Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Lily sudah siap ditolak karena kurangnya pengalaman dan ketertinggalan dari pasar tenaga kerja. Akan tetapi, dia tidak bisa menerima alasan-alasan dangkal dalam penolakannya. Semua informasi terkait dirinya sudah tercantum jelas di dalam CV. Jika memang keberatan, mengapa tetap mengundangnya untuk wawancara? "Perusahaan kami punya aturan dalam merekrut. Anda sudah menikah, tapi belum punya anak. Mungkin saja saat baru masuk kerja nanti Anda tiba-tiba hamil, lalu mengambil cuti hamil atau melahirkan. Perusahaan tak mau memiliki karyawan yang nggak produktif." Pewawancara berdiri dari kursinya, memberi isyarat pada asistennya untuk mengantar Lily keluar. Lily menganggap dirinya sedang sial saja. Mungkin dia hanya dipanggil untuk sekadar memenuhi kuota kandidat. Dia kemudian mengambil berkasnya dan pergi. Namun, di perusahaan kedua dan ketiga, cerita yang sama terulang lagi. Wawancara hanya berlangsung beberapa menit sebelum berakhir dengan penolakan. Perusahaan keempat dan kelima bahkan lebih parah. Resepsionis langsung memberi tahu bahwa posisi itu sudah terisi. Jadi, mereka tidak bisa memproses aplikasi Lily lebih lanjut. Semangatnya yang berkobar berubah menjadi keputusasaan, segalanya terasa berlalu begitu cepat. Saat malam tiba, Lily kembali ke apartemen Yunia. Begitu pintu terbuka, aroma makanan lezat langsung memenuhi udara. Yunia muncul dengan senyum lebar, membawa kue cokelat kecil sambil berjingkat-jingkat, seolah sedang menari. "Semoga Nona Lily yang cantik sukses dengan pekerjaan barunya dan menjadi desainer terkenal, biar saja si Sandy itu menyesal …" Lily yang sedang mengganti sepatunya langsung terhenti. Ekspresi muramnya perlahan-lahan semakin terpancar. Begitu menyadari ada yang tidak beres, Yunia meletakkan kue kecil di atas meja dekat pintu dan berjalan mendekat, "Kenapa? Ada apa?" Lily menarik sudut bibirnya, mencoba tersenyum seolah semuanya baik-baik saja, lalu menggeleng, "Kuenya sia-sia, aku nggak diterima kerja." "Kok bisa?" Yunia sontak terkejut, "Kalau sudah sampai tahap wawancara, peluang diterimanya minimal lima puluh persen. Kamu lulusan universitas ternama, bahkan pernah menang penghargaan! Meski belum punya pengalaman, mereka pasti bisa lihat potensi kamu. Perusahaan-perusahaan itu pasti buta kalau sampai nggak nerima kamu!" Lily mengganti sepatunya dengan sandal rumah, lalu menarik Yunia ke meja makan untuk duduk, "Mungkin aku lagi kurang beruntung saja. Senin depan aku masih ada dua wawancara. Nyari kerja memang nggak bisa buru-buru." Meskipun begitu, Lily tetap merasa terpuruk dalam hatinya. Terlebih lagi, dia membandingkan dirinya dengan Shita ... yang seumuran dengannya tetapi sudah jadi wakil CEO Sandy. Kerja kerasnya bahkan mini harus berakhir dengan kekecewaan. "Senin depan mau wawancara di mana?" Yunia mengangkat alis, sambil berjalan ke meja dekat pintu untuk mengambil kue kecil tadi. "Tantra dan Y&Y." Dua perusahaan ini cukup terkenal di Jayendra. Perusahaan-perusahaan yang didatangi Lily hari ini memang cukup bagus, tetapi tidak ada yang sebanding dengan dua nama besar itu. Hari ini, Lily kembali dihantam serangkaian penolakan. Harapannya pun menjadi kian pupus. Namun, dia harus tetap berpegang teguh, entah sekecil apa harapan itu. Lily tak menyadari sikap aneh Yunia karena suasana hatinya yang buruk. Yunia pun datang membawa kue, menghiburnya dengan berpura-pura ceria. Dia bahkan berbicara sambil sesekali tertawa riang. Meski hatinya penuh sesak, Lily tetap ikut tersenyum dan berbicara seakan semuanya baik-baik saja. Namun, begitu mereka masuk ke kamar masing-masing malam itu, Yunia segera mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Kak, kamu kenal nggak sama bosnya Tantra dan Y&Y?" Dua perusahaan itu terlalu besar, Yunia tidak memiliki koneksi seluas itu untuk mencapainya. Tidak ada pilihan lain, dia harus meminta bantuan orang luar. Di ujung telepon, terdengar suara seorang pria yang penuh kehangatan dan kelembutan. Hanya saja, jelas dipenuhi kantuk, "Yunia, di luar negeri sekarang masih jam tiga pagi." Yunia langsung merengek. "Siapa suruh kamu tiba-tiba pindah ke luar negeri dua tahun lalu, terus nggak balik-balik? Kalau kamu di sini, kita nggak bakal ada yang namanya perbedaan waktu, 'kan? Kak, bantu aku, ya! Senin depan Lily ada wawancara di dua perusahaan itu. Tolong bantu masukkan dia lewat jalur khusus!" "Siapa?" Di ujung telepon, suara Felix tiba-tiba terdengar lebih terjaga, "Lily? Dia mau kerja? Apa Sandy setuju?" "Jangan sebut nama si berengsek itu!" Yunia mendengus kesal, "Lily mau cerai dari dia dan lagi butuh pekerjaan!" Felix sontak terkejut, "Cerai? Kenapa …" Yunia memotong dengan gusar, "Sudahlah, nggak usah banyak tanya. Kamu bisa bantu atau nggak?" Felix terdiam sejenak. Suaranya terdengar serius saat akhirnya menjawab, "Aku mengerti." "Mengerti apa?" Yunia menatap layar ponsel yang telah gelap, kebingungan dengan maksud Felix. Namun … itu berarti dia setuju, 'kan? Malam pun berlalu. Sabtu pagi telah tiba. Ketika Lily masih terlelap, dering telepon seketika membangunkannya. Dengan mata setengah terpejam, dia meraih ponsel dari bawah bantal tanpa melihat layar, lalu menjawab, "Siapa ini?" "Lily, aku ada di depan rumah. Aku sudah masak sup buat kamu dan Sandy, turunlah dan ambil." Suara familiar yang terdengar dari telepon itu membuat tubuh Lily seketika menegang. Matanya bahkan langsung terbelalak lebar. Dia melirik layar ponsel. Nama yang tertera di sana adalah "Ayah Sandy" … Salim Febrianto. "Ayah, kenapa harus repot-repot mengantarnya langsung? Kita kan bisa memakannya nanti malam saat pulang." Sembari mengatakannya, Lily bangkit dari tempat tidur. Rambut panjangnya berantakan. Dia benar-benar terlihat bingung sekaligus panik. Sabtu adalah hari rutin makan malam keluarga. Setiap minggu, dia dan Sandy pasti kembali ke rumah utama keluarga Febrianto. Salim tertawa lembut, "Nanti malam aku dan ibumu ada pesta, nenekmu juga lagi nggak ada di rumah. Jadi, kalian nggak perlu pulang. Aku sengaja masak sup ini khusus buat kalian." "T-tapi, aku sudah keluar rumah sejak pagi. Bagaimana kalau Ayah taruh saja supnya di depan pintu?" Lily berjalan cepat ke arah lemari pakaian, nada suaranya sedikit gemetar saat mengarang alasan. Sandy tidak sedikit pun mewarisi sifat ramah ayahnya. Salim adalah sosok yang tenang dan ramah, bahkan selalu memasak sendiri untuk makan malam keluarga setiap hari Sabtu. Sebaliknya, ibu Sandy adalah wanita yang sangat serius, bahkan nyaris tak pernah tersenyum. "Oh, iya, aku punya satu berkas. Tolong antar sekaligus ke Grup Striva. Ingatkan Sandy agar tetap jaga kesehatan meskipun sibuk bekerja. Buat kamu juga, terima kasih sudah merawat Sandy dengan sangat baik …" Salim memberikan instruksinya dengan rinci. Dalam keluarga Fu, dia seperti menggantikan peran seorang ibu. Tak jarang, dia selalu memperhatikan kesehatan Sandy. Dia juga sangat baik kepada Lily. Bisa dibilang, seluruh keluarga Febrianto memperlakukan Lily dengan sangat baik. Karena itu, setiap kali memikirkan perceraian yang akan terjadi, Lily merasa berat hati. Dia juga bingung bagaimana harus memberi tahu mereka. Ketika mendengar Salim memintanya mengantar berkas ke Grup Striva, tenggorokan Lily seketika tercekat, dan tidak langsung menjawab. Ingatan tentang Sandy dan Shita yang terlihat sangat mesra terakhir kali di sana masih terbayang jelas di benaknya. Dia tidak ingin melihat pemandangan itu untuk kedua kalinya. Namun, jika tidak ingin keluarga Febrianto menyadari masalah antara dirinya dan Sandy, dia tidak punya pilihan selain menerima. "Lily, kamu dengar, 'kan?" Suara Salim terdengar lagi. Dia memanggil karena Lily terlalu lama diam. "Iya, Ayah. Aku mengerti. Sekarang juga aku akan pulang dan mengantarnya ke kantor," sahut Lily cepat dengan suara meyakinkan. Namun, Salim terdiam sejenak sebelum kembali berbicara, "Pagi-pagi beginii kamu keluar rumah, memangnya ada perlu apa? Sandy nggak menemanimu?" "Aku … ada urusan sama teman, Ayah. Sandy sibuk kerja. Jadi, aku nggak mau merepotkan dia," jawab Lily dengan gugup. Tak disangka Salim akan memperhatikan detail sekecil ini. Namun, pertanyaan berikutnya membuatnya lebih gugup lagi, "Mobilmu ada di rumah. Terus kamu pergi naik apa?" Lily menelan ludah, otaknya berputar cepat mencari alasan, "Temanku yang jemput." Salim terdiam di ujung telepon. Kesunyian itu membuat Lily semakin cemas. Beberapa saat kemudian, Salim berkata dengan lembut, "Baiklah, nggak perlu gugup. Aku cuma tanya, takutnya kamu menyembunyikan sesuatu dari kami." "Nggak ada apa-apa, kok." Lily segera menghela napas lega begitu telepon diakhiri. Dia bergegas mandi, berganti pakaian, lalu meluncur kembali ke vila yang dia tinggali bersama Sandy. Setelah mengambil termos sup dan berkas yang ditinggalkan Salim di pintu, Lily langsung menuju Grup Striva. Lily naik taksi menuju vila. Sopir taksi itu tetap menunggunya di depan gerbang vila, kemudian mengantarnya ke Grup Striva. Melihat Lily memeluk termos sup sambil membawa beberapa dokumen, sopir itu bertanya dengan santai, "Nona, kamu ini asisten rumah tangga keluarga itu, ya?" "Sepertinya iya," jawab Lily seolah-olah mengejek dirinya sendiri. Saat berada di depan vila, dia sempat melihat mobil yang biasa dia kendarai terparkir di halaman. Dalam beberapa hari saja, debu sudah menumpuk di atasnya. Kalau dibiarkan lebih lama lagi, mobil itu mungkin hanya akan jadi rongsokan yang tak berharga. Sandy lebih memilih membiarkannya terlantar daripada memberikannya kepada Lily. Mungkin, posisinya memang tak lebih dari seorang asisten rumah tangga di mata Sandy. Tak lama kemudian, taksi berhenti di depan gedung Grup Striva.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.