Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Angin pun serasa bagai bilah pisau dari bekuan es. Tiap kali angin menusuk hati Yunara, rasanya benar-benar sakit sampai sulit untuk bernapas. Selama lima tahun, Yunara gagal menghangatkan hati Yoel. Sementara itu, Sandra melanggar semua prinsip Yoel dengan amat mudahnya. Dalam keluarga Henderson, "Sandra" adalah nama yang tabu dan tidak boleh disebutkan. Meskipun orang tua Yoel hanya menyebutkan namanya saja, tetap sanggup memicu kekacauan. Satu hari, Yunara tengah merapikan barang-barangnya di ruang belajar. Melihat foto Sandra tanpa sengaja justru memancing kedatangan Yoel yang tiba-tiba masuk penuh amarah, lalu mengusirnya dari ruang belajar dan melarangnya masuk kembali ke ruangan itu. Yoel sangat mencintai Sandra! Saat kondisi Samudra mengalami demam hingga pingsan, Yunara merasa begitu sedih dan gelisah. Hatinya terasa begitu sakit dan tidak bisa tinggal diam. Usai mengetahui Sandra sengaja mengganggunya, Yunara keluar dengan perasaan tidak puas dari ruang perawatan dan mencari dokter dari satu kantor dokter ke kantor lainnya. Samudra adalah segalanya bagi Yunara. Kalau harus korbankan nyawa, dia pun bersedia untuk meredakan demam sang anak. Bak orang gila, Yunara membuka pintu kantor dokter di setiap lantai, lalu berbalik pergi penuh rasa kecewa. Makin banyak pintu kantor dokter yang terbuka, hatinya perlahan merasa kecewa. Berlari ke tujuh lantai sekaligus, Yunara masih belum mendapati kehadiran seorang dokter. Samudra tidak bisa menunggu. Tetes air mata layaknya kalung mutiara pun mulai putus dan jatuh ke lantai dengan suara yang cukup kencang. Tiba-tiba, Yunara mendarat di pelukan seseorang. Sewaktu mengangkat kepalanya lagi, Yunara terhenyak. Tak tahu kapan hujan mulai turun di luar jendela. Suara hujan yang membosankan bolak-balik membentur jendela, seakan-akan tengah mengungkap sunyi dan kesepian yang sulit dijelaskan. Usai menabrak Yunara, dia lekas meminta maaf. "Maaf, saya tidak punya maksud seperti itu." "Yunara?" Sapaan penuh keterkejutan langsung terdengar di telinga, sontak menyadarkan Yunara. Melihat jarak pria itu dengannya begitu dekat, Yunara pun makin bingung. "Tristan?" Selama lima tahun penuh, nama-nama yang menyertai masa remaja Yunara telah perlahan menghilang dari ingatannya. Ketika bertemu lagi dengan orang ini, kenangan yang telah pergi pun datang kembali. Jika dibandingkan dengan lima tahun lalu, pria di hadapan Yunara saat ini terlihat lebih tegap. Gurat wajahnya terlihat tegas, bahkan kepribadiannya juga luar biasa. Tak terlihat perubahan usia dari perawakannya, tetapi masih bisa terlihat pengalaman dan pengetahuan di matanya sudah lebih matang ketimbang lima tahun yang lalu. Pada saat itu, sang pria menatap Yunara penuh keterkejutan. Pria tersebut menggenggam erat tangan Yunara sambil bertanya, "Lama nggak bertemu, ya. Kenapa bisa ada di sini?" Tristan benar-benar bersemangat, bahkan menggenggam erat tangan Yunara dan enggan melepaskannya. Sikap ini membuat Yunara merasa begitu tidak nyaman. "Bisa lepas aku dulu, nggak? Benar-benar ada urusan mendesak yang perlu kulakukan!" Bertahun-tahun telah berlalu, bertemu kembali dengan teman baik seperti Tristan hanya menyisakan kebingungan di kepala Yunara. Lima tahun lalu, Yunara tidak memberi tahu siapa pun mengenai kehidupannya. Tidak ada pesta pernikahan, tidak ada ucapan selamat, dan langsung menjadi Nyonya Yunara. Lantas, Tristan berlari keluar dari pintu vila keluarga Henderson dan memangil namanya dengan keras, meminta penjelasan darinya. Hujan turun begitu lebat. Tristan berdiri di tengah hujan, dengan sabar menunggu Yunara untuk keluar. Namun, ... Yunara memilih untuk menghindar. Setelah itu, Tristan pergi ke luar negeri untuk belajar. Keduanya pun tidak pernah bertemu kembali. Segala hal yang pernah terjadi langsung beralih sebagai duri yang menusuk awan hangat di langit. Saat kembali bertemu dengan Tristan, Yunara berharap ada satu lubang di tanah yang bisa dia gunakan untuk menyembunyikan diri. Saat ini, Yunara hanya ingin menemukan dokter dengan segera. Matanya memperhatikan Tristan yang mengenakan jas putih dan lencana yang tersemat di dadanya, bertuliskan Kepala Bagian Penyakit Dalam. Sorot matanya langsung menjadi cerah. "Kamu dokter, 'kan?" Tristan pun mengangguk. Mata gelapnya tampak memperhatikan Yunara dengan samar-samar, kemudian dengan tenang berkata, "Ya." Tanpa pikir panjang, Yunara menarik lengan bajunya dan mengajak Tristan pergi. "Jangan tanya apa pun, ikut aku!" Lima tahun yang lalu, Tristan mengaku pada sang ibu. "Aku suka Yunara dan mau bersama dia," singkatnya. Namun, dia malah ditentang keras oleh Ibu Yunara. Untuk mencegah Tristan berakhir dengan Yunara, dia dipaksa pergi ke luar negeri. Saat itu, dia tidak ingin berpisah dengan Yunara. Jadi, dia mencoba meyakinkan Yunara untuk pergi sama-sama ke luar negeri dan belajar di sana. Akan tetapi ... Yunara mendadak pindah ke vila keluarga Henderson dan menikah dengan Yoel. Bahkan, Tristan tidak sempat mengungkapkan perasaannya hingga dirinya pergi ke luar negeri. Ini bersarang menjadi luka yang abadi dalam hatinya. Kali ini, ketika melihat Yunara masih seorang diri, hatinya tak bisa menahan diri dan merasakan dirinya gemetar. Tristan pun tidak menolak saat Yunara menarik tangannya sembari mengikuti langkahnya menuju ruang perawatan anak-anak. Usai melihat kondisi Samudra, dia segera memeriksa. "Sudah berapa lama seperti ini?" Mengamati kondisi Samudra, pria itu mengesampingkan apa yang seharusnya tidak dia pikirkan dan bergegas memberi pertolongan pertama. Setelah memberi suntikan penurun demam di bawah kulit sang anak, Tristan menggendong Samudra dan membalut dengan selimut tipis. Kemudian, si Kecil dibawa keluar ruang perawatan. "Dalam situasi begini, anak perlu bergerak sedikit dan berkeringat biar demamnya bisa turun perlahan." Tristan memasuki lift sambil memeluk anak Yunara dan menekan tombol turun. "Aku tahu ada pusat kebugaran di ruangan kecil lantai dua, dipakai karyawan kami kalau hari biasanya. Mungkin nggak ada orang di sana sekarang, bisa bawa anakmu ke sana untuk bergerak sedikit sampai berkeringat supaya situasinya bisa lebih baik." Menyaksikan wanita yang dia sukai tengah mengkhawatirkan sang anak ketika ayah dari anak tersebut pun tidak terlihat, hati Tristan yang sunyi sejak lama pun kembali bergetar. Ada binar tipis di balik sorot mata Tristan pada Yunara. Yunara segera mengambil termos berisi air hangat dan mengambil selimut, lalu berlari mengikuti di belakangnya. Dua orang itu turun bersama ke pusat kebugaran dalam ruangan. Tristan tidak mengajak Samudra untuk melakukan olahraga berat, melainkan hanya memegang tangannya dan mengajaknya berjalan dua putaran dalam arena. Tak lama kemudian, ada banyak tetesan keringat yang halus dan padat di helai rambutnya. Yunara segera memberi Samudra beberapa teguk air panas seraya mengelap keringatnya menggunakan handuk kecil. Ketika mengusap keringat, Yunara mencoba untuk mengukur suhu tubuh anaknya. Meskipun masih agak tinggi, suhunya jauh lebih baik daripada sebelumnya dan sudah tidak panas lagi. Penuh rasa syukur, Yunara bicara pada Tristan, "Kak Tristan, terima kasih!" "Hari ini, kalau bukan karenamu, aku nggak tahu harus bagaimana lagi." Tristan tak begitu menghiraukan ucapan tersebut dan mengangkat sudut bibirnya seraya bertanya, "Buat apa sungkan padaku?" "Ayahnya di mana?" tanya Tristan setelahnya. Yunara terkejut, bibir merahnya langsung terkatup rapat, bingung harus menjawab apa. Setelah beberapa saat, Yunara bersusah payah menyunggingkan senyuman dan menjawab, "Ayahnya sedang lembur, nggak punya waktu." Suaranya sangat kecil, memang terdengar kurang percaya diri. Tristan mengamati wajah pucatnya dengan sorot mata yang makin dalam. Seakan-akan telah menyelusup dalam diri Yunara hingga ke lubuk hatinya, Tristan membalas, "Yunara, kamu bukan orang yang suka berbohong." Yunara merasakan panas menjalari pipinya kala kebohongannya terungkap di depan orang. Dia hanya bisa menundukkan kepala sambil memainkan jemarinya, bingung harus melakukan apa. Lantas, Tristan meraba dahi sang anak. Melihat keadaannya yang sudah baik-baik saja, dia membiarkan anak itu bermain dengan papan jari yang ada di sebelahnya. Kemudian, Tristan berjalan mendekati Yunara dengan sorot mata tajam dan keseriusan yang mengarah padanya. "Dia nggak baik buatmu!" tegas Tristan. Yunara pun berniat menjelaskan, "Aku ..." Sayangnya, Tristan langsung menyela dan lanjut berkata, "Anaknya sakit, tapi ayahnya malah bersama Sandra!" "Yunara, beri tahu aku, apakah ini pernikahan yang kamu mau?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.