Bab 3
Jevan berdiri di belakang Shania, ekspresinya terlihat menakutkan dan mengintimidasi.
Shania memperhatikan orang-orang itu melihat sesuatu di belakangnya, lalu dia menoleh ke belakang.
Ternyata Jevan datang ke sini.
Kemudian, Shania menoleh ke depan lagi. Pandangannya kini tertuju ke arah gadis berambut pendek yang duduk di pojok sofa. Ketika Shania berjalan mendekati sekat, gadis itu masih menyilangkan kakinya, memutar-mutar rambutnya dengan jari, ekspresinya juga terlihat sombong.
Namun, sekarang gadis itu tidak tersenyum. Ekspresi wajahnya masam, seolah-olah gadis itu ingin membunuh Shania.
Sepertinya, Jevan dan Qiara sedang berkumpul dengan teman-teman mereka di sini. Kalau dengar dari obrolan teman-temannya, ini bukan pertama kalinya mereka kumpul-kumpul. Ternyata mereka tidak malu mempublikasikan hubungan mereka di depan umum.
Jevan berjalan mendekat.
Teman-temannya langsung menyapa.
"Kak Shania, maaf, tadi kami hanya asal bicara. Kami memang sudah kelewatan."
"Kak Shania, Jevan dan Nona Qiara nggak ada hubungan apa-apa."
"Kak Shania, jangan anggap serius kata-kata kami."
...
Jevan menarik pergelangan tangan Shania, berusaha membawanya keluar ruangan.
Shania menoleh dan menyiram minuman ke wajah Jevan.
Seketika itu juga, suasana menjadi hening.
Semua orang menjadi ketakutan, beraninya Shania ...
Tidak lama kemudian, mereka mendengar Shania berkata dengan lembut dan tersenyum, "Silakan bersenang-senang dengan selingkuhanmu. Aku nggak akan mengganggu kesenanganmu."
Sambil mengatakan itu, Shania menunduk dan melepaskan tangannya.
Ekspresi Jevan menjadi muram. Saat itu juga, Jevan menggendong Shania di pundaknya dan keluar dari ruangan.
Semua orang di ruangan terdiam.
Di koridor, Shania berusaha melawan dengan posisi masih menggantung di punggung Jevan .
Lift baru saja turun.
Dia masuk dan berbalik, dia melihat sepasang sepatu kulit hitam yang sangat berkualitas, celana jas hitam yang membungkus kaki panjangnya yang lurus, tangan putih dingin yang ramping tergantung di samping tubuh, setiap jari seolah-olah diukir dari giok, panjang dan ramping.
Suasana tenang dan terasa canggung.
Ketika keluar dari lift, Shania mendongak ke atas. Dia melihat pria yang memiliki mata indah dan tajam itu sedang menatap dirinya.
Shania terdiam.
Dia menutup wajah dan menunduk lagi.
Di luar klub.
Jevan memasukkan Shania ke dalam mobil dengan kasar, lalu dia juga masuk ke dalam mobil.
Shania bangun dengan kepala pusing karena tergantung di tubuh Jevan terlalu lama, ditambah lagi Jevan memasukkannya ke dalam mobil dengan kasar. Shania merasa mengalami gegar otak.
Jevan mengambil tisu dari kotak penyimpanan, kemudian menyeka wajah.
Shania menemukan ada benda seperti kondom di belakang kotak tisu. Di sampingnya, Jevan bertanya, "Apa yang kamu lakukan di klub? Mau menangkap orang selingkuh?"
Shania ingin keluar dari mobil ini, jadi dia membuka pintu mobil.
Mobil ini terasa menjijikkan bagi Shania.
"Shania!" Jevan marah dan menarik Shania. "Kamu mau ke mana? Belum puas cari masalah?"
Napas Shania menjadi lebih cepat. Dengan emosi bergejolak, Shania menjawab, "Aku ... ingin pulang."
Jevan memanggil Rafael yang berdiri di depan pintu klub, lalu menyuruhnya mengemudikan mobil.
Sepanjang perjalanan, Jevan dan Shania tidak saling bicara. Shania duduk menjauh dari Jevan. Saat ini, wajah Shania tampak pucat menahan rasa mual.
Sesampainya di rumah, Shania segera turun dari mobil.
Setelah minum air di dapur, akhirnya rasa mual yang dirasakan Shania telah hilang.
Saat keluar dari dapur, dia melihat Jevan duduk di ruang tamu. Shania menghampirinya dan ikut duduk di ruang tamu.
Suasana kembali hening. Akhirnya, Jevan yang memulai obrolan, "Aku pergi ke klub untuk mendiskusikan proyek, kamu malah membuat keributan di sana. Kamu membuatku malu. Apa kamu nggak merasa tindakanmu sangat bodoh, menyebalkan, dan mirip seperti orang yang suka cari ribut?"
"Ada lagi?" kata Shania dengan santai.
"Kalau mau pernikahan kita langgeng, buang jauh-jauh kecurigaanmu itu. Aku nggak punya waktu memikirkan perasaanmu."
"Oke, ada lagi?"
Jevan bertanya dengan mengernyit, "Shania, apa kamu sadar sikapmu ini sangat menyebalkan?"
Shania berdiri dengan tersenyum.
"Nggak lama lagi, kamu nggak akan merasa sebal lagi," pikir Shania dalam hati.
Shania naik ke atas.
Senyuman Shania membuat Jevan gelisah. Setelah duduk di ruang tamu sejenak, dia pergi ke kamar di lantai atas. Jevan melihat Shania sudah tidur.
Jevan pergi mandi, kemudian tidur di samping.
Dalam ruangan kamar yang gelap, Shania tidur memunggungi Jevan, lalu bergeser agak jauh agar tidak bersentuhan dengan Jevan.
Jevan menarik tubuh Shania dengan paksa ke pelukannya. Ada kemarahan di setiap gerakannya.
Jevan memiliki tubuh yang tinggi dan besar. Jika dia memeluk Shania, Shania tidak bisa melepaskan diri.
Shania tidak bisa menggerakkan tubuhnya sepanjang malam.
Pagi harinya, Shania membuat sarapan untuk dirinya sendiri.
Jevan turun dan melihat Shania sarapan roti sendirian. Ketika hendak keluar rumah, Jevan berbalik ke ruang makan. Pria itu mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Shania, "Kita pergi jalan-jalan ke laut di akhir pekan ini, yuk? Hanya kita berdua."
Shania minum susu sambil menjawab, "Hm."
Bukan hal yang mengejutkan lagi. Sehari sebelum akhir pekan, Jevan membatalkan janjinya. Pria itu mengatakan dirinya harus pergi ke Negara Hagar.
Shania tidak merasa marah.
Jevan tidak sadar bahwa dia sudah lama tidak makan bersama Shania, juga sudah lama tidak menemani Shania. Padahal, pria itu yang memperingatkan Shania agar tidak mengungkit perceraian, tapi pria itu pula yang sudah tidak menganggap keberadaannya. Meskipun suatu hari Shania menghilang, pria itu juga tidak akan memedulikannya.
Pada akhir pekan, Shania mengambil buku-buku dari rak, kemudian menaruhnya di koper. Dia akan memindahkan buku-buku ini dulu ke rumahnya yang baru.
Saat sedang menaruh buku ke dalam koper, ibu mertuanya yang biasanya jarang menelepon, sekarang tiba-tiba menghubunginya.
Shania mengangkat telepon. Lalu, menyapa dengan sopan, "Halo, Bu Wina."
Wina menjawab dengan angkuh, "Pergilah ke rumahku. Mari kita buat perjanjian tertulis tentang kesepakatan kita sebelumnya."
"Apa perlu membuat perjanjian?"
"Harus ada."
"Baiklah. Aku ke sana nanti sore."
"Datanglah nanti siang."
"Baiklah."
Shania berpikir membuat perjanjian bukanlah sesuatu yang merugikannya, jadi dia setuju.
Sementara itu, Wina merasa sangat bahagia melihat kedekatan Jevan dan Qiara di taman rumah dari lantai dua.
Wina ingin menunjukkan kepada Shania, siapa wanita yang pantas menjadi istri untuk putranya.