Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 11

Terdengar suara operator yang dingin di telepon. "Maaf, nomor yang Anda tuju tidak aktif. Silakan cek kembali dan cobalah beberapa saat lagi ...." Carla menghela napas lega. Untung nomor itu sudah tidak aktif. Kelihatannya Jason benar-benar telah menonaktifkan nomor tersebut. Saat benar-benar meninggalkan seseorang, walau tahu tidak akan bisa menghubunginya lagi di kemudian hari, kesedihan di dalam hatimu tidak akan terlalu besar. Carla telah menduga hal ini dari awal. Tidak rela? Sepertinya tidak ada banyak pergolakan perasaan. Setelah apa yang dialami di kehidupan lampau, sekarang Carla tidak lagi merasa tidak rela terhadap sesuatu. Sejak dibawa oleh Jason di usia 5 tahun, sudah 11 tahun Carla bersamanya. Bagus juga. Carla tidak perlu khawatir hubungannya dengan Irvan akan diketahui oleh Jason. Sejak kecil, Jason mengontrol Carla dengan ketat. Tidak hanya menjadi seorang kakak laki-laki, Jason juga berperan sebagai orang tua yang tegas. Ketika Carla sepenuhnya berkegantungan pada Jason, dia lupa bahwa Jason tidak pernah menjadi miliknya saja .... Pukul setengah sembilan malam, di sebuah rumah sewaan di gedung perumahan bobrok, ada sebuah lampu yang masih menyala. Carla mengambil pena dan ingin mengerjakan tugas sekolah. Tepat saat itu, ada panggilan masuk di ponselnya yang dalam mode hening. Bagaimana mungkin Carla tidak mengingat nomor itu? Bahkan jika Carla sedang berada dalam bahaya, di mana pun dia berada, dia akan muncul di hadapan Carla seperti sang penyelamat dunia ketika Carla menelepon. Carla sendiri tidak tahu senyuman tersungging di bibirnya ketika dia melihat panggilan masuk tersebut. Ketika nada dering hendak berhenti, Carla baru menjawab telepon. Begitu telepon tersambung, terdengar suara napas yang pelan di telepon. Carla menggambar garis lurus di kertas coretan yang penuh dengan rumus. "Irvan? Kenapa kamu diam saja?" Baru setelah itu, Carla mendengar suara Irvan. "Kamu sudah tahu?" Carla bertanya lagi, "Apa yang kamu tahu?" Seketika, terlintas sebuah pikiran di benak Carla sehingga dia berhenti menggambar garis lurus. Wajahnya tiba-tiba menjadi panas. Setelah tertegun sejenak, Carla mencoba untuk menjelaskan, "Siapa suruh kamu cari tahu itu? Itu nggak ada hubungannya denganmu. Aku melamun saat ujian dan salah tulis nama. Jangan kamu ungkit lagi, dengar nggak?" Carla membayangkan wajah Irvan yang tegas dan serius, tetapi ragu untuk berbicara. "Ada apa kamu telepon aku?" Irvan berujar, "Kamu nggak perlu tulis surat introspeksi diri lagi." Carla terdiam sejenak. "Jangan-jangan kamu sudah tulis untukku?" Irvan tidak menyanggah. "Nggak akan ketahuan, aku sudah meniru tulisanmu. Aku bawakan besok." Wajah Carla yang polos terpantul di cermin. Carla menundukkan kepala dan tersenyum. Irvan masih saja begitu baik. "Ini bukan salahmu, kamu nggak perlu membuatnya untukku." Irvan terdiam. Irvan tidak memberi jawaban. Mereka pun diam. Carla mengambil sebuah buku latihan matematika di samping. "Irvan, ayo ajari aku kerjakan soal latihan! Aku sudah janji pada guru akan dapat nilai sepuluh besar dalam ujian percobaan kali ini. Bisakah kamu memberiku bimbingan?" Irvan langsung menjawab, "Baik." Carla tahu akan kondisi keluarga Irvan yang susah. Irvan harus bekerja paruh waktu untuk membayar biaya pengobatan ibunya. "Irvan, aku akan membayarmu." Namun, Irvan menyanggah, "Aku nggak mau uangmu." Carla dengan jelas menyebutkan soal yang tidak dia kerjakan kepada Irvan dan Irvan menjelaskan soal tersebut dengan sabar. Seperti yang Irvan katakan, Carla memiliki dasar yang cukup kuat. Carla dapat langsung menyelesaikan soal tersebut menggunakan rumus yang ada. Di kehidupan lampau, Carla dapat masuk ke Universitas Jayakarto berkat koneksi yang dimiliki oleh Jason. Kali ini, Carla ingin mencoba apakah dirinya dapat berhasil tanpa Jason. Penjelasan Irvan mudah dimengerti. Setelah mengerjakan soal, Carla mencocokkan jawaban dengan Irvan dan jawabannya benar. Carla tersenyum penuh semangat. "Irvan, aku sudah bisa kerjakan. Sekarang kelihatannya nggak sesulit itu." Irvan menyahut, "Sudah kubilang, kamu punya dasar yang cukup kuat." "Carla, belajarlah dengan giat ...." Mengapa Irvan selalu memberi perhatian padanya? Mereka baru berkenalan tiga kali, mengapa Irvan begitu baik padanya? "Ya, baik." Kemudian, Carla meminta Irvan untuk mengajarkan beberapa soal lagi. Entah berapa lama kemudian, Carla menutupi mulutnya dengan tangan dan menguap. Mendengar itu, Irvan berhenti menjelaskan soal tersebut. "Aku percepat sisanya, biar kamu bisa istirahat." Carla menjawab dengan suara malas-malasan, "Ya, bagaimana denganmu?" Dari suara berisik di sebelah sana, Carla dapat menebak bahwa Irvan masih sedang sibuk. Irvan hanya menjawab, "Cepat tidur." "Tunggu!" Irvan diam saja. Carla berucap, "Irvan, selamat malam." Irvan tetap diam. Setelah tiga detik, Irvan baru menjawab, "Selamat malam." Setelah menutup telepon, Carla mengemas buku-buku, menonaktifkan ponsel dan meletakkannya di meja samping kasur untuk mengisi daya. Hanya satu lampu kamar yang dibiarkan menyala di kamar. Begitu berbaring di atas bantal, Carla dengan langkanya tidak bermimpi buruk. Carla tidur nyenyak sampai pagi hari. Alarm berbunyi. Carla selesai mandi dalam beberapa menit, lalu berangkat ketika hari masih pagi. Di bus umum, Carla tetap duduk di kursi biasanya. Hari ini tidak terlalu ramai. Setelah melewati dua halte, Carla melihat Irvan yang berpakaian seragam sekolah dan berdiri di depan halte bus. Carla bersandar di jendela sambil memegang dagu. Dia terang-terangan mengamati Irvan yang baru berumur 18 tahun. Carla tidak mengerti mengapa Irvan yang baru berumur 18 tahun memiliki tampang yang biasa-biasa saja, tetapi makin tampan ketika sudah berumur 30 atau 40-an tahun. Wajah Irvan sangat tegas dan kulitnya berwarna sawo matang, tetapi sangat priai. Bus umum berhenti, Irvan melangkah naik. Tubuhnya yang jangkung tampak sangat mencolok di antara orang banyak. Carla bergeser ke sebelah jendela dan memeluk tasnya. Akan tetapi, Irvan berpura-pura tidak melihat Carla, tidak duduk di sana. Irvan berdiri di depan Carla sambil berpegangan pada gagang. Jarang bisa melihat teman satu sekolah di sana. Tangan Irvan yang berpegangan pada gagang sangat kuat, tetapi telapak tangannya kasar sekali. Krim pelembap tangan bahkan tidak dapat menghilangkan kapalan di telapak tangannya. Di kehidupan lampau, ketika Irvan bersentuhan dengannya, Carla selalu merasa tidak nyaman karena sentuhan yang kasar itu. Irvan mengeluarkan secarik kertas putih yang terlipat dari dalam tasnya. "Ini." "Kamu tulis surat cinta untukku lagi?" gurau Carla dengan tatapan ceria. Walau Irvan tampak tenang, telinganya yang memerah telah mengkhianatinya. Mengapa bisa ada orang yang malu-malu secara tersembunyi? Irvan diam saja. Carla membuka kertas itu, surat introspeksi diri sebanyak 800 kata yang sangat mirip tulisannya sendiri. Carla terkejut. "Kamu benaran tulis?" Tulisan itu sangat mirip tulisan Carla. Carla pernah melihat tulisan asli Irvan. Meniru tulisan seseorang membutuhkan latihan yang sangat lama. Sudah berapa banyak hal yang dilakukan oleh Irvan tanpa sepengetahuannya?

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.