernikahanku dengan Yohan pasti akan hancur."
"Nadira juga mengancam akan memenangkan Lomba Perhiasan Tingkat Provinsi dan berencana merebut Ruby Jewelry. Ibu, jangan biarkan wanita jalang itu terus mengacau!"
"Ibu akan membantumu membereskan dia. Tunggu saja, Nadira. Tamat sudah riwayatmu."
Tatapan Prita begitu dingin. Setelah berpikir sejenak, dia pun melangkah ke ruang kerja Halim.