Bab 11
Yohan segera meraih tangan Nadira, membuatnya melempar tatapan dingin nan tajam ke arah pria berengsek itu.
Hatinya yang beku lagi-lagi menerima sayatan luka mendalam.
Cinta mereka terjalin delapan tahun, bahkan Yohan pernah bilang, dirinya adalah anak haram keluarga Salim. Oleh karena itu, dia sangat menghargai pentingnya sebuah keluarga utuh.
Bahkan, dia berkata ingin memiliki banyak anak bersama Nadira.
Namun, sekarang, semua berubah. Semua keinginan itu beralih untuk dia jalankan bersama Sabrina.
"Aku justru mau lihat, anak macam apa yang bisa terlahir dari pasangan bajingan hingga wanita murahan macam kalian! Cepat atau lambat, kalian pasti masuk neraka!" Nadira menghempas keras genggaman Yohan, lalu berbalik pergi.
Yohan mengernyit. Tanpa sadar, matanya mengikuti bayangan tubuh ramping Nadira yang makin menjauh..
Menyadari arah pandang Yohan, wajah Sabrina langsung suram.
'Sialan! Aku nggak akan biarkan wanita jalang itu ambil alih perusahaan, apalagi dekat-dekat sama Yohan!' teriak Sabrina dalam hati.
...
Ruby Jewelry, tepatnya di lantai dasar.
Melihat Nadira keluar gedung dengan raut wajah dingin, Yovita buru-buru mendekatinya. "Bagaimana? Ada pemegang saham yang mau dukung kamu?"
Nadira menggeleng. "Nggak, pebisnis memang memihak keuntungan saja. Mereka nggak mungkin berani mengkhianati keluarga Winata saat ini. Tapi, barusan, aku sudah putus kerja sama dengan Yohan. Aku juga berhasil memancing Sabrina untuk terima taruhanku."
"Kerja bagus! Eh, tunggu. Taruhan apa?" tanya Yovita penasaran.
"Di ajang Lomba Perhiasan Tingkat Provinsi bulan depan, kalau aku menang, aku akan kembali menjabat sebagai Direktur Utama perusahaan."
"Gila! Seranganmu tepat sasaran! Lalu, bagaimana sama si dua bajingan itu? Nyali mereka pasti langsung ciut!"
"Ciut apa nggak, aku kurang tahu. Tapi, semua pemegang saham Ruby Jewelry nggak ada yang percaya bahwa aku bisa menang. Mereka lebih mendukung Sabrina dan mengejekku habis-habisan," ucap Nadira dengan tatapan dingin.
Yovita menggertakkan giginya geram, kemudian segera membuka laptop. "Cuih, dasar para orang tua! Mereka belum tahu kemampuanmu, huh!"
"Pokoknya, kita harus menang!"
"Coba kucek dulu. Hmm, Lomba Perhiasan Tingkat Provinsi dilaksanakan di bulan Oktober. Perusahaan penyelenggara tahun ini adalah Royal Jewel, sekaligus bertindak sebagai juri utama dari perlombaan ..."
Suara Yovita mendadak terhenti.
Nadira terkejut hingga wajahnya kaku, kemudian berbalik penuh amarah. "Apa nama perusahaan perhiasan yang barusan kamu ucap?"
Yovita menelan ludah, gugup. "Raja Dunia Perhiasan, sekaligus musuh bebuyutanmu, Royal Jewel. Mereka yang pegang kendali kompetisi ini."
Seketika, suasana dalam mobil berubah hening.
Yovita menoleh, mendapati Nadira, tampak penuh amarah hingga matanya melotot tajam.
"Uh ... apa itu CEO Royal Jewel yang kirim surel buat kamu, lalu asal bunyi kalau dadamu kecil itu, ya?" bisik Yovita hati-hati.
"Aku juga pernah menyumpahi dia impotensi!" teriak Nadira kesal.
"Ya, berarti impas dong," balas Yovita, hampir gagal menahan tawa. "Royal Jewel itu perusahaan terbesar di bidang perhiasan. Tapi, bosnya misterius sekali. Dengar-dengar, pemiliknya dari keluarga Lionel, Tuan Ketiga keluarga Lionel. Tapi, aku sungguh nggak habis pikir sama kamu yang terlibat dengan orang macam dia, bahkan setiap hari berhadapan dengan banyak perusahaan besar."
"Kamu nggak paham. Ini bukan soal dendam ke bosnya saja, tapi keluarga Lionel sudah bermusuhan sama kakekku dari dulu! Setiap proyek yang ditargetkan Ruby Jewelry selalu dirampas mereka! Beberapa tahun lalu, gara-gara aku menolong seorang pria dengan gangguan kecemasan di provinsi sebelah, aku sampai kalah tender proyek besar. Sumpah, aku nggak akan lupa kejadian itu seumur hidup!"
"Oke, oke," balas Yovita, pasrah mendengarkan umpatan Nadira.
'Eh, bagaimana kalau si Pak Lionel ternyata masih muda?'
'Wah, pasangan musuh bebuyutan ini bisa serasi banget, dong?' pikir Yovita, merasa gemas saat membayangkan keduanya.
Yovita menghela napas. "Lagi pula, kamu belum pernah lihat wajah asli Pak Lionel itu, 'kan? Belum tahu wajah asli, masa sudah dendam begitu."
"Begini. Sekarang, tujuan utama kita itu harus menang dari Sabrina! Jadi, kamu harus cari cara biar Pak Lionel dukung kamu. Dia juri lomba nanti, lho!" lanjut Yovita.
Pergerakan jarinya di atas laptop begitu lincah hingga berhasil meretas sistem. "Oh, ketemu! Pukul tiga sore besok, Pak Lionel ada pertemuan bisnis di Klub Nirvana!"
Nadira tercengang mendengarnya, kagum dengan kecepatan sahabatnya meretas informasi. "Wow! Kirim lokasinya ke aku."
"Oh, begitu. Jadi, ceritanya ada yang rela mengemis ke musuh bebuyutan sendiri, nih?" goda Yovita usil.
Nadira mendelik tajam saat menatapnya. "Bereskan urusanmu sendiri."
Bagaimanapun juga, kali ini, dia harus mencoba mencari dukungan dari musuh bebuyutannya.
Namun, hatinya berkecamuk penuh perasaan yang sulit dijelaskan.
...
Hari berikutnya, di sore hari.
Nadira tiba tepat waktu di Klub Nirvana.
Usai mempersiapkan mental, dia berjalan mendekati klub. Namun, begitu tiba di depan gerbang, satpam langsung mengadangnya dengan tatapan merendahkan. "Nona Nadira, apakah Anda sudah membuat janji temu?"
Klub Nirvana adalah markas keluar masuknya uang bagi para pejabat dan konglomerat berkuasa. Dulu, Nadira bebas untuk keluar masuk. Namun, sekarang, kartunya sudah diblokir dan tidak punya uang sedikit pun.
Ketika satpam hendak mengusirnya, tiba-tiba ...
"Ada apa ini? Lepaskan dia!" Sontak, suara genit seseorang menghentikan pergerakan satpam itu.
Nadira segera menoleh. Dia terkejut mendapati seorang pemuda dengan mata tajam, wajah tampan, dan terkesan ceria.
Pria itu juga terkejut saat mendapati Nadira. 'Lho? Ini bukannya Kakak Ipar Ketiga?' batinnya.
Pria itu berjalan mendekat, tersenyum ramah, dan penuh kesan teka-teki. "Nona Nadira, saya pemilik klub ini. Anda kemari ingin mencari siapa?"
Tidak terlihat bak sosok jahat, pria itu justru terkesan bagai seorang Tuan Muda kaya raya di mata Nadira.
"Halo. Saya ingin bertemu Pak Lionel dari Royal Jewel. Kudengar, beliau di sini. Bisakah Anda perkenalkan saya padanya?"
'Lah, bukannya bos Royal Jewel itu Kakak Ketiga?' pikir Yansen.
Pria itu tersenyum menggoda, sengaja tarik ulur dengan wanita di hadapan dirinya. "Oh, Anda ingin bertemu dengannya? Aduh, tapi Pak Lionel bukan orang yang bisa sembarang ditemui."
Melihat pria itu terkesan enggan, Nadira segera menyela, "Apa yang harus kulakukan supaya bisa bertemu dengannya?"
Pria itu pura-pura serius. "Kalau begitu, Anda harus ubah penampilan. Pak Lionel itu punya selera unik. Ayo, saya antar untuk ganti pakaian!"
Mengira keberuntungan berpihak padanya, Nadira pun mengikuti langkah seorang manajer wanita menuju ruang ganti tanpa pikir panjang.
Namun, usai ganti pakaian, Nadia kaget bukan main. Kemeja putih super mini dan ketat, belahan kerah begitu rendah, bahkan dipadu rok lipit mini. Nadira benar-benar marah. 'Astaga, ini gaya cewek lolita, 'kan? Dia mau bawa aku ke mana, sih?'
Nadira benar-benar marah.
Pria itu malah menggodanya. "Dia ada di kamar 2022, di depan sana!"
Meskipun kesal, Nadira tidak ingin menyerah begitu saja. Dia mengikuti arahan pria itu menuju kamar yang dimaksud.
Saat masuk, dia hanya menemukan ranjang ukuran besar yang kosong. Belum sempat memahami keadaan, pria itu mendorongnya ke dekat pintu kamar mandi sambil tersenyum nakal. "Tunggu di sini, kujamin kamu akan bertemu dia!"
Setelah bicara begitu, pria itu langsung kabur.
"Hei, kenapa pintunya ditutup!" Nadira mulai gugup sekaligus waspada.
Di luar kamar.
"Yansen, kenapa kamu sembunyi-sembunyi gitu! Sudah tahu Kakak Ketiga susah tidur! Kalau sampai dia terganggu, tamat riwayatmu!" teriak seorang pria di samping Yansen.
"Kakak Ketiga sudah pasutri, lho. Aku memberi dia hadiah besar di kamar! Bangun-bangun, tubuhnya pasti semangat lagi! Hehe," jawab Yansen cengengesan.
Yansen tersenyum nakal. "Nanti, justru Kakak Ketiga yang terima kasih ke aku!"
Sementara itu, di kamar.
Nadira kebingungan, menyadari dia terjebak di kamar mewah itu. Sewaktu hendak beranjak pergi, pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka.
Karena berdiri tepat di dekat pintu, tubuhnya sontak terhuyung ke depan, bertabrakan dengan tubuh tegap yang kokoh.
"Aww!"
Sebuah lengan kokoh segera menangkap pinggang rampingnya. Ketika Nadira mendongak, matanya terbelalak dan tubuhnya membeku.
Di hadapannya, berdiri seorang pria bak Dewa Yunani yang baru selesai mandi.
Tinggi pria tersebut sekitar 188 cm, tubuhnya atletis, dan proporsional. Perawakannya menjulang tinggi, membuat Nadira harus mendongak menatap pria itu.
Dalam sekejap, pikirannya bergumam, 'Wah. Gila, tampannya luar biasa.'
Fitur wajah pria itu sempurna. Alis tegas, lekuk mata yang dalam, hidung tinggi, dan bibir tipis. Ketampanan pria ini memang paling sempurna dibandingkan seluruh pangeran kaya yang pernah Nadira temui.
Tatapan Nadira terhenti, napasnya serasa tercekat.
Namun, berbeda dengan pria itu. Melihat Nadira di hadapannya, pria itu refleks menyentuh wajah dan menatap Nadira dengan tajam.