Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 12

Shania menunggu sampai Qiara selesai bicara. Dengan tatapan dingin, Shania bertanya, "Kenapa kamu menilai dirimu terhormat? Karena kamu bodoh dalam permainan catur? Karena kamu merebut suami orang? Kamu juga bangga merebut pekerjaan yang sudah kutinggalkan?" "Siapa juga yang mau ... satu lingkungan pergaulan denganmu?" "Seharian nggak pernah melakukan sesuatu dengan benar dan hanya bisa bertindak semena-mena. Aku nggak mau berada di lingkungan pergaulan yang sama denganmu. Kalau kamu dan Jevan suka, kalian saja yang berada di sana." Suara Shania lembut, tetapi kata-katanya pedas. Qiara marah setelah mendengar kritikan dari Shania. Wajah gadis muda itu berubah muram dan menakutkan. Kata-kata Shania berhasil memancing emosi Qiara. "Diam! Kusobek mulutmu! Kubunuh kamu!" Akhirnya, Qiara melompat dari kursi, kemudian menyerang Shania. Shania tidak beranjak. Saat Qiara mendekat, Shania memukul keras wajahnya dengan dokumen. Akibatnya, Qiara jatuh dan hidungnya berdarah. "Serah terima selesai. Semoga kamu segera menghancurkan Grup Mahesa." Setelah selesai bicara, Shania pergi keluar. "Shania, aku nggak akan melepaskanmu. Ah!" Qiara memegang hidungnya, dia menjerit seperti orang gila dan suaranya terdengar sampai seluruh gedung. Tidak ada satu pun orang dari departemen proyek yang berani mendekat. Shania keluar dari ruangan. Baru beberapa langkah, para pegawai lainnya mendekatinya pelan-pelan. Mereka semua perhatian dan kasihan pada Shania. Amanda Sari, ketua proyek tim 3 memberanikan diri masuk ke ruangan kantor Shania. Amanda mengambil barang Shania yang dibuang ke tempat sampah, membersihkannya, dan membungkusnya ke dalam kardus. "Bu Shania, kuambilkan untukmu." Melihat itu, Shania merasa terharu. Meskipun kehidupannya terasa gelap, masih ada setitik cahaya yang meneranginya. "Ya, terima kasih." Shania tersenyum. Para pegawai dari departemen proyek mengantarnya sampai pintu lift. Amanda membantu membawakan barangnya sampai lantai bawah. Sebelum pergi, Shania berkata kepada Amanda, "Katakan kepada semuanya untuk mengerjakan tugas masing-masing dengan baik, jangan menentang Nona itu. Biarkan dia bermain sampai bosan, nanti dia akan pergi dengan sendirinya. Selain itu, kalau ada masalah dengan proyek yang dia pegang, langsung beri tahu Jevan, jangan tunggu sampai dia menyalahkan kalian. Proyek-proyek kita bernilai triliunan, kalian nggak akan mampu menanggungnya. Kalau Jevan tahu bahwa dia adalah penyebabnya, Jevan pasti akan mengurusnya." Amanda mengangguk. "Nanti kusampaikan kepada mereka." Shania memeluknya dan berkata, "Jangan putus kontak, ya." Setelah keluar dari Grup Mahesa, hujan mulai turun. Setiap tetesan hujan membuat perasaan Shania makin sedih. Tinggal 10 hari lagi. Tidak lama lagi. ... Setelah Shania pergi, Qiara pergi mengadu ke Jevan di ruangan kantor presdir lantai atas. Kebetulan Martin Gustama, kakaknya juga ada di ruangan kantor presdir. Saat melihat hidung adiknya berdarah, Martin terkejut dan bertanya, "Siapa yang memukulmu?" Qiara duduk di antara Martin dan Jevan. Sambil menangis, Qiara berkata, "Aku berbaik hati menyeduh kopi untuk Shania. Aku juga memberikan kursi untuk dia duduk. Sebaliknya, begitu masuk ruangan, Shania sudah memakiku nggak tahu malu, dia juga ... menghina aku dan Kak Jevan." "Aku ingin meminta bimbingannya, jadi aku nggak berani melawannya. Selain itu, dia juga memukul wajahku dengan dokumen, menekan kepalaku di lantai." ... Setelah mendengarkan kata-kata Qiara, ekspresi Jevan berubah muram, dia tidak berani mengatakan apa-apa. Martin terkejut, kemudian berkata dengan marah, "Apa wanita itu sudah gila? Dia sudah kurang ajar! Jevan, bagaimana kamu menyelesaikan masalah ini?" Jevan menjawab, "Aku mewakilinya minta maaf kepada Qiara. Belakangan ini, emosinya memang nggak stabil." "Hanya begitu saja?" pikir Qiara dalam hati. Qiara membayangkan bahwa Jevan akan membela dirinya dan memanggil Shania untuk diinterogasi, tetapi itu tidak terjadi. Qiara makin marah. "Siapa yang minta kamu minta maaf untuk dia? Aku mau dia sendiri yang berlutut dan minta maaf padaku! Aku juga mau membalasnya!" Jevan berkata dengan tatapan dingin, "Itu mustahil." Martin tidak senang. "Kenapa mustahil? Dia jelas-jelas sudah memukul adikku sampai hidungnya berdarah, bukankah seharusnya dia tanggung jawab? Kalau kamu masih membela wanita itu, Keluarga Gustama akan mengambil jalur hukum." Sambil mengepalkan tangan, Jevan merenung sejenak, kemudian berkata, "Kalau memang harus seperti itu, dengan sangat menyesal, kerja sama kita batal. Kita bertemu di pengadilan saja." Martin dan Qiara terkejut. Martin bertanya, "Kamu ... kamu peduli sekali sama dia?" Jevan bersandar ke belakang, lalu menjawab dengan tegas, "Dia adalah istriku, nggak ada yang boleh menyakitinya." Kebencian Qiara makin besar hingga seluruh tubuhnya gemetar. Padahal Jevan sangat bahagia saat bersama dengan Qiara, jelas-jelas Jevan sudah jarang pulang ke rumah. Jevan sudah tidak mencintai Shania lagi, tetapi kenapa Jevan masih memedulikan Shania? Mengetahui bahwa Shania sangat berarti bagi Jevan, Qiara makin marah. Namun, saat ini Qiara lebih takut Jevan tidak memedulikan dirinya lagi. Akhirnya, Qiara mengubah sikapnya. "Sudahlah, lupakan saja. Wajar, Bu Shania marah karena kedekatanku dengan Kak Jevan. Aku juga nggak benar-benar minta dia berlutut minta maaf kepadaku. Aku hanya sekadar mengadu, jangan marah, ya." Martin terdiam. Qiara merupakan putri keempat Keluarga Gustama. Kenapa dia merendahkan diri demi bersaing dengan wanita yang berasal dari kalangan biasa? Sungguh memalukan! "Tapi, Kak Jevan, hari ini aku menderita sekali, kamu harus memberiku kompensasi," kata Qiara dengan manja. Hati Jevan melunak. Dengan tatapan lembut, Jevan menjawab, "Tentu saja." Qiara pergi dengan hati penuh amarah dan dengki. ... Sesampainya di rumah, Shania mendapat telepon dari Wulan. "Shania, Pak Aldo dari Grup Kencana janjian bermain golf dengan Xander besok sore. Aku sudah sampaikan kepada Pak Aldo untuk mengajamu ke sana, nanti jangan malu-maluin, ya." "Wah, baguslah. Memang kamu adalah sahabatku yang terbaik. Muahh ... " "Astaga, bulu kudukku jadi merinding. Sampai jumpa hari Rabu, ya." "Sampai jumpa." Kabar baik ini membuat Shania merasa sangat bahagia. Saking bahagianya, pada saat makan malam, dia makan dengan lahap. Pada tengah malam, Shania pergi ke ruang gym untuk membakar lemaknya. Setelah olahraga selama 20 menit, ponselnya berbunyi. Jevan yang menghubunginya. Jevan belum pulang hari ini. Shania sudah terbiasa dengan hal ini. Namun, tumben Jevan menghubunginya tengah malam. Shania merasa agak ragu, tetapi dia tetap mengangkatnya. Begitu telepon tersambung, terdengar suara pria dan wanita yang mendesah. "Kak Jevan, kamu hebat sekali." ... Sebenarnya, pencernaan Shania sedang tidak baik. Sekarang, perutnya bergejolak lagi, akhirnya Shania memuntahkan isi perutnya. Ponsel di tangannya juga terjatuh ke lantai. Layar ponselnya hancur berkeping-keping. Shania muntah hingga pandangannya kabur. Meskipun sudah muntah, perutnya masih terasa mual. Tanpa sadar, Shania sudah berada di kamarnya. Shania berbaring di tempat tidur. Dia merasakan rasa sakit yang menyiksa. Kemungkinan dia tidak akan bisa tidur karena rasa sakit ini. Ketika rasa sakit itu mulai hilang, dia masih terjaga sambil mendengarkan detak jantungnya, semuanya terasa sangat tenang ... Waktu terus berjalan. Sampai akhirnya, dia menutup matanya dan terlelap. ... Saat terbangun, fajar menyingsing. Shania bangun, mandi, merapikan ruangan gym, lalu sarapan. Setelah selesai sarapan, dia pergi membeli ponsel baru. Sore harinya, Shania pergi ke klub golf sesuai janji.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.