Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3 Terbangun

Pengemudi pun segera turun dan membawa tubuh yang lemas itu ke dalam mobil. Saat itulah dia menyadari bahwa dia membawa sebuah guci. Malang sekali… Sang pengemudi bermaksud menarik guci itu dari tangannya, tapi gadis itu memeluknya erat, guci tidak bergeming. Dengan ragu, dia menatap pria yang duduk di sampingnya, gemetaran. “Pre… Presiden Fudd, ini…” Pria itu melirik dingin ke arah guci dalam pelukan wanita itu. “Jalan saja,” perintahnya. Pengemudi langsung kembali ke kursinya dan menyalakan kembali mobilnya. Hujan turun semakin deras seiring langit yang semakin gelap. Interior mobil tampak redup. Heaton Fudd menurunkan pandangannya menatap gadis yang saat itu terbaring di sebelahnya. Rambut hitamnya yang panjang basah kuyup menempel di wajah pucatnya yang seukuran telapak tangan itu, dengan darah masih menetes dari luka di lengannya yang memutih. Rapuh dan babak belur. Sepertinya dia tidak mencoba berpura-pura mengalami kecelakaan. Hujan deras saat itu membuat jalan licin dan sekitarnya begitu berkabut. Begitu sang pengemudi berbelok tajam, gadis itu terlempar ke pangkuan sang pria. Alis Heaton Fudd sedikit mengernyit, dan dia menundukkan kepalanya. Raut wajahnya menjadi lebih dingin. “Lius, apa aku perlu mengirimmu kembali ke sekolah mengemudi untuk mengulang ujian?” Pengemudi itu terlihat ketakutan dari kaca spion. Itu sangat memalukan… Namun kemudian dia tertawa perlahan. “Maafkan saya, Presiden Fudd. Hari ini hujan sangat deras.” Heaton Fudd memindahkan gadis itu ke samping dengan tangan besarnya. Matanya masih tertutup. Tidak ada tanda-tanda sadarkan diri. Sorot mata Heaton memelas saat dia menatap bibir gadis itu yang pucat namun lembut. … Verian Mont terbangun di rumah sakit. Sedikit membuka matanya, dilihatnya sesosok wanita di depannya. “Rianie! Akhirnya! Kau membuatku takut! " Guin Yellen? Itu adalah teman kuliahnya dan sahabatnya. Dengan bibinya yang kering itu, Verian bergumam tak berdaya, “Guinnie? Kau… kenapa kau di sini?” Verian Mont meraba dadanya, menyadari bahwa guci ayahnya telah hilang. Berusaha untuk bangkit dari tempat tidur, tanyanya dengan suara lemah, “Guinnie, kau melihat guci ayahku?” Guin pun membantunya. “Ada di sini. Tidak hilang. Jangan dulu beranjak, kata dokter tubuhmu masih lemah.” Kemudian diserahkannya guci itu pada Verian Mont yang langsung memeluknya dengan sepenuh hati, seolah-olah itu adalah miliknya yang paling berharga. Merasa berang, Guin mulai mengutuki pasangan ibu anak Sheena ketika mengetahui apa yang terjadi pada Verian. Diulurkan tangan untuk memeluk sahabatnya dan berkata, “Aku tidak akan bertemu denganmu jika aku tidak datang ke sini untuk mengunjungi putri pamanku yang baru lahir. Keluarga pamanku ada di kamar bayi VIP di sebelah. Hubungi aku jika butuh sesuatu. Meskipun aku tidak bisa banyak membantumu, pamanku pasti bisa melakukannya untukmu. Istirahatlah dulu. Nanti aku kembali menjengukmu.” Guin mengusap punggung Verian dan membiarkannya memeluk guci. Dia membaringkannya di tempat tidur dan tersenyum. “Rianie, istirahatlah dengan baik, dan hubungi aku jika kamu butuh sesuatu!” Pikiran Verian kacau. Bayangan ayahnya yang melompat dari gedung terus muncul di benaknya saat dia menutup matanya. Diam-diam air mata menetes dari sudut matanya. … Guin pun kembali ke kamar bayi. Dia merasakan suatu ketegangan di ruangan begitu dia masuk. Memegang tongkat penyangga, John Fudd menatap bayi yang baru lahir di inkubator dengan perasaan yang rumit. “Ini tidak masuk akal, Heaton Fudd! Aku tidak percaya kau melakukan hal yang konyol!” Orang tua itu mengangkat tongkatnya dan memukul kaki Heaton dengan keras. Dia merendahkan suaranya, dan dengan emosi bertanya, “Mana ibu kandungnya?” Heaton mengerutkan bibir tipisnya. Berusaha tenang, dia menjawab, “Dia meninggal saat melahirkan.” John Fudd pun tak mampu berkata-kata. “…” Darahnya mendidih. “Kau ini mau melihatku naik darah?” Guin membungkuk menengok inkubator. Sambil memegang lengan lelaki tua itu, dia berbisik lembut, “Kakek, lihat betapa lucunya sepupu kecilku. Jangan marah. Bukannya Kakek mendesak paman agar segera menikah dan punya anak? Sekarang paman itu punya anak, kenapa Kakek begitu marah?” “Jelas aku ingin dia menikah dulu sebelum akhirnya punya anak, bukannya sebaliknya. Dia bahkan tidak memberitahuku, dan tahu-tahunya putrinya lahir! Apakah aku masih dianggap orang tua?” Sesaat kemudian seorang perawat masuk dan mengingatkan mereka. “Presiden Fudd, maaf, tapi tolong kecilkan suara Anda. Nantinya berpengaruh pada bayinya.” John Fudd kemudian membuka mulutnya dan melihat bayi yang lucu di dalam inkubator itu, mendesah pasrah. Berpegangan pada tongkatnya, dia pun keluar dari situ.” “Kau itu masih anak kemarin sore. Jangan coba-coba dengan masalah orang dewasa!” Heaton menoleh ke arah inkubator. Bayi itu tampak tidur dengan nyenyak. “Jaga sepupu kecilmu, ya. Aku ingin keluar sebentar.” Sang pria pun turut keluar dari ruangan itu usai meninggalkan pesan pada Guin. Pengemudinya kembali usai membayar tagihan rumah sakit. “Presiden Fudd, semua administrasi gadis itu sudah saya atasi.” “Mana dia?” Tuan Lius mengisyaratkan ke arah kamar rawat. “Ini, persis di sebelah ruangan sana…” Akan tetapi kamar itu telah kosong. Kebingungan, dia menggaruk kepalanya bertanya, “Hei, mana dia?” Seorang perawat lain hendak masuk untuk membersihkan kamar rawat itu. Heaton yang mengernyit heran bertanya padanya, “Dimana gadis yang dirawat kemarin di sini itu?” “Anda mengenalnya, Tuan? Dia baru saja pergi.”

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.