Bab 2
Oliver dan Selena basah kuyup. Bau alkohol menguar dari keduanya.
Selena mencoba mengeringkan rambutnya dengan tisu sambil merengek pada Oliver.
"Pak Oliver, lihat, dia benar-benar keterlaluan. Gaun baruku jadi basah."
Oliver memeluk Selena, lalu menatapku dengan geram.
"Vica, cepat minta maaf ke Selena! Kamu benar-benar nggak sopan."
Mungkin karena aku selalu bersikap baik di depan Oliver, dia sama sekali tidak menyangka aku berani menyiram mereka dengan minuman.
Oliver terang-terangan membela Selena tanpa memedulikan harga diriku. Demi selingkuhannya, dia menegurku, tunangannya.
Cukup sudah. Selama tiga tahun ini, tingkah Oliver sangat membuatku muak.
"Oliver, batalkan saja pertunangan kita."
Aku melempar botol minuman itu ke lantai dan membiarkannya bergulir ke kaki Oliver.
Oliver tertegun sejenak sebelum memandangku dengan tatapan mencemooh.
"Vica, apa nggak salah? Kamu mau pertunangan kita batal?"
Dia tidak percaya aku serius ingin putus dengannya. Lagi pula, akulah yang dahulu mengejar-ngejar dia dan menginginkan pertunangan ini.
Selama tiga tahun, aku seolah tidak memedulikan tingkahnya demi mempertahankan hubungan kami.
Namun, sekarang, hanya karena seorang mahasiswi, aku ingin membatalkan pertunangan. Wajar saja kalau Oliver merasa heran.
Aku melepas cincin pertunangan kami, lalu melemparkannya ke arah Oliver. "Ya, pertunangan kita batal. Mulai sekarang, aku, Vica Delano, dan kamu, Oliver Ford, nggak ada hubungan lagi."
Usai berbicara, aku mengalungkan tasku di pundak dan berbalik pergi.
Oliver menatap kepergianku dan berteriak, "Vica, kalau kamu berani keluar dari pintu itu, jangan harap kamu bisa balik lagi ke aku!"
Aku tidak menghiraukan ucapannya dan terus berjalan tanpa menoleh.
Teman-teman Oliver berusaha menasihati Oliver.
"Pak Oliver, kayaknya Kak Vica betulan marah. Coba bujuk dia."
Oliver mendengus dan berkata dengan penuh keyakinan, "Buat apa? Dua hari lagi dia juga bakal mohon-mohon buat balikan."
Di mata Oliver, gadis penurut sepertiku tidak mungkin sanggup berpisah darinya.
Setelah meninggalkan bar, aku pergi ke rumah sakit untuk tugas malamku.
Kabar tentang perpisahanku dengan Oliver dengan cepat menyebar di kalangan teman-teman.
Banyak yang mengirim pesan untuk menghiburku.
"Mungkin Pak Oliver cuma lagi emosi. Dia tetap cinta sama kamu kok."
"Apa pun yang terjadi, kami akan selalu mendukungmu untuk menjadi istri Oliver, Vica."
Hanya pesan dari sahabatku yang tidak ada sangkut pautnya dengan batalnya pertunanganku.
"Aku bisa utang dulu nggak? Hehehe."
Sambil mendongkol, aku mengirimkan uang untuk sahabatku tanpa membalas pesan yang lain.
Tak lama kemudian, ada pasien yang datang.
Dua pria berpakaian kaus loreng militer berjalan masuk ke ruang IGD.
Salah satunya terlihat lebih muda, mungkin belum lama bergabung di ketentaraan.
Di sampingnya, berdiri seorang pria berusia sekitar tiga puluhan. Tubuhnya yang tegap menunjukkan hasil pelatihan keras selama bertahun-tahun. Kulitnya agak gelap, tetapi wajahnya sangat tampan. Ekspresinya yang tenang dan tegas membuatku terpesona.
Bibir pria itu terkatup rapat, memberikan kesan sulit didekati. Namun, entah mengapa, aku sangat ingin mencium bibir itu.
Inilah pertama kalinya seorang pria membuatku sulit mengendalikan diri. Saat aku menyadari kalau aku terlalu lama menatapnya, dia juga balas memandangku dengan sorot matanya yang tenang.
Tatapan kami bertemu, saling mengamati dan mengukur.
Aku merasa pria ini tidak asing lagi. Intuisiku terbukti benar ketika aku melihat nama yang tertera di formulir pendaftaran.
"Sean Ford."
Dunia ini ternyata sempit. Pria itu adalah Sean, paman Oliver.
Dia putra bungsu keluarga Ford yang jarang bisa pulang karena tugasnya sebagai tentara. Selama tiga tahun pertunanganku dengan Oliver, aku hanya bertemu dengan Sean sekali.
Ketika kakek Oliver berulang tahun, Sean mengambil cuti dan pulang untuk ikut merayakannya.
Meskipun hanya bertemu sekali, wajahnya sangat sulit dilupakan karena dia begitu tampan.
Tak kusangka. Baru saja aku membatalkan pertunangan dengan Oliver, aku malah bertemu dengan paman Oliver di rumah sakit.
"Dokter, pinggang Kapten Sean terluka. Tolong bantu obati lukanya," kata tentara yang lebih muda.
"Baik. Pak Sean, ayo ikut saya."
Aku berbicara kepada Sean untuk mengajaknya ke ruang perawatan.
Setelah mendengar perkataanku, Sean yang sejak tadi diam segera berdiri dan mengikutiku.
Sambil menyiapkan peralatan, aku menunjuk ke tempat tidur untuk meminta Sean menunggu di sana.
Tak lama kemudian, aku berkata, "Tolong buka bajunya."
"Semuanya, ya?"
Sean tiba-tiba bertanya dengan nada serius.