Bab 8
"Kak Arya, orang itu ... sangat menakutkan, dia menatapku."
Yuna berbicara dengan gemetar sambil bersembunyi di belakang Arya.
Aku menoleh, lalu menghela napas lega. Ternyata pria cabul itu tidak menatapku, tetapi menatap Yuna.
Dia menatap Yuna seperti sangat marah, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa.
"Namanya Davin, dia tinggal di panti asuhan dekat sini. Dia pernah merampas roti orang lain dan tertangkap olehku. Seharusnya dia bukan orang jahat," bela seorang polisi.
Aku menggelengkan kepalaku dengan putus asa. "Tidak, dia itu orang jahat, dialah yang sudah membunuhku!"
Polisi itu pun melepaskan Davin.
Davin berdiri dari tanah dengan canggung. Kakinya terlalu panjang sehingga celananya tidak bisa menutupi pergelangan kakinya.
Aku melihat bekas luka yang mengerikan di betisnya, seperti luka bakar akibat sengatan listrik.
Aku takut dia akan terus membunuh. Jelas-jelas aku takut, tetapi aku tetap mengikutinya.
Dia berjalan ke sisi Yuna dengan suara serak.
Suara yang terdengar seperti suara yang sudah hancur ...
"Ternyata kamu ... "
Yuna menatap pria itu dengan kaget dan seluruh tubuhnya gemetar.
Aku juga menatap Davin dengan kaget. Jadi, dia tahu Yuna yang sengaja memancingku ke sana?
"Tuan Arya, kalau ada informasi mengenai Shani, tolong hubungi kami secepat mungkin. Maaf, malam-malam begini mengganggumu." Polisi yang memimpin itu meminta maaf dan berkata, "Namaku Ben Nathan dan ini nomor teleponku."
Arya mendengkus, lalu mengambil kartu namanya dan membawa Yuna pergi.
Setelah Arya pergi, Ben berkata, "Selidiki Arya dan Yuna. Hubungannya dengan Shani jelas tidak sesederhana itu."
"Kak Ben? Bagaimana kamu bisa tahu?"
"Apa kamu tahu apakah adikmu punya tahi lalat di dadanya dan tanda lahir di tulang kemaluannya?"
"Ini tidak wajar ... " Polisi muda itu membuka mulutnya karena terkejut. "Dia ... dia terlihat seperti orang yang baik."
"Jadi, selidikilah!"
...
Aku tidak kembali dengan Arya karena aku tidak ingin melihatnya dan Yuna lagi.
Aku mengikuti Davin dan melihatnya tertatih-tatih, sedang berusaha menemukan tubuhku.
Dia menyeret kakinya yang terluka dan bernanah, berjalan ke sebuah panti asuhan yang terbengkalai, lalu memanjat masuk dengan gesit.
Aku mengikutinya dan melihat sekeliling dengan napas terengah-engah.
Di sinilah tempatnya.
Tempat terakhir aku mati!
Dialah yang membawaku ke sini dan membunuhku.
Ini adalah TKP dari kasus pembunuhan berantai ini.
Aku mengikuti Davin dari dekat untuk melihat apakah aku bisa menemukan tubuhku.
Namun, dia tidak pergi ke tempat pembunuhan itu. Sebaliknya, dia memasuki gedung asrama yang bobrok, lalu memasuki sebuah ruangan kecil dan meringkuk di pojokan.
Ruangan itu berantakan dan banyak barang berserakan di mana-mana.
Namun, sepertinya dia biasanya tinggal di sini.
Ini adalah panti asuhan yang sudah terbengkalai. Setelah lama berkeliling di dalam panti asuhan ini, aku belum menemukan ruang bawah tanah tempat dia membunuhku.
Pantas saja polisi tidak dapat menemukannya setelah menyelidikinya begitu lama.
"Bam!" Pintu besi panti asuhan tiba-tiba ditabrak oleh mobil.
Davin berjalan keluar dengan waspada sambil melihat sekelompok tamu tak diundang itu.
Aku terkejut saat melihat orang yang keluar dari mobil itu ternyata adalah Arya.
Di dalam mobil masih ada Yuna yang gemetaran.
"Dia orangnya, aku tidak tahu apakah dia seorang pembunuh atau bukan, tapi orang yang mengikutiku beberapa hari ini adalah dia."
Yuna tidak mengakui Davin di depan polisi, tetapi dia memberi tahu Arya.
Alih-alih memanggil polisi, Arya malah memilih membawa orang untuk memperingatkannya.
Davin hendak melarikan diri, tetapi teman-teman Arya mengadangnya. Mereka memukul Davin dengan tongkat.
"Pengemis sepertimu tidak pantas mendambakan Kak Yuna."
"Hei, apakah dia orang yangm tidak menyukai Shani itu? Seorang pengemis punya selera yang cukup tinggi juga."
Davin meringkuk di tanah sambil melindungi kepalanya. Terlihat jelas dia sering dipukuli.
Arya berjongkok di depan Davin dan menunjukkan fotoku kepadanya. "Apa kamu pernah melihat wanita ini?"
Pada saat itu, aku juga bertanya-tanya apakah dia juga curiga ... bahwa aku sudah mati?