Bab 11
Kalimat itu menusuk hatiku. Aku menatap Ethan dengan tatapan penuh ketidakpercayaan, tetapi aku sendiri ternyata tidak mampu untuk berkata-kata.
Tiba-tiba, aku merasa asing dengan Ethan.
Dalam ingatanku, saat masih kuliah, Ethan adalah sosok yang ceria dan jujur. Dia dan Jayden dikenal sebagai "Duo Tampan Universitas Emberton" karena selain penampilan mereka yang menawan, karakter, latar belakang keluarga, adan kemampuan mereka juga sangat luar biasa. Dulu, banyak gadis mengagumi mereka ...
Namun, sekarang ...
Semuanya sudah berubah. Bahkan rasa sukaku yang dulu begitu membara dan tulus pada Ethan tampak seperti ilusi belaka.
Ketika melihatku tidak membantah, Ethan terlihat sangat lega. Kemudian, dia memelukku erat dan berkata dengan lembut, "Aku benar-benar nggak punya hubungan apa-apa dengan Avery. Percayalah padaku ... "
Saat aku hendak melepaskan pelukannya, tiba-tiba ponsel Ethan bergetar.
Ketika aku melihat siapa yang menelepon, aku tersenyum pahit.
Ternyata itu Avery lagi.
"Angkat saja," kataku sambil melepaskan pelukan Ethan.
Setelah mengalami banyak kekecewaan, kini aku sudah merasa hampa dan mati rasa.
Ternyata perasaan yang sudah tumbuh selama lebih dari sepuluh tahun bisa hilang begitu saja.
Ethan tidak menjawab panggilan itu. Sebaliknya, dia mengerutkan dahi dan segera memutuskan sambungan telepon tersebut.
Namun, Avery tidak menyerah begitu saja.
Ketika melihat Avery terus-menerus menelepon dan Ethan terus-menerus menutup telepon, aku merasa agak geli menyaksikan adegan tersebut.
Saat Avery kembali menelepon untuk kesekian kalinya, aku pun langsung mengambil telepon itu dan segera mematikan panggilannya, lalu memblokir nomornya.
Ethan menatapku dengan bingung untuk beberapa saat, tetapi tiba-tiba dia tersenyum tipis. "Akhirnya nggak berisik lagi."
Aku tidak menyangka bahwa Ethan tidak marah ketika aku memblokir nomor Avery.
"Apa yang terjadi hari ini memang salahku. Harusnya aku nggak meninggalkanmu sendirian di rumah sakit tanpa memberitahumu. Aku janji nggak akan mengulanginya lagi," ucap Ethan dengan nada suara yang lebih lembut, berusaha untuk menenangkanku.
Dulu, sikap lembut dan usahanya untuk menenangkanku seperti ini pasti akan membuatku merasa sangat gembira.
Namun, sekarang yang tersisa hanyalah rasa lelah saja.
Kesehatan ibuku makin memburuk, sehingga membuatnya tidak sanggup lagi menghadapi gejolak. Satu-satunya harapanku untuk membuatnya bahagia adalah pernikahanku dengan Ethan berjalan lancar.
Sementara untuk hal-hal lainnya ...
Aku tidak mampu memikirkannya terlalu jauh.
"Ethan, tolong jangan buat masalah lagi," kataku dengan tegas.
Saat melihatku akhirnya luluh, Ethan mengangguk sambil tersenyum. "Aku janji nggak akan buat masalah lagi!"
Persiapan pernikahan pun berjalan dengan cepat dan terorganisir.
Seakan ingin menebus kesalahannya, Ethan pun terus menemaniku selama beberapa hari setelahnya dan bahkan ikut memilih desain undangan, makanan pernikahan, dan sebagainya.
Selama masa itu, Avery pun tampak berubah. Dia tidak lagi menghubungi Ethan karena mungkin nomornya masih diblokir.
Sikapnya yang tenang dan tidak ikut campur justru membuatku merasa janggal.
Namun, bukan Avery namanya jika dia tidak membuat masalah.
Tepat tiga hari menjelang pesta pernikahan, dia tiba-tiba datang ke kediaman keluarga Matthew bersama ayah mertuaku.
"Tadi, kebetulan aku bertemu Avery di jalan, jadi aku mengajaknya ke sini untuk membantu persiapan pernikahan kalian," ujar ayah mertuaku sambil tersenyum cerah. "Avery, ayo, duduk. Mau minum apa? Biar Om minta pelayan mengambilkannya untukmu."
Avery yang duduk di sofa pun membalas dengan penuh senyuman, "Om, nggak perlu repot-repot. Aku datang ke sini untuk membantu, jadi nggak perlu diperlakukan istimewa."
Aku mengamati dari samping dengan tatapan dingin. Membantu?
Jelas sekali dia datang ke sini untuk mencari masalah!
Tanpa sadar, aku melirik ke arah Ethan karena ingin melihat reaksinya. Namun, pria itu masih fokus pada iPad di tangannya dan memilih menu pernikahan dengan teliti, seolah-olah tidak menyadari kehadiran Avery.
Aku agak terkejut dengan perubahan sikap Ethan. Dulu, bahkan luka kecil yang dialami Avery saja sudah membuatnya sangat khawatir.
"Bagaimana kalau menu ini? Aku ingat ibumu suka sekali dengan makanan ini," ujarnya.
Saat pikiranku sedang melayang, Ethan tiba-tiba menyodorkan iPad-nya kepadaku.
"Yang ini agak pedas. Sekarang ibuku sudah nggak bisa memakannya ... "
"Ethan, kamu pasti ingat kalau ini makanan kesukaanku waktu kita sekolah dulu," ujar Avery menyela ucapanku.
Ethan terdiam, kemudian menatapnya dengan tajam sambil berkata dengan nada dingin, "Aku nggak tanya sama kamu. Nggak usah ikut campur. Diam saja di situ."
Avery memanyunkan bibirnya, lalu membalas, "Memangnya kenapa? Apa di sini aku nggak boleh bicara?"
Ethan tetap bersikap acuh tak acuh dan tidak menghiraukannya.
Namun, Avery tidak ambil pusing dengan sikap dingin Ethan dan berkata dengan tawa riang, "Hei, masa kamu masih marah, sih! Beberapa hari ini aku cuma bercanda. Dulu waktu masih sekolah kita sering melakukan hal seperti itu dan aku nggak pernah lihat kamu semarah ini. Kenapa kamu jadi sensitif hanya karena mau menikah? Kamu laki-laki bukan sih?"
"Kamu yang bukan laki-laki!" bentak Ethan yang sudah kehilangan kesabarannya karena marah.
Namun, kalimat itu membuat Avery langsung tertawa terbahak-bahak. "Hahaha. Aku 'kan memang bukan laki-laki!"
Rupanya mereka memang masih sering berdebat dan bercanda seperti ini. Aku pun merasa seperti orang asing di antara mereka.
"Emily, ayo naik ke atas."
Tepat saat perasaan pahit menyelimutiku, Ethan tiba-tiba menggenggam tanganku dan berdiri. Dia terlihat tidak menghiraukan Avery sedikit pun.
Aku merasa agak bingung saat Ethan menarikku menuju kamar tidur di lantai atas. Karena tidak kuasa menahan diri, aku pun menoleh ke belakang dan melihat Avery berdiri di sana dengan bibir terkatup rapat, tetapi matanya seolah memancarkan tatapan tajam penuh kebencian.
Saat melihat raut wajahnya yang frustrasi, aku pun merasa lega untuk pertama kalinya.
Sesampainya di kamar tidur, Ethan menarikku untuk duduk di tepi ranjang dan mulai memilih hidangan. Namun, tatapan mataku tak sengaja tertuju pada alis dan kontur wajahnya yang tampan, sehingga membuat hatiku kembali bergetar.
"Lagi mikir apa?"
Saat melihatku terdiam cukup lama, Ethan mengusap puncak kepalaku lembut seraya berkata, "Apa kamu capek? Kalau bingung milihnya, biar Ibu saja yang mengurusnya, ya?"
"Hmm." Aku mengangguk setuju. Ibu mertuaku memang lebih berpengalaman dalam hal seperti ini.
Setelah melihat Ethan menaruh iPad ke samping, aku pun akhirnya mengambil keputusan dan berkata, "Setelah pernikahan, ayo pergi ke rumah sakit bersama! Aku ingin periksa kesehatan."
Jika pernikahan kami bisa berjalan lancar, berarti statusku sebagai menantu keluarga Matthew akan diumumkan secara resmi. Berbeda dengan sekarang, di mana hanya kerabat dekat keluarga Matthew yang tahu tentang statusku.
Jadi, aku tidak keberatan jika keluarga Matthew akan merayakan dua momen membahagiakan sekaligus.
"Oke." Ethan mengangguk setuju. "Dengan kemajuan teknologi medis saat ini dan juga perawatan yang tepat, aku yakin kamu pasti bisa hamil ... "
Aku tahu dia sudah salah paham. Namun, nanti setelah hasil tes keluar, dia pasti akan tahu kalau aku sudah hamil.
Dia akan menjadi seorang ayah!
Saat memikirkan hal tersebut, aku tidak bisa menahan senyumku dan mengangguk padanya. "Hmm."