Bab 13
Aku tertegun sejenak dan kembali bertanya, "Bukannya dia di ruang istirahat? Apa dia pergi menyambut tamu?"
Bagaimanapun, hari ini Ethan adalah tokoh utama dan dia pasti sangat sibuk.
Charlotte mengerucutkan bibirnya, lalu menjawab, "Aku sudah tanya penata rias di sana, katanya Ethan pergi setelah dapat telepon."
Jantungku langsung berdebar kencang, "Telepon dari siapa?"
"Nggak tahu."
Meskipun Charlotte berkata demikian, dia jelas sudah menaruh curiga kepada seseorang. Sambil menggertakkan giginya, dia pun kembali berkata, "Aku tahu si jalang Avery itu pasti nggak bakal diam!"
"Emily, coba telepon Ethan sekarang juga! Hari ini hari pernikahan kalian dan nggak boleh ada yang kesalahan sedikit pun!"
Aku pun segera mengeluarkan ponselku dan menghubungi nomor Ethan. Namun, apa yang kudapat hanyalah pemberitahuan bahwa nomornya sedang tidak aktif.
"Sepertinya ponselnya mati."
Barulah pada saat itu aku benar-benar menyadari betapa gawatnya situasi ini.
Upacara pernikahan tinggal satu jam lagi dan hampir semua tamu sudah hadir.
Mengingat kedudukan keluarga Matthew yang cukup tinggi di Emberton, jika Ethan tidak datang hari ini ...
Pikiran itu membuatku merasa sangat cemas.
Dengan panik, aku memegang tangan Charlotte dan bertanya dengan suara bergetar, "Apa ibuku sudah sampai?"
"Sudah dari tadi," jawab Charlotte.
"Bagaimana ini? Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku dengan cemas.
Aku tidak keberatan jika harus berdiri sendirian di altar pernikahan dan menanggung cemoohan semua orang. Namun, aku tidak bisa membiarkan ibuku tahu masalah ini. Kondisi kesehatannya sangat lemah dan masalah seperti ini pasti akan membuatnya terguncang!
"Aku akan cari kakakmu dan menyuruhnya mencari alasan untuk membawa ibumu kembali ke rumah sakit terlebih dahulu."
"Oke." Aku mengangguk cepat. "Tolong jaga Ibuku, ya!"
"Tenang saja. Sekarang kamu telepon Ben dulu dan tanyakan padanya apa dia bisa menghubungi Ethan. Kamu juga harus minta bantuan Ibu mertuamu." Charlotte adalah seorang manajer di sebuah perusahaan besar. Jadi, sikapnya memang sangat tegas dan tidak mudah menyerah.
Aku pun menarik napas panjang untuk menenangkan diri.
Setelah menyaksikan kepergian Charlotte, aku segera menghubungi Ben.
Tidak lama kemudian, telepon itu pun tersambung.
"Ethan mana?" tanyaku tanpa basa-basi.
Namun, Ben tidak segera menjawab.
Aku pun menarik napas panjang dan berkata, "Ben, hari ini adalah hari pernikahanku dengan Ethan. Semua tamu penting dari Emberton hadir di sini. Apa kamu mau keluarga Matthew jadi bahan tertawaan seluruh penduduk kota?"
Ben jelas menyadari betapa gawatnya situasi ini. Sambil menggertakkan giginya, sia pun berkata, "Pak Ethan baru saja mendapat kabar dari rumah sakit kalau Nona Avery mencoba bunuh diri dan sedang dirawat di sana."
Duar!
Aku merasa seperti disambar petir di siang bolong dan semua harapan terakhirku pun langsung sirna.
Kakiku langsung lemas, tubuhku terhuyung, dan aku hampir jatuh.
Ternyata seperti ini rasanya dikhianati di momen sepenting ini. Hatiku langsung hancur berkeping-keping.
Dia sudah jelas-jelas berjanji kepadaku.
Dia bilang dia tidak akan berhubungan lagi dengan Avery.
Namun, ketika mendengar kabar percobaan bunuh diri Avery, dia tetap meninggalkanku untuk menemuinya!
Namun, mengapa harus hari ini?
Hari ini adalah hari pernikahan yang sudah dia janjikan padaku dan dia pun juga tahu betapa pentingnya pernikahan ini.
Namun, dalam pikiran Ethan, semua ini tidak sebanding dengan kedudukan Avery di hatinya!
Aku masih menggenggam teleponku, tetapi tidak mengucapkan apa-apa.
Aku bahkan tidak bisa mendengar apa yang Ben katakan padaku.
Saat ini, rasanya seperti ada pisau yang menusuk dalam-dalam ke dadaku, hingga hampir membuatku tidak bisa bernapas.
"Bu Emily, saya akan segera tiba di rumah sakit. Jadi, jangan khawatir. Setelah menemukan Pak Ethan, saya pasti akan segera membawanya kembali!" ujar Ben dengan suara berat. "Tapi, saya mohon Anda untuk bersabar sejenak ... "
Upacara pernikahan akan dimulai kurang dari satu jam lagi.
Sayangnya, rumah sakit tempat Avery dirawat berjarak lebih dari satu jam perjalanan dari lokasi pernikahan.
Aku pun menarik napas dalam-dalam dan memaksa diriku untuk tetap tenang. Aku tahu bahwa meratapi kesedihan ini sekarang tidak akan menyelesaikan masalah. Aku hanya bisa berusaha semaksimal mungkin untuk meminimalkan kerugian.
Setidaknya, aku tidak akan membiarkan ibuku mengetahui hal ini.
Sementara untuk masalah yang lainnya ...
Aku akan mengambil keputusan akhir setelah pernikahan ini selesai ...
"Ethan memang berengsek! Lihat aja apa yang akan aku lakukan padanya setelah ini!" Ibu mertuaku datang setelah mendengar kabar tersebut dan beliau tampak sangat khawatir.
Masalah ini menyangkut reputasi keluarga Matthew. Apalagi Ethan adalah pewaris keluarga yang ditunjuk langsung oleh Pak Galih. Jika terjadi masalah ini, seluruh keluarga Matthew pasti akan merasa malu!
"Bagaimana? Apa Ben sudah menemukannya?" tanya ibu mertuaku dengan cemas.
Aku hendak menjawab, tetapi tiba-tiba teleponku berdering dan Ben yang menelepon.
Karena Ibu mertuaku melihatnya, beliau pun segera mengambil teleponku dan mengangkatnya. "Ben, apa kamu sudah menemukan Ethan?"
Karena tidak menyangka bahwa ibu mertuaku yang akan menjawab, Ben pun terkejut sejenak. Lalu, dia buru-buru berkata, "Bu Gu, jangan khawatir, saya sudah menemukan Pak Ethan. Kami sedang menuju ke hotel sekarang."
Saat mendengar jawaban tersebut, ibu mertuaku merasa lega. Namun, dia ingat bahwa harus menyelesaikan masalah ini. "Di mana Ethan? Berikan teleponnya ke dia!"
Ben terdiam sejenak karena sepertinya dia sedang menghadapi situasi yang sulit. "Pak Ethan bilang beliau akan menjelaskan semuanya kepada Anda nanti."
Ibu mertuaku pun sadar bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Namun, dia tetap melontarkan ancaman keras. "Sampaikan padanya kalau aku akan menghajarnya setelah pesta pernikahan ini selesai!"
Setelah menutup telepon, wajah ibu mertuaku tampak sedikit lebih tenang.
Karena Ethan sudah dalam perjalanan pulang, masalah ini tinggal menunggu waktu untuk selesai.
Yang terpenting adalah pernikahan tidak tertunda.
"Emily, jangan khawatir," ujar ibu mertuaku sambil menepuk tanganku dengan lembut. "Begitu Ethan pulang, Ibu pasti akan memberinya pelajaran! Kamu tinggal naik ke pelaminan saja sebentar lagi dan nggak perlu khawatir tentang apa pun. Ibu sudah bilang sama pembawa acaranya."
Aku pun menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Saat penata rias ingin memperbaiki make-upku, Charlotte tiba-tiba datang.
"Bagaimana?" tanyaku dengan cepat.
"Ibumu nggak mau pergi, dia ngotot ingin tetap di sini menyaksikan pernikahanmu. Tapi, kakakmu masih berusaha membujuknya ... " Keringat tipis membasahi dahi Charlotte. Ketika melihat ibu mertuaku masih ada di sana, dia pun mendekat ke arahku dan berbisik, "Apa si brengsek Ethan sudah ketemu?"
"Sudah, dia sedang dalam perjalanan ke sini," jawabku sambil mengangguk.
Charlotte menepuk dadanya dan menghela napas lega. "Syukurlah."
Karena Charlotte adalah pengiring pengantinku, dia pun harus menemaniku untuk naik ke pelaminan.
Saat ini, lobi hotel dihias dengan sangat indah dengan tema seperti negeri dongeng. Pesta pernikahan ini hampir seperti pernikahan impian semua gadis.
Saat ini, aku berdiri di ruang tunggu dan menyimak ucapan pembawa acara yang berusaha menghidupkan suasana. Semua orang tertawa riang, tetapi aku merasa hampa.
Saat aku berjalan melewati panggung, pandanganku tertuju pada Ibuku yang duduk di meja VIP. Wajahnya terlihat sangat lelah, tetapi matanya bersinar dengan penuh kebahagiaan dan juga harapan.
Namun, suasana tiba-tiba berubah. Aula yang tadinya riuh menjadi sunyi. Beberapa orang melihat ponsel mereka, sementara yang lain berbisik-bisik dengan penuh kegelisahan.
Seketika itu juga, firasat buruk pun mulai menghantui hatiku.
"Ada apa ini?"
Charlotte yang berdiri di belakangku tampak khawatir dan berkata, "Apa mungkin berita tentang kepergian Ethan sudah menyebar?"
Hatiku pun langsung gelisah. Saat kegelisahan itu mencapai puncaknya, sosok tinggi dan gagah datang menghampiri.
Jayden mengernyitkan dahinya dan tatapan matanya yang hitam pekat terasa menusuk. Meskipun dari jarak beberapa meter, aku bisa merasakan aura kuat yang memancar darinya.
"Kak Jayden ... " Aku merasa agak canggung melihat ekspresinya. "Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"
"Ethan nggak ada di sini, 'kan?" Meskipun dia mengajukan pertanyaan, tetapi nadanya terdengar sangat yakin.
Hatiku sangat tertekan saat mengetahui bahwa ternyata orang-orang sudah tahu tentang masalah ini.
Saat melihatku tetap diam, Jayden mengerti bahwa aku diam-diam setuju dengan apa yang dia katakan. Tatapan matanya pun berubah menjadi makin tajam dan suaranya juga terdengar sangat dingin dan datar. "Apa kamu masih mau tinggal di sini?"
Pertanyaannya membuatku terkejut dan makin merasa tidak nyaman. "Kak Jayden, sebenarnya apa yang terjadi?"