Bab 8
Lily mengambil dokumen di atas meja, lalu menyelipkannya ke dalam pelukan Shita. Pada saat yang sama, dia mengeluarkan ponsel dan memotret dua kali.
"Dokumennya sudah diserahkan ke Ibu Wakil CEO, Shita. Aku nggak tanggung jawab kalau sampai ada masalah nantinya."
Dia seperti kehilangan seluruh tenaganya. Tidak ada energi, apalagi hak, untuk beradu argumen dengan Shita.
Mereka yang diistimewakan selalu penuh percaya diri, sedangkan dirinya di mata Sandy hanyalah sesuatu yang tidak dipedulikan.
Di dalam ruangan kantor yang sejuk, Lily justru merasakan dingin yang menjalar hingga ke tulang. Sensasi beku itu semakin menusuk, merayap dari dadanya hingga ke punggung.
Ketika lift membawanya turun dan dia melangkah keluar dari gedung perusahaan, tubuhnya diterpa sinar matahari. Namun, kehangatan itu tetap tidak mampu mengusir dingin yang mengeram di dalam dirinya.
Berdiri di tengah keramaian jalan yang dipenuhi deru kendaraan, sudut bibirnya terangkat, membentuk senyum getir yang sinis.
Mungkin Sandy dan Shita hanya sesekali menyewa kamar hotel, tetapi menjadikan ruang istirahat kantor sebagai tempat mereka bercinta … itulah tabiat mereka yang sebenarnya.
Padahal, Lily sudah tahu sejak lama bahwa Sandy telah tidur dengan Shita. Fakta itu seharusnya tidak lagi menyakitkan, meski bukti yang lebih jelas terpampang di depan matanya.
Entah mengapa, dibandingkan mengingat Sandy yang tidak mencintainya dan selingkuh bersama Shita, rasa sakitnya kali ini justru lebih memilukan
Ponselnya tiba-tiba berdering, menyadarkannya dari lamunan. Dengan tangan yang sedikit gemetar, dia pun menjawab, "Halo?"
"Lily, pulang sekarang juga." Suara sang ayah, Cahyo, terdengar tegas dan tak menerima penolakan.
Lily perlu restoran nanti sore untuk bermain piano. Hari Sabtu ini pun tidak ada jadwal wawancara.
Daripada tenggelam dalam perasaan yang mencekik ini, lebih baik dia mengiyakan. "Baik, aku akan pulang"
Walaupun dalam hati, keinginan untuk pulang sebenarnya sangat tipis.
Di tempat lain.
Sementara itu, Sandy bukannya menunda rapat pagi itu, tetapi justru memajukan jadwalnya.
Dia berpikir untuk membiarkan Lily menunggu lebih lama, karena itu akan lebih efektif untuk menekan harga dirinya.
Rapat yang seharusnya selesai dalam lima puluh menit diperpanjang menjadi dua jam.
Ketika akhirnya keluar dari ruang rapat, hari sudah menjelang siang.
Dia melepas kacamata dari batang hidungnya, lalu memijat pelipisnya perlahan. Tanpa terburu-buru, dia melangkah menuju kantornya.
"Pak Sandy, ada dokumen yang perlu ditanda tangani!" Seorang manajer dari bagian keuangan mengejar sambil membawa berkas.
Tara segera menghadangnya, "Kamu ini pintar sekali memanfaatkan waktu, ya? Pak Sandy lagi sibuk sama rapat, tapi kamu masih sempat minta tanda tangan begini? Serahkan saja nanti setelah jam makan siang."
Manajer keuangan itu mundur dengan wajah kecewa, rencananya untuk menghemat waktu gagal total.
"Sibuk apanya" Sandy tiba-tiba menghentikan langkahnya dengan aneh.
Dia mengambil dokumen itu dengan tenang, membubuhkan tanda tangan, lalu mengembalikannya kepada manajer keuangan. Setelah itu, dia kembali menuju kantornya.
Benaknya membayangkan seperti apa rupa Lily sekarang. Apakah dia tampak begitu menyedihkan? Dia hanya berharap Lily tidak menangis … karena dia paling tidak tahan melihat air mata seorang wanita.
Tentu saja, Sandy tahu betul sejauh mana dia akan bermain-main.
Dengan penuh percaya diri, Sandy mendorong pintu kantornya. Namun, pandangannya yang semula santai langsung berubah menjadi dingin.
Tidak ada siapa pun di sofa, apalagi di dekat jendela besar yang menghadap keluar.
Di dalam kantor itu, tak ada banyak tempat untuk bersembunyi. Jelas terlihat … Lily tidak ada di sana.
Terdengar suara kecil dari arah ruang istirahat. Alis Sandy langsung berkerut dalam-dalam.
Lily benar-benar nggak sopan, kenapa dia masuk ke ruang istirahatku tanpa izin?' ucapnya dalam hati.
Dua hari terakhir ini, pekerjaan Sandy menumpuk, ditambah lagi ulah Lily yang membuat suasana hatinya kacau. Malam-malamnya bahkan terasa panjang karena tidak bisa tidur dengan nyenyak. Sebagai pelarian, dia akhirnya minum cukup banyak di ruang istirahatnya.
Kalau sampai melihatnya, dia pasti mengira aku begini gara-gara dia …' batinnya sekali lagi.
"Sandy." Shita tiba-tiba muncul dari ruang istirahat, matanya bertemu dengan tatapan Sandy yang dipenuhi amarah. Shita menatapnya dengan terkejut, "Kamu kenapa?"
Tangan Sandy yang sudah terulur hendak membuka pintu, mendadak berhenti di tengah jalan. Saat tubuh Shita berdiri tepat di hadapannya, dia segera menarik tangannya kembali, menguasai ekspresinya agar terlihat tenang.
"Nggak apa-apa. Ngapain kamu di sini?"
Shita tersenyum manis, "Tentu saja aku ke sini buat membantumu merapikannya. Ada konferensi pers nanti sore. Jadi, aku mengirim pakaianmu untuk dicuci. Sekalian, aku meminta seseorang untuk merapikan ruang istirahatmu. Sesibuk apa pun kamu, kesehatanmu tetap penting. Bagaimanapun juga, baik perusahaan maupun aku kan sangat bergantung padamu."
"Sejak kapan kamu di sini? Apa nggak ada orang di kantor saat kamu datang?"
Sandy berjalan ke meja kerjanya dan duduk. Tatapannya jatuh pada sebuah dokumen di sudut meja. Sorot matanya yang dalam semakin gelap saat melihatnya.
Seolah mengingat sesuatu, bibir tipis Sandy mengatup menjadi garis lurus.
"Nggak ada," jawab Shita sambil mendekat ke arahnya. "Barusan asisten Pak Tara bilang kalau ada yang mengantar dokumen untukmu. Aku sudah melihatnya, itu dokumen yang akan dipakai untuk konferensi pers nanti sore."
Shita berdiri di samping Sandy, melirik dokumen itu dengan santai, "Pasti ibu mertua yang suruh orang dari keluarga Febrianto buat mengantarnya. Mereka benar-benar nggak tahu sopan santun. Bisa-bisanya cuma menaruh, terus pergi begitu saja. Kalau sampai ada yang salah, memangnya kita bisa apa?"
Jadi, alasan Lily datang sebenarnya hanya untuk mengantarkan dokumen.
Dada Sandy terasa sesak oleh amarah tak terbendung. Semua asumsi konyol yang sempat terlintas di benaknya benar-benar terasa menggelikan.
Dalam rapat yang dia perpanjang sampai dua jam, pikiran Sandy malah dipenuhi bayangan saat dirinya menghadapi Lily.
Rahangnya yang tegas tampak mengeras, kemudian dia berkata dengan penuh tekanan, "Dasar nggak tahu aturan."
Dia menikahi Lily hanya karena berharap Lily akan menjadi sosok yang patuh.
Namun, sejak malam itu, Lily terus-menerus menguji batas kesabarannya.
Sungguh keterlaluan! Bahkan, aturan dasar sebagai seorang istri saja, Lily tidak tahu!
"Aku akan menemanimu di konferensi pers nanti sore. Seperti biasa, serahkan saja padaku kalau ada masalah. Aku pasti bakal selesaikan buat kamu."
Shita membuka dokumen dan meletakkannya di depan Sandy, lalu berkata pelan, "Malam ini, kita makan malam bersama, ya?"
Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan suara lembut, jauh dari nada kaku yang biasa dia gunakan untuk membahas pekerjaan.
Sandy perlahan mulai keluar dari suasana hatinya yang buruk akibat Lily. Tatapan tajamnya sedikit melunak, suaranya pun menjadi lebih hangat, "Oke, pilih saja tempatnya."
Meskipun ini hanyalah sebuah kesalahpahaman, Sandy tetap yakin pada akhirnya, Lily akan datang mencarinya untuk meminta maaf.
Namun, semakin lama Lily menunda, semakin besar pula Sandy ingin menunjukkan padanya apa itu arti penyesalan.
Shita tersenyum semringah, lalu berbalik dan melangkah keluar dari kantor untuk menemui Tara.
"Pak tara, buat reservasi restoran yang sama seperti terakhir kali Sandy makan sama Pak Mark. Pesan tempat buat aku dan Sandy, ya."
Tara segera mengambil ponselnya untuk melakukan reservasi.
"Terima kasih sudah bekerja keras beberapa hari terakhir ini. Setelah jam kerja selesai, pulang saja lebih awal. Aku dan Sandy bisa pergi sendiri ke restorannya." Shita menopang kedua tangannya di meja seraya tersenyum profesional.
"Hah?" Tara mendongak dan memandangnya, "Ini perintah Pak Sandy?"
Shita menggeleng, "Bukan, ini keputusanku. Dia itu pecandu kerja. Kalau selesai makan malam nanti dia menyuruhmu lembur lagi, kamu pasti nggak akan sempat istirahat. Pulang saja, kalau ada masalah, aku yang akan tangani."
Pekerjaan memang begitu menyibukkan beberapa hari ini. Tara bahkan hanya tidur kurang dari lima jam setiap malamnya.
Tanpa ragu, dia langsung setuju, "Terima kasih, Bu Shita."
Meski Tara berada langsung di bawah kendali Sandy, dia tahu hubungan Sandy dan Shita tidaklah biasa. Jika Shita berani mengambil alih tanggung jawab, Tara pun tidak ragu untuk menerima kebaikannya.
Di tempat lain.
Dulu, keluarga Juliardi tinggal di sebuah vila megah di kawasan elite distrik timur.
Akan tetapi, setelah kemerosotan finansial, mereka pindah ke sebuah apartemen bertingkat. Sebuah apartemen kecil dengan desain dua lantai untuk setiap huniannya, di lantai tiga.
Di Jayendra, setiap jengkal tanahnya bernilai mahal, apartemen ini pun masih bernilai triliunan. Namun, jika dibandingkan dengan vila sebelumnya, jelas ini adalah kemunduran besar.
Lily memang sudah kembali ke rumah, tetapi pikirannya seperti melayang entah ke mana. Dia tampak linglung dengan tatapan kosong.
"Lily." Sang ibu, Karina, telah berbicara panjang lebar padanya. Namun, tak satu pun mendapat tanggapan. Melihat Lily melamun seperti itu membuat Karina merasa kesal, "Apa kamu bertengkar dengan Sandy?"
Lily memaksa dirinya untuk kembali fokus, lalu buru-buru menggeleng, "Nggak, kok."
Karina menatapnya tajam. "Kalau begitu, pasti ada sesuatu yang kamu pikirkan."
"Ibu nggak akan menegrti. Jadi, nggak perlu bertanya." Lily mengambil ponselnya, berpura-pura sibuk, berusaha menghindari desakan pertanyaan ibunya.
"Aku mungkin nggak akan bertanya, tapi kamu juga nggak boleh cemberut terus begitu." Nada bicara Karina berubah tajam, "Sandy sudah bekerja seharian, pasti dia sangat lelah. Kalau harus lihat wajah muram kamu saat pulang, itu hanya akan membuatnya kesal! Apalagi kalau masalahnya nggak ada hubungannya dengan dia. Kamu nggak bisa memengaruhi suasana hatinya begitu, apalagi sampai membuatnya kesal!"
Karina merampas ponsel Lily dan meletakkannya di sisi meja, "Kamu dengar yang aku bilang, nggak?"