Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 6

Setelah dihalau tongkat kejut listrik Rina, Teguh pun diusir ke lantai satu. Hati Rina terasa muram begitu melihat celana dalam yang jatuh di lantai, kemudian membayangkan wajah cabul Teguh. Dia mengambil celana dalam dari lantai dan melemparnya ke tempat sampah, berbalik, lalu kembali ke kamar dan mengunci pintunya rapat-rapat. Malam ini, Rina terbaring gelisah di atas tempat tidur dan tidak bisa terpejam hingga sangat lama. Sebaliknya, Teguh tidur sangat nyenyak sampai pagi menjelang. Saat melangkah keluar dari kamar, dia melihat seseorang duduk di ruang tamu. Ternyata pria itu adalah ayah Rina, Zakir Yulianto. Rina duduk di samping Zakir. Wajah cantiknya tegang, memancarkan aura sedingin es. Begitu Teguh keluar dari kamar, Zakir berseru dengan suara dingin, "Sini kamu!" Baru saja dia duduk di sofa, Teguh mendengar suara tangan Zakir menggebrak meja. "Brak!" Zakir berteriak penuh amarah, "Teguh, berani-beraninya kamu!" "Paman Zakir, tadi malam beneran cuma salah paham ..." Belum selesai Teguh , Rina sudah menyela, "Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Masih mau mengelak juga?" "Brak!" Zakir sekali lagi menggebrak meja memaki, "Bocah miskin dari gunung seperti kamu nggak pantas buat Rina putriku yang paling berharga." "Teguh, ingat kata-kataku." "Kejadian tadi malam nggak boleh terulang lagi. Kalau kamu nekat berulah lagi, aku tak akan segan menghancurkanmu!" Mengancam! Lagi-lagi mengancam terang-terangan! Zakir langsung membuka kopernya, mengeluarkan sebuah dokumen dan menaruhnya di meja. "Pernikahanmu dan Rina 'kan cuma pura-pura. Saham lima persen Grup Jagaraga bukan milikmu sama sekali. Cepat tanda tangani kontrak ini!" Teguh tidak peduli. Jangankan lima persen saham Grup Jagaraga. Seluruh Grup Jagaraga saja tidak layak mendapat perhatiannya. Tinggal anggap sebagai balas budi saja. Segera, Teguh menandatanganinya. Zakir mengambil dokumen itu, lekas bangkit hendak pergi. "Rina, masalah saham akan kuurus secepatnya. Kamu hati-hati di rumah." "Beberapa hari lagi, aku akan mengirim pengawal perempuan untukmu." Sebelum keluar, Zakir tidak lupa mengingatkan dengan suara keras, seakan sengaja mengatakannya kepada Teguh. "Baik, Ayah." Baru setelah Zakir benar-benar melaju pergi, Rina kembali ke rumah. Rina memasang tampak jijik begitu melihat Teguh yang duduk di sofa. Dia berbalik langsung menuju lantai dua untuk menelepon sahabatnya, Shinta Bramantyo, dengan panggilan video. Dia meluapkan semua yang terjadi tadi malam. Di ujung lain panggilan itu adalah seorang wanita cantik berwajah tirus, mengenakan gaun malam renda yang sangat sensual. Sepasang kaki panjangnya putih mulus, menggugah hati. Setelah mendengar Teguh ingin mencuri celana dalam di tengah malam, Shinta juga ikut jengkel. "Huh! Dasar nggak tahu diri, nggak tahu malu!" "Rina, kita nanti pergi ke balapan, 'kan?" "Bawa saja dia, biar dia tahu seperti apa hobi orang-orang kaya. Jatuhkan kepercayaan dirinya, buat dia sadar perbedaan antara kalian berdua!" Rina merasa ide sahabatnya ini cukup bagus. Setelah mengakhiri panggilan, dia berjalan ke tangga dan melihat ke arah ruang tamu. Teguh sedang duduk di sofa menonton televisi, siaran tentang perkembangan kondisi militer saat ini. Orang kampung! Untuk apa dia menonton siaran militer! Dengan raut tidak suka, Rina berkata, "Teguh, malam ini keluar denganku." Teguh mendongak menatap Rina. "Ke mana?" tanyanya penasaran. "Teman-temanku ngajak aku main. Sekalian saja kamu ikut lihat-lihat." Setelah itu, Rina berbalik pergi ke kamarnya. Lihat-lihat? Teguh tersenyum pahit. Dia yakin pasti ada yang tidak beres. Malam harinya. Berganti dari Ferrari merahnya, Rina mengendarai sebuah Mercedes-Benz yang menyilaukan mata dan membawa Teguh keluar. Tak lama kemudian, mobil berhenti di kaki Gunung Aruna. Gunung Aruna ada di sebelah barat Kota Senggigi dan merupakan arena balapan di pegunungan yang paling terkenal di Kota Senggigi. Semua kompetisi balap diadakan di sini. Di kaki gunung ini, berdiri sebuah hotel mewah. Banyak mobil berlalu lalang. Semilir angin berlalu membawa aroma nikmat. Mercedes-Benz Rina diparkir di depan hotel. Teguh mengikuti Rina keluar dari mobil. Di depannya, seorang wanita tinggi dan anggun berjalan mendekat. Dia adalah sahabat Rina, Shinta Bramantyo. Malam ini, Shinta mengenakan atasan putih berleher rendah, dipadukan dengan celana pendek yang begitu pendek sampai tidak bisa lebih pendek lagi. Memamerkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Terutama kulit putih dan kaki jenjangnya. Para pria tidak bisa menahan diri dari melirik berulang kali. Namun, ketika para pria ini melihat wajah dingin dan arogan Shinta serta Lamborghini yang dia kendarai, semua angan-angan hilang seketika. Shinta berjalan menuju Rina. "Rina, kamu tambah cantik aja," kekehnya. "Shinta, nggak usah basa-basi." "Basa-basi apanya, beneran deh kamu tambah cantik!" Shinta memeluk pinggang ramping Rina, tetapi matanya menatap tajam ke arah Teguh. Wajahnya tampak tidak suka. "Kamu Teguh Laksmana?" Teguh mengulurkan tangannya ingin bersalaman dengan Shinta. "Halo!" "Huh!" Shinta membersut dan menggerutu dengan suara dingin, "Teguh Laksmana, sampai mati pun, kamu nggak akan pernah bisa gabung dengan orang-orang kelas atas." "Semoga kamu sedikit sadar diri, nggak usah berkhayal tentang Rina. Kalau nggak, kamu sendiri yang akan menanggung akibatnya." Setelah mengatakan semuanya, Shinta segera menarik Rina masuk ke hotel. Teguh mengerti. Dia bukannya diajak melihat-lihat, tetapi diajak masuk perangkap! Sejak kejadian salah paham kemarin malam, pertama-tama Zakir datang menakut-nakuti, kemudian sahabat Rina menyiapkan perangkap untuknya. Wanita-wanita dari kota besar memang sulit dihadapi! Akan tetapi. Bagi Teguh, semakin sulit pertarungan, semangatnya juga semakin berkobar. Perangkap semacam ini hanya masalah sepele. Segera, Teguh berjalan mengikuti Rina. Tak lama, mereka naik ke lantai tiga hotel. Memasuki sebuah ruangan pribadi, di situ berkumpul anak-anak dari keluarga kaya. Setiap orang berhias mewah, energik, memamerkan kekayaan dan status. "Rina, Shinta, akhirnya kalian tiba juga!" Seorang pria anak keluarga kaya yang tampaknya memimpin di sini bangkit berdiri dan menyapa kedua wanita cantik ini. Pria ini adalah salah satu dari sekian banyak pria yang berusaha mendapatkan hati Rina. Namanya Danu Gumilar. Dahi Rina berkerut begitu melihat sosok Danu, "Shinta, kenapa kamu ajak dia ke sini?" bisiknya pada Shinta. "Rina, Danu ini juara tiga kompetisi balap mobil, dia pasti bisa merobohkan kepercayaan diri Teguh dari semua sisi." "..." Rina tidak terlalu suka si Danu Gumilar ini, anak keluarga kaya yang boros dan malas-malasan. Ketika Danu mendapati Teguh berdiri di belakang Rina, seketika sorot matanya berubah dingin. "Ini ..." Shinta melirik Teguh dan memperkenalkan dengan nada merendahkan, "Ini … si Teguh Laksmana yang itu!" Wajah Danu sedikit lebih santai begitu mendengarnya. Di matanya, Teguh hanya pecundang yang mudah disingkirkan dengan satu jentikan jari. "Semua yang datang adalah tamu. Tambahkan satu kursi lagi." Setelah semua orang duduk, Danu menjelaskan dengan antusias, "Rina, tahu nggak? Hotel ini sudah diakuisisi oleh orang Perancis, sekarang seluruhnya sudah diubah menjadi restoran Perancis!" "Ada yang bilang, rasa masakan di restoran ini paling autentik. Pokoknya kamu harus coba!" Danu menjentikkan jari dengan penuh percaya diri. "Pelayan!" Segera setelahnya. Pintu ruangan pribadi dibuka dari luar. Seorang wanita tinggi nan seksi berjalan masuk. Matanya biru laut, berambut pirang. Sosok yang sangat elegan dan anggun. Dia tampak seperti seorang model dari Perancis. Setiap pria yang berada di sana terpana dengan sosoknya, pandangan mereka terpaku dan tidak mau lepas. Para pria ini sudah sering bermain dengan berbagai macam wanita, tetapi mereka belum pernah mencoba wanita cantik dari Perancis! Wanita cantik itu berjalan ke dalam ruangan dan menyerahkan menunya kepada Danu. Danu setengah bersandar di kursinya. Membuka-buka menu dan memesan makanan dengan bahasa Perancis yang tidak fasih. Sudah tidak fasih, omongannya pun campur-campur dengan bahasa Inggris. Bagi orang yang tidak mengerti, pelafalan asingnya mungkin terdengar "kelas atas" dan menakjubkan. Sayangnya, di mata wanita Perancis ini, dia hanya terdengar menggelikan. Namun, orang-orang ini adalah pelanggan. Dia hanya bisa tersenyum dan menghadapinya, mencoba menerka apa yang ingin dipesan dari mendengarkan bahasa tidak fasih itu. Setelah selesai memesan, Danu melempar menu itu ke Teguh. "Aturan makan kita, pesan sendiri apa yang kamu mau makan. Kalau nggak bisa pesan, nggak bisa makan!" ujarnya angkuh.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.