Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Jangan sentuh istriku

Senin pagi aku bersiap untuk pergi bekerja. Meskipun tanganku masih sedikit sakit, tapi aku rasa masih bisa melakukan aktivitas di kantor. Aku memakai setelan blazer warna abu-abu dan celana dasar warna coklat susu. Rambut yang biasa aku urai, kini aku ikat sedikit keatas. Aku yang tak biasa berdandan, mencoba memakai make-up. Nenek yang ngasih saran ke aku. Dengan sedikit polesan blash on di pipiku, dan sedikit aeyrliner menambah kesan feminim di diriku. Rasanya aku seperti sedang felling ini love lagi dengan seseorang. Lebih tepatnya dengan mas Guna, mantan suamiku. Aku memang tidak pernah berdandan berlebihan selama ini. Ini yang kedua kalinya, setelah akad nikah pernikahan ku. Aku tersipu malu, melihat diriku di cermin. Seraya berpiki., "Aku cantik juga, ya." Mas Guna menikahi ku bukan karena aku cantik, katanya. Tapi karena aku terlihat lembut dan tak pernah berbuat aneh-aneh. Dia jatuh cinta padaku sejak kami satu lokasi pekerjaannya. Kami sering bertemu di parkiran, saat pulang maupun datang ke kantor. Entah sengaja atau tidak, aku pun tak tahu. Yang jelas setiap aku ke parkiran, mas Guna juga pasti sedang ada disana. Lucu sih, memang kalau dipikir-pikir gak mungkin kebetulan bisa tiap hari. Tapi aku gak mau ambil pusing mengenai hal itu. Yang paling penting bagiku dia lelaki sempurna yang pernah aku kenal dulu, sebelum memutuskan untuk menikah dengannya. Sampai saat ini pun, dia masih sama. Hanya saja hatinya ditutupi oleh egonya yang tak tinggi. Usai sarapan, aku bergegas pergi ke kantor dengan mengendarai mobilku. Kebetulan setelah insiden kopi panas itu, mas Guna meminta seseorang untuk mengantar mobilku ke rumah. Tuh kan, dia masih sangat perhatian padaku. Aku sampai juga dihalaman kantor. Seperti biasanya, aku memarkirkan mobil terlebih dahulu. Setelah terparkir sempurna, aku turun dari mobil. Tiba-tiba pak Devan menghampiri ku. "Dewi, aku minta maaf atas kejadian malam itu," ujarnya berusaha meraih tanganku. Sesegera mungkin aku tepis tangannya. Aku masih terauma melihat pak Devan. "Dewi, aku gak bermaksud seperti itu. Karena efek alkohol, aku gak bisa mengontrol diriku. Aku mohon maafkan aku, ya!" sambungnya dengan mimik wajah memelas. Aku tampak berfikir, apa benar yang ia katakan. Tapi setelah aku mengingat-ingat ucapannya kalau dia sudah lama menginginkanku. Aku menjadi ragu dengan ucapannya yang sekarang. Ditambah lagi ucapan mas Guna yang sudah menaruh curiga pada pak Devan yang ingin berbuat jahat padaku. "Tolong, kamu rahasiakan kejadian malam itu pada siapapun. Termasuk dengan Papa. Aku gak mau reputasi ku hancur, kalau ada yang tahu kejadian malam itu." Ucapan nya membuatku menjadi semakin membencinya. Bisa-bisanya dia menyuruhku untuk tutup mulut, alih-alih takut reputasi nya hancur. Dasar lelaki tak bermoral. Aku masih diam tak menanggapi perkataannya dan berlalu meninggalkan pak Devan. Tapi dia menarik tanganku, tiba-tiba suara pukulan membuat aku berbalik badan. "Jangan coba-coba menyentuh istriku." Aku terperangah saat mas Guna memukul pak Devan menekankan kata istriku. Pria bertubuh tinggi itu tak terima dirinya dipukul mantan suamiku membalas memukul laki-laki yang sudah menolongku. Mereka saling baku hantam. Hingga beberapa orang yang ada di saba melerai keributan mereka. "Kamu lupa siapa saya, Guna!" gertak pak Devan menatap tajam mas Guna. "Cuihhh, saya tidak pernah lupa itu. Seorang direktur utama perusahaan ini, tapi berkelakuan bejat," balas mas Guna dengan mimik wajah meremehkan. "Jaga bicaramu!" "Kenapa???? Anda takut kalau semua orang yang ada disini tahu kelakuan bejat anda??" Perdebatan mas Guna dan pak Devan menjadi pusat perhatian orang-orang yang ada disana. "Sudah Mas, lebih baik kita pergi dari sini." Aku berusaha melerai keributan itu. Aku gak mau semua orang tahu, kalau aku hampir di lecehkan oleh atasanku itu. Mas Guna beralih menatapku. Aku tidak bisa menggambarkan perasaannya saat ini padaku. Dia terlihat marah, tapi juga terlihat merasa bersalah. Dengan cepat aku menarik tangan mas Guna untuk pergi dari sana. Sepeninggal kami, mereka pun ikut membubarkan diri. Aku mengajak Mas Guna untuk ke ruangannya. Dia hanya menurut kemana aku mengajaknya pergi. Setelah sampai di ruangannya. Dia hanya berdiri mematung, diam tak bersuara. Membuat aku menjadi bingung harus berkata apa. "Lebih baik kamu berhenti dari pekerjaan mu itu." Kata-kata itu lolos dari mulut mas Guna. Aku sedikit tercengang mendengarnya. Bagaimana mungkin dia meminta ku untuk berhenti dari pekerjaan ku. Kalau saja aku masih istrinya, mungkin aku masih bisa mempertimbangkan permintaannya itu. Tapi kami kan sudah berpisah. "Itu nggak mungkin, Mas!" "Atau kamu lebih senang jika Devan mengganggu mu lagi!!" Dia berbalik badan menghadap ke arahku. Tatapannya pun membuat aku merinding. Benci tapi cinta. "Ok, kalau aku berhenti dari pekerjaan ku. Lalu bagaimana dengan hidupku Mas? Aku sekarang janda yang harus menghidupi diriku sendiri. Apa kamu tidak ingat, Mas?" Amarahnya seketika berubah saat aku mengucapkan kata-kata itu. Yang ada di wajahnya adalah sebuah penyesalan. Dia diam sejenak. Sepertinya mas Guna sedang menelaah kalimat yang aku ucapkan. Tak ada suara di antara kami. Hingga ketukan pintu memecah kesunyian diantara kami berdua. Seorang pegawai datang menemui mas Guna. Pegawai itu mengingatkan mas Guna, kalau ada meeting dengan klien. Aku pun beranjak pamit pada mantan suamiku itu. Dan kembali keruangan ku. Dengan segudang pekerjaan yang menumpuk di awal weekend ini. Aku pun mulai mengerjakan satu persatu pekerjaan yang ada di mejaku. Meski tanganku sedang berkutik di papan keyboard Labtob ku. Tapi pikiranku melayang mengingat kejadian demi kejadian akhir-akhir ini pasca mas Guna menceraikan ku. Aku menghentikan sejenak aktivitas ku dan mulai membayangkan kejadian kedepannya dalam hubungan ku dan mas Guna. Apa mungkin kami bisa bersatu lagi?. Tiba saatnya aku harus keruangan pak Devan untuk meminta tanda tangannya. Sedikit rasa takut menghinggap di hati. Tapi aku harus profesional, mengingat dokumen ini sangat penting. Dengan mengumpulkan keberanian , aku masuk ke ruangan direktur utama. Tampak pak Devan sedang sibuk dengan labtobnya. Dia menghentikan aktivitas nya setelah menyadari keberadaan ku disana. "Maaf Pak, ada dokumen yang harus Bapak tandatangani." Aku memberikan beberapa dokumen kepada beliau dan diterima olehnya. Setelah itu aku beranjak dari sana. Namun pak Devan memanggilku. "Dewi! Tunggu!!!" Aku pun mengurungkan niatku dan berhenti. "Aku ingin bicara padamu!" Pak Devan menghampiri ku yang berdiri tak jauh dari pintu. "Kamu harus mendengar ini lebih dulu!!!" Aku berusaha tenang menghadapi orang yang ada dihadapan ku saat ini. Dia diam sejenak, sepertinya sedang menyiapkan diri untuk bercerita. "Aku melakukan itu karena aku frustasi padamu Wik. Aku mencintaimu!" Aku terkejut mendengar apa yang barusan pak Devan katakan. "Aku mencintaimu saat sebelum kamu menjadi istri Guna. Tapi saat itu aku tak cukup berani untuk mengatakan nya padamu. Setelah aku tahu kamu mau menikah dengan Guna. Aku frustasi Wik. Aku mulai tak bisa mengontrol hidupku, hingga puncaknya aku terbaring dirumah sakit karena terlalu banyak minum." "Kalau saja, aku mempunyai keberanian saat itu. Mungkin kamu sudah menjadi milikku. Tapi jujur Wik, aku tidak ada niat untuk melakukan itu padamu, malam itu." Aku benar-benar tidak menyangka pak Devan mengatakan semua isi hatinya padaku. Aku tak pernah tahu kalau selama ini dia menyimpan rasanya untukku. Aku bingung harus bagaimana, akhirnya aku putuskan untuk segera keluar dari ruangan itu. Tapi saat aku membuka pintu, aku melihat ada seorang yang sedang berdiri di depan pintu itu.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.