Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Ada yang aneh dengan diriku

Sosok yang sudah satu bulan ini tak pernah kutemui. Dengan ekspresi wajah yang tak bisa ditebak ia pun menghampiri kami. Perasaanku campur aduk jadi satu. Antara bahagia dan juga sedih. Bahagia bisa melihat wajahnya kembali. Dan takut jika ia akan salah paham lagi. Belum sempat aku menata diri untuk tenang. Ku dengar dia pun bersuara. "Oh, jadi kalian sudah semakin dekat. Bodohnya aku yang mau mempertimbangkan keputusanku. Kalau orang yang akan aku perjuangkan malah asyik berduaan dengan teman kencannya." Dengan lantang ia menyebutkan kalimat itu. Sungguh hatiku pilu mendengarnya. Kenapa selalu begini. Di saat ia mau membuka hati lagi untukku. Di saat itu pula keadaan yang tak memungkinkan. "Kamu salah paham Guna. Dewi masih sangat mencintaimu," sambut pak Devan sekilas melirikku. "Cuihhh... Omong kosong. Kalau memang dia masih mencintaiku, nggak mungkin dia jalan dengan laki-laki yang jelas aku benci," desisnya mulai tersulut emosi. Tubuhku rasanya kelu. Tak tahu harus berbuat apa lagi. Percuma, seperti apapun aku menjelaskan semua padanya. Dia tidak akan percaya. Karena di matanya, aku bukan wanita baik-baik. Jadi seperti apapun aku membela diri, dia tak akan pernah perduli. Aku memilih diam. Ku palingkan wajah ini darinya. Agar ia tak bisa melihat air mata yang mulai memupuk, sekali berkedip akan menetes. "Kami hanya kebetulan bertemu. Mobil Dewi mogok, jadi saya antar dia ke sini," tegas pak Devan. "Itu alasan basi... Sudahlah, saya gak mau ambil pusing. Mau kalian jalan berdua... Saya sudah gak perduli," sarkas Mas Guna kemudian berlalu meninggalkan kami. Namun langkahnya tercekat saat pak Devan bersuara. "Jangan sampai kamu menyesal Guna. Membuang berlian seperti Dewi. Asal kamu tahu, tak ada cinta yang tulus setulus Dewi mencintaimu." Mas Guna hanya mematung. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan. Namun dari yang aku tangkap, bahunya bergetar. Seolah ada sesuatu yang ia tahan agar tak keluar. Sedetik kemudian, dia benar-benar pergi meninggalkan kami. "Wik, aku akan bantu kamu mendapatkan cintamu kembali. Aku akan cari siapa pelakunya. Orang yang sudah menjebak kita. Aku yakin Guna juga masih mencintaimu," lirih Pak Devan seraya menghapus sisa air mata yang sudah lolos membasahi pipiku. "Kamu jangan sedih lagi ya. Air mata ini terlalu berharga jika keluar dari matamu." Hatiku seakan menghangat mendengar ucapan pria yang berdiri dihadapanku ini. Betapa tulusnya dia mencintaiku. Tapi kenapa dengan hatiku, yang tak bisa menerimanya? ******************* Lama kelamaan tubuhku semakin aneh. Terkadang aku menginginkan sesuatu yang tak biasa aku makan. Seperti sore ini, saat pulang dari kantor. Tiba-tiba aku ingin lutisan yang mangkal di depan pom bensin, tempat aku melintas. Air liur ini terasa penuh membayangkan betapa segarnya makan lutisan itu. Aku pun turun untuk membelinya. "Bang mau lutisan nya dua ya? Yang pedes ya Bang. Banyakin cabe nya." "Iya Neng." Pedagang itu dengan lihainya menyiapkan pesanan ku. Tak makan waktu yang lama, dua porsi lutisan itu pun sudah aku terima. Setelah aku membayarnya, aku pun masuk kembali ke mobil. Rasanya sudah gak sabar menikmati makanan yang baru saja aku beli. Segera ku hidupkan mesin mobil dan langsung melajukan dengan kencang. Tibalah aku di rumah, dengan masih menenteng lutisan tadi aku turun. Dan saat akan masuk kedalam, dua orang ibu-ibu memanggilku dari tepi jalan. "Nak Dewi," sapa salah satunya. "Eh iya Bu," balasku basa-basi. Mereka berdua seperti mendapat angin segar. Saat aku membalas sapaannya. Segera mereka mendekat. "Baru pulang kantor ya?" Salah satu dari mereka bertanya. "Eh, iya Bu." Aku jawab singkat. "Masuk yuk Bu kedalam. Gak enak ngobrol sambil berdiri." Kemudian mengajak masuk kedalam. Mereka pun tak menolaknya. "Silahkan duduk, saya kebelakang dulu." Mereka berdua duduk di ruang tamu. Sementara aku kebelakang untuk membuatkan minuman dan juga menghidangkan lutisan yang aku bawa tadi. Setelah semuanya siap, aku kembali menemui mereka. Ku letakkan barang yang aku bawa itu ke meja. Kemudian mempersilahkan mereka untuk menyantapnya. Kami pun berbincang agar terlihat lebih akrab. "Mbak Dewi suaminya dimana emang? Kok jarang pulang?" tanya ibu-ibu yang memakai daster warna biru. Pertanyaan ibu itu sedikit mengganggu perasaanku. Seketika dada ini terasa nyeri. Mengingat saat aku di talak oleh mantan suamiku. "Emmm.. ada kok Bu. Memang jarang pulang ke rumah," jawabku bohong. Aku terpaksa melakukan itu. Tak mau mereka semakin mengorek kehidupanku. "Emangnya pulangnya berapa Minggu sekali," sambar temannya. "Enggak mesti Bu. Tapi pulang kok." Ya Tuhan aku sudah melakukan kesalahan dengan berbohong tentang rumah tanggaku. "Tapi saya sering lihat ada mobil putih yang sering berhenti di seberang sana. Tapi orangnya gak keluar. Kadang sampai berjam-jam ada di sana." Ucapan ibu itu sontak membuat ku sedikit terkejut dan bingung. "Emangnya dia siapa Mbak?" "Saya nggak tahu Bu." Mereka hanya saling pandang. "Ayo Bu di makan lutisan nya," tawar ku lagi untuk mencairkan suasana yang mulai menegang. Ku ambil beberapa potong buah yang ada di piring itu, lengkap dengan sambalnya. Aku begitu antusias memakan lutisan ini. Rasanya benar-benar enak dan segar menurutku. Hingga tak terasa, aku hampir menghabiskan setengahnya. "Wah Mbak Dewi seneng bener makan lutisnya," sambar bu Selfi, ibu-ibu yang berdaster biru. "Iya buk. Rasanya tuh pengen banget makan yang seger-seger. Liat orang jualan lutisan, tiba-tiba jadi kepengen," jawabku tersenyum lebar. "Wah jangan-jangan Mbak Dewi hamil, lagi." Seketika aku memperlambat makanan yang aku kunyah. Rasanya sesak di dada ini mendengar kalimat itu. "Hamil?" "Iya Mbak. Biasanya orang hamil itu mengalami nyidam. Mungkin mbak Dewi pun sama. Lagi nyidam sekarang. Iya kan Bu Merry." Aku beralih memandang bu Merry. "Betul itu Mbak. Coba deh di periksa ke dokter," saran bu Merry. Aku pun mengangguk. Sepeninggal mereka berdua. Aku di landa dilema yang luar biasa. Aku mengingat-ingat semua kejadian yang aku alami. Pikiran dan hatiku pun berperang. Antara membenarkan perkataan mereka dan berusaha menepis dugaan itu. Tapi setelah aku cek di kalender, jarak antara terakhir aku menstruasi sampai saat ini hampir dua bulan. Tapi aku menepisnya kembali. Karena memang sering telat datang bulan. Aku pun sharcing di google. Mencari kebenaran itu. Tapi yang aku baca memang sama dengan yang aku rasakan saat ini. Seketika wajahku memanas. Jantung ini tak beraturan berdetak. "Ya Tuhan apa dengan melakukanya sekali bisa hamil?" Pertanyaan itu terngiang-ngiang di kepalaku. Ku usap wajah ini kasar. "Bagaimana nasib anak ini jika aku benar-benar hamil?" Aku terlarut dalam pikiranku. Hingga aku tak menyadari hari sudah malam. Aku pun beranjak untuk mencari apa yang bisa aku makan. Perutku ini memang sebentar-sebentar merasa lapar. Ku buka lemari pendingin, aku tak menemukan apapun yang bisa di makan di sana. Hanya ada telur dan beberapa sayuran. Sedikit menelan kekecewaan karena tak ada makanan. Aku pun berinisiatif untuk keluar mencari makanan yang siap untuk di makan. Rasanya malas jika harus memasak terlebih dahulu. Berhentilah mobilku di sebuah kedai makan tak jauh dari rumah. Hanya berjarak satu kilo meter kedai ayam bakar itu berdiri. Pembelinya cukup ramai. Hingga aku kesulitan untuk memesannya. Karena harus mengantri terlebih dulu. Sementara perutku sudah tak bisa lagi di kondisikan. Cacing-cacing yang ada di sana sudah berdemo minta diisi makanan. Sehingga terdengar suara yang membuat diriku malu bila ada yang mendengarnya. Sedetik kemudian, seorang yang entah dari mana mengulurkan kantong kresek padaku. "Ambillah, sepertinya perutmu sudah sangat lapar." Aku pun mengambil bungkusan itu, sambil mengangkat wajah ini agar bisa melihat dengan jelas siapa orang baik itu. Dan aku sedikit terperangah melihat sosok yang sekarang berdiri di depan ku ini. To be continued

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.