Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

"Lily, kamu marah gara-gara dia merayakan ulang tahun Shita, ya? Jadi, kalian bertengkar?" Beritanya sudah Menyebar luas, tentu saja Yunia juga melihatnya. "Bukan bertengkar. Aku mau cerai," tatapan Lily tampak kosong, tetapi suaranya tegas. Yunia mengerutkan kening, tak bisa menahan diri untuk bertanya dengan lirih, "Kamu sudah tanya dulu, 'kan? Apa jangan-jangan ini cuma salah paham?" "Salah paham atau nggak, lihat saja sendiri." Lily mengeluarkan ponselnya, membuka sebuah video, lalu menyerahkannya pada Yunia. Soal perselingkuhan itu, Lily bahkan belum sampai tahap bertanya, tetapi sikap Sandy sudah membuktikan semuanya! Yunia melirik thumbnail video itu, segera menepikan mobil. "Berengsek!" Rutukan itu keluar dari bibir Yunia, seiring dengan emosinya yang meledak seheboh rambut merah panjangnya. "Si berengsek itu selingkuh, tapi dia masih berani nggak merasa bersalah? Bagaimana bisa dia tega membiarkan kamu pergi tengah malam begini? Dia yang harusnya angkat kaki tanpa sepeser pun harta, dong!" Lily mengambil kembali ponselnya, "Aku nggak berniat membongkar masalah ini." Yunia tampak kebingungan, "Kenapa harus takut kalau kamu ada di pihak yang benar?" "Kalau terus diperpanjang, aku sendiri yang bakal kelihatan menyedihkan." Jika skandal perselingkuhan Sandy dibongkar, adakah yang bisa Lily ubah? Mungkinkah bisa membuat Sandy pergi tanpa membawa apa-apa? Mustahil. Keluarga Juliardi tidak akan mampu melawan keluarga Febrianto. Bahkan, orang tua Lily sendiri tidak akan mendukungnya. Bagaimanapun, keluarga Juliardi masih bergantung pada pengaruh keluarga Febrianto. Yunia membuka mulut, seolah ingin bicara. Namun, dia akhirnya hanya menelan kembali kata-katanya dan lanjut mengemudi. Keluarga Sudarsono juga cukup terpandang di Jayendra. Setelah lulus kuliah, keluarga Yunia bahkan membelikannya sebuah apartemen. Itu adalah apartemen elite di pusat kota yang harganya selangit. Setibanya mereka di apartemen, langit sudah hampir terang. Setelah menurunkan koper, Lily duduk di sofa dengan tatapan koosng. Tanpa sadar, dia pun tenggelam dalam lamunan. Melihat ekspresinya yang begitu murung, Yuniapun bertanya, "Jadi, apa rencanamu selanjutnya?" "Pertama, aku akan menghubungi asisten Sandy untuk membuat janji, lalu mengurus perceraian," jawab Lili. Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Setelah itu, aku harus cari kerja. Aku perlu uang buat hidup." Mendapat sepuluh miliar per bulan sebenarnya sudah sangat banyak, bahkan cukup untuk orang biasa hidup nyaman selama dua tahun tanpa bekerja. Namun, selama ini, Lily yang mengurus semua kebutuhan Sandy. Makan, minum, semuanya selalu dia siapkan yang terbaik. Belum lagi acara makan malam keluarga setiap minggu di rumah utama keluarga Febrianto, yang mengharuskannya membeli hadiah untuk para tetua. Tidak ada uang yang tersisa. Saat ini, dia hanya memiliki 100 juta. "Kalau begitu, sebelum dapat pekerjaan, kamu bantu-bantu aku dulu saja, ya!" Yunia tidak ingin Lily hanya berdiam diri di rumah dan tenggelam dalam kesedihannya. Namun, alasan ini memang ada benarnya juga, "Pianis yang aku undang tiba-tiba batalkan perjanjian!" Yunia mengelola beberapa restoran mewah milik keluarga Sudarsono. Setiap harinya, mereka selalu mengundang pianis terkenal untuk tampil di sana. Lily, yang sudah belajar piano sejak kecil, bahkan memiliki sertifikat level sepuluh, kemampuannya hampir setara dengan seorang pianis profesional. Dia tahu Yunia berniat mencarikan sesuatu untuk dikerjakan agar dia tidak terlalu banyak melamun, "Oke." Yunia juga terlalu sibuk untuk menemaninya di rumah sepanjang waktu. "Kalau begitu, kamu istirahat dulu. Siang nanti, langsung saja ke restoran cabang Timur. Aku sibuk, kemungkinan nggak sempat jemput kamu." "Iya, iya, kamu urus saja pekerjaanmu." Lily dan Yunia sudah berteman sejak kecil, bahkan sejak mereka masih bermain bersama tanpa mengenakan apa-apa. Meskipun sempat terpisah saat kuliah, persahabatan mereka tetap kokoh dan tak tergoyahkan. Bahkan, seiring dengan kemunduran keluarga Juliardi, hubungan mereka justru semakin erat. Lily tidak pernah merasa sungkan asalkan dengan Yunia. Setelah mengantar Yunia pergi, Lily langsung menelepon Tara, asisten Sandy, untuk membuat janji bertemu. "Nyonya, Anda bercanda, 'kan?" Tara terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab. "Kalau ada masalah, kenapa tak menunggu Pak Sandy pulang malam ini saja?" "Kami perlu buat janji temu untuk bercerai," ujar Lily singkat tanpa basa-basi. Namun, saat kata-kata itu keluar dari mulutnya, hidungnya terasa perih. Matanya pun mulai memanas, tertutup kabut air mata. Meski begitu, dia berusaha tegar, mendongakkan kepala untuk menahan semuanya. Tara pun terkejut hingga napasnya tercekat, "Ini … masalahnya Pak Sandy sangat sibuk. Jadwal minggu ini sudah penuh!" "Kalau begitu, minggu depan saja!" Lily menggenggam ujung bajunya erat-erat, berusaha menahan emosi yang mendesak keluar. "Biar saya periksa jadwal kantor dulu, setelah itu saya akan hubungi Anda." Tara tidak berani membuat keputusan sendiri. Setelah menutup telepon, dia segera menghubungi Sandy. Alih-alih menunggu Lily pulang dengan patuh, Sandy justru menerima kabar bahwa dia telah membuat janji temu dengan Tara. Amarah seketika memenuhi dadanya. Dia terkekeh kecil dengan penuh ejekan, "Dasar nggak tahu diri!" Tara, yang langsung menangkap kekesalan dalam suaranya, segera menawarkan solusi, "Kalau begitu, saya akan cari alasan untuk menunda." "Nggak perlu." Sandy menyeringai, senyumnya begitu sinis dan penuh cemoohan. "Atur saja minggu depan!" Menunda hanya akan memberi kesan bahwa dia enggan bercerai. Paling lama tiga hari, Lily pasti akan kembali memohon padanya! Tara langsung mengabari Lily bahwa mereka akan bertemu Rabu depan, pukul sembilan pagi, di depan Kantor Urusan Sipil. Lily merasa sangat lelah, tetapi matanya tetap tak mau terpejam. Setelah menutup telepon dari Tara, dadanya dipenuhi kepiluan. Dia terbaring di atas tempat tidur, mendengarkan detak jantungnya sendiri yang bergemuruh seperti genderang perang. Akhirnya, dia tak lagi mampu menahan diri. Tetes hangat mengalir dari sudut matanya, membasahi helai-helai rambut panjangnya, meresap hingga ke bantal. Saat menerima pesan dari Tara tadi, entah mengapa, ada secercah harapan kecil yang sempat muncul di hatinya. Namun, harapan itu kini benar-benar hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah kekecewaan yang mendalam. Sebenarnya, apa yang dia tunggu? Menunggu Sandy membatalkan perceraian? Mengakui kesalahannya? Sandy bukanlah tipikal pria yang akan mengakui kesalahannya. Sementara dirinya, tak akan bisa menerima fakta bahwa suaminya berselingkuh! Dua tahun pernikahan memang bukan waktu yang lama, tetapi dalam dua tahun itu, pandangan dan hatinya hanya tertuju pada satu orang, Sandy. Kesungguhannya dalam pernikahan ini tidak bisa diukur dengan kata-kata. Dia bahkan hampir lupa... seperti apa hidupnya sebelum menikah dengan pria itu. Menjelang malam, Lili berusaha keras menekan emosi negatifnya. Dengan riasan tipis, dia pergi menuju restoran barat di distrik timur. Lalu lintasnya sedikit padat. Ada cukup banyak orang yang datang begitu dia tida di restoran. Yunia, yang tahu Lili akan segera tiba, meluangkan waktu untuk menunggunya di pintu masuk. Begitu melihat Lili turun dari taksi, Yunia langsung menghampirinya. "Aku lupa kalau kamu nggak ada mobil." "Nggak apa-apa," jawab Lily singkat sambil mengikuti Yunia masuk ke dalam restoran. Yunia sudah menyiapkan gaun khusus untuknya dan langsung mengarahkannya ke ruang ganti. "Kamu kelihatan kurang enak badan. Apa istirahatmu kurang?" Riasan tipis Lily sama sekali tidak mampu menutupi wajahnya yang pucat. Namun, dia hanya menggeleng pelan. "Aku nggak apa-apa, kok." Setelah berganti ke gaun panjang yang sudah Yunia pilihkan, Lily mengangkat ujung roknya dan berjalan menuju sebuah piano impor yang berdiri megah di tengah aula. Dia pun duduk di hadapan piano itu dengan anggun. Sudah ada lembar partitur di atas piano itu Lily menarik napas dalam-dalam. Jemarinya yang ramping dan seputih porselen menyentuh tuts piano, menghasilkan alunan nada yang lembut dan menyebar ke setiap sudut restoran. Di lantai dua, di salah satu ruang VIP dengan jendela besar, sosok pria berbaju putih duduk di sana. Matanya mengikuti arah datangnya musik, menatap sekilas ke lantai bawah, lalu nencondongkan tubuh ke depan. Dia berbisik sesuatu pada pria asing yang duduk di hadapannya. Lima menit berlalu. Ketika lagu selesai dimainkan, seorang pelayan mendekati Lily. "Nona Lily, seorang pria di ruang VIP lantai dua meminta Anda memainkan sebuah lagu bertema cinta." Di ruang VIP lantai dua itu memang ada sebuah piano yang sangat mahal ... piano yang hanya boleh disentuh oleh pianis tertentu. Yunia biasanya tidak pernah mengizinkan sembarang orang menyentuhnya. Namun, dia percaya penuh pada Lily. Begitu permintaan dari tamu diterima, Yunia langsung menyetujuinya. Lily mengangkat ujung gaunnya dan mulai menaiki tangga. Ketika pelayan membuka pintu ruang VIP itu, dia melangkah masuk dengan perlahan. Lampu berwarna kuning lembut menyinari ruangan, menciptakan suasana romantis sekaligus elegan. Meja bundar dengan taplak merah marun menghiasi ruangan. Pantulan cahaya dari gelas-gelas alkohol tampak menghiasi permukaan meja. Totalnya ada tiga orangg yang duduk di sekitarnya. Namun, langkah Lily seketika terhenti saat matanya bertemu dengan tatapan dalam Sandy yang duduk di sana.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.