Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 7

"Kalau harus menikah dengan seseorang, kenapa aku nggak pilih pria yang mapan? Menurutku, bagus kalau nggak perlu khawatir soal uang dan nggak perlu menghadapi pria jelek yang sombong." Jimmy menatap Mazaya dalam diam. Jimmy ragu apakah dia seharusnya memuji kejujuran Mazaya. "Kamu jujur sekali." Mazaya meletakkan sendoknya. "Pak Jimmy memiliki IQ tinggi dan wawasan yang luas. Nggak ada trik yang bisa menipumu. Aku juga nggak ingin bersusah payah hidup dengan topeng. Lebih baik dibicarakan secara terbuka." Jimmy berujar dengan acuh tak acuh, "IQ-mu juga nggak rendah." Mazaya tersenyum. "Apakah ini adalah pujian?" Lalu, Mazaya beranjak dari kursinya dan menaruh segelas air di depan Jimmy. "Karena kita sudah mencapai kesepakatan, kita bagi tugas rumah tangga. Aku masak, maka kamu cuci piring. Ini nggak keterlaluan, 'kan?" Tanpa menunggu tanggapan Jimmy, Mazaya berjalan ke balkon dan membaca buku. Jimmy melirik meja itu, lalu menoleh ke arah Mazaya. Jimmy tertakjub! Mazaya adalah orang pertama yang berani berbicara seperti itu dengannya. "Ada asisten rumah tangga yang akan membersihkan rumah." "Itu hanya masalah sepele. Kamu nggak bisa melakukannya?" Mazaya berujar dengan suara dingin tanpa melirik ke arah Jimmy. Wajah Jimmy muram .... Bagaimana bisa seorang pria mengaku dirinya payah? Mazaya tidak menggubris Jimmy setelah membagi tugas. Lalu, terdengar suara pecahan porselen di dapur. Mazaya tetap duduk di tempatnya dan membaca buku dengan konsentrasi. Saat Mazaya membalikkan halaman keenam, Jimmy berjalan keluar dari dapur ke meja ruang tamu untuk mengambil kotak medis di laci meja. "Apa perlu kubantu?" Mazaya bertanya secara formalitas tanpa mendongakkan tatapannya dari buku. Tatapan mata Jimmy lebih muram lagi. Dia berkata dengan suara dingin, "Sini." Barulah Mazaya meletakkan buku itu. Mazaya berjalan ke sana dengan santai dan melihat luka Jimmy. Lukanya cukup dalam. Mazaya mengambil cairan disinfektan untuk membersihkan luka Jimmy. "Apa susahnya mencuci piring? Kenapa bisa begini? Apa perlu ke rumah sakit untuk menjahit lukamu?" Mazaya bertanya dengan acuh tak acuh. Tepat saat itu, ponsel Jimmy bergetar. Tanpa berkata apa-apa, Mazaya mengoleskan salep dan menempelkan plester ke luka Jimmy. "Pakai sarung tangan lain kali." Jimmy melirik Mazaya sekilas. Lalu, Jimmy beranjak dari sofa dan berjalan menuju ruang kerja. ... Jimmy sibuk di ruang kerja sampai pukul 10 lewat. Begitu masuk ke kamar, Jimmy mendapati ada barang-barang wanita yang bukan miliknya di kamar tidur, ruang pakaian, dan kamar mandi. Semua itu jelas disiapkan oleh neneknya. Setelah menenangkan diri, Jimmy mengambil piama dan berjalan ke kamar mandi. Saat Jimmy keluar, Jimmy melihat Mazaya berdiri di balkon dan bertelepon dengan seseorang. Suara Mazaya sangat pelan dan tenang. "Aku sudah mendapat telepon dari rumah sakit. Aku tahu, ajal Pak Albert sudah dekat." "Iya, aku mendapat informasi sore tadi. Mereka sudah mendiskusikan itu. Mereka ingin Erwin dan Sherly bertunangan dalam periode waktu ini. Pertama, itu dapat mempertahankan kepopuleran Sherly. Kedua, Sherly bisa mendapatkan kesan baik yang lebih banyak dengan kabar gembira itu." Di telepon, Yessy Verdin berbicara dengan nada suara sedih dan tak berdaya, serta waswas. "Mazaya ... kamu mungkin harus menyusun rencana untuk dirimu. Ayahmu sangat dekat dengan Grup Fanida akhir-akhir ini. Tuan Muda Kedua Grup Fanida kaya dan berstatus. Ayahmu dan keluarganya bilang dia adalah pasangan yang baik ...." "Jadi, mereka menginginkanmu untuk mempersuasiku?" Mazaya menyeringai dan memotong perkataan Yessy. "Mazaya ... Ibu berpandangan sempit. Untuk pernikahan seumur hidup, kamu seharusnya mencari pria yang kamu suka dan menyayangimu. Ibu meminta mereka untuk memberimu pilihan. Sebelumnya, Kamu dan Erwin sangat cocok, tapi mereka ...." Perkataan Yessy jelas tidak meyakinkan. Mazaya tahu Yessy sedang hidup dalam kesulitan. Mazaya terdiam sejenak. Lalu, Mazaya berbicara dengan suara pelan. "Ibu nggak perlu dilema lagi dengan masalahku, juga nggak perlu mengkhawatirkanku lagi. Aku sudah menikah." "Menikah? Kamu sudah menikah? Kapan itu?" Di sebelah sana, Yessy sangat terperanjat. "Kami baru buat surat nikah dua hari ini. Aku terlalu sibuk dan nggak sempat memberi tahu Ibu." "Ini ... ini terlalu mendadak ...." Yessy terdiam untuk waktu yang lama. Setelah itu, dia bertanya dengan suara pelan, "Apakah karena kakekmu? Atau karena ... Erwin? Kamu nggak boleh melakukan hal-hal bodoh. Sekalipun mau menikah, kamu harus menikah dengan pria yang kamu sukai ...." Mazaya menyeringai dan nada suaranya dingin. "Nggak mendadak juga, kami sudah kenal lumayan lama. Kami menikah karena merasa cocok. Dia cukup unggul, ulet, jangkung, tampan, dan sangat baik padaku. Aku sudah pindah ke rumahnya sekarang. Lalu ...." "Tapi, Mazaya ...." "Ibu, jangan khawatir. Lagi pula, nggak akan ada masa depan untukku dan Erwin."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.