Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 5

Seisi ruangan langsung terdiam dan menatap Sheila dengan penuh keterkejutan setelah mendengar jawabannya. Diego, yang selama ini terlihat tak pernah memedulikan Sheila menurut semua orang, kini raut wajahnya pun menyiratkan ketidaknyamanan. Sesaat, keheningan menyelimuti ruangan dalam kecanggungan yang nyata. Seseorang mencoba mencairkan suasana dengan tawa kecil, tetapi tak seorang pun tampak benar-benar bersemangat untuk melanjutkan permainan. Dalam waktu singkat, pesta berakhir dengan terburu-buru. Diego masih tetap diam, seakan tak terpengaruh oleh kejadian sebelumnya. Namun, begitu masuk ke dalam mobil, tatapannya secara refleks tertuju pada Sheila. "Apa maksud jawabanmu tadi?" Sheila baru saja hendak berbicara, tetapi Diego sudah melanjutkan ucapannya, "Kamu masih marah karena aku meninggalkanmu sendirian melihat matahari terbenam?" Barulah saat ini, Sheila ingat bahwa Diego masih hidup dalam keyakinan bahwa ia masih mencintainya. Bahkan, Diego tidak pernah membayangkan kemungkinan bahwa Sheila sudah tak lagi mencintainya. Karena itu, jawaban Sheila dalam permainan tadi hanya dianggap sebagai luapan emosi semata. Merasa lelah untuk memberi penjelasan, Sheila memilih diam dan membiarkan Diego berasumsi sendiri. Diego menafsirkan diamnya Sheila sebagai bentuk persetujuan. Rasa kesal yang sempat menguasainya kini mulai menghilang. Diego akhirnya bersuara setelah hening sesaat, "Belakangan ini cuaca kurang bagus. Tapi aku janji, lain kali kita akan melihat matahari terbenam bersama." Sheila mengangguk pelan, tetapi hanya dia yang tahu bahwa hubungan mereka akan segera berakhir. Tidak lama kemudian mereka tiba di rumah. Diego menyelesaikan mandinya, lalu berbaring di samping Sheila. Nalurinya ingin mendekap Sheila, tetapi seperti sebelumnya, Sheila menghindarinya. "Nggak usah. Sekarang aku bisa tidur tanpa perlu mendengar suara detak jantungmu lagi." Ini adalah kedua kalinya Sheila berkata seperti itu. Diego seharusnya merasa lega mendengar kata-kata itu, tetapi dia sekarang justru merasa gelisah tanpa mengerti alasannya. Tidak ingin mendengar lebih banyak lagi, dia langsung mencoba menghentikannya dengan sebuah ciuman. Namun, sebelum dia sempat mendekat, Sheila menggelengkan kepala dan menghindar. Sheila memejamkan matanya dan berkata, "Aku sudah lelah. Tidurlah." Diego Boris, yang dikenal sebagai CEO arogan dari Grup Boris, terbiasa menjadi pihak yang dirayu. Namun, hari ini, setelah serangkaian penolakan, wajahnya menggelap, dan langsung membalikkan badan. Keesokan harinya, Diego pergi ke kantor lebih awal, sementara Sheila memilih beristirahat di rumah karena lukanya belum pulih. Selesai makan siang, dia mendapat panggilan telepon dari asisten Diego. Begitu panggilan terhubung, suara cemas dari asisten terdengar, "Nyonya, Pak Diego merasa nggak nyaman dengan jantungnya, tapi stok obat di kantor sudah habis. Bisakah Anda segera mengirimkannya?" Ini bukan pertama kalinya Sheila diminta untuk mengirim obat. Bahkan sebelumnya, tanpa perlu diminta, dia selalu memastikan persediaan obat di kantor tetap ada. Setiap kali mendengar bahwa Diego merasa tidak nyaman, kepanikan langsung menyergapnya, membuatnya segera bertindak. Alhasil, siapa pun bisa melihat betapa dalam perasaannya terhadap Diego. Kali ini, setelah mendengar penjelasan asisten, dia berkata dengan santai, "Rumah ke kantor terlalu jauh. Kamu pergi beli saja." "Aah?" Asisten terkejut dengan penolakan yang tak diduganya. Setelah jeda singkat, dia berkata dengan penuh keraguan, "Tapi ... saya nggak tahu harus membeli obat yang mana. Biasanya Anda selalu mengirimnya, bukan? Setiap kali Pak Diego merasa nggak nyaman dengan jantungnya, Anda selalu sangat cemas ...." Tanpa menunggu asisten menyelesaikan ucapannya, Sheila menyela, "Mulai sekarang, nggak lagi." Tidak ada getaran emosi dalam suaranya, berbeda dari reaksi yang biasa dia tunjukkan. Setelah menyebut beberapa nama obat, dia menambahkan, "Kamu adalah asistennya. Urusan seperti ini sekarang menjadi tanggung jawab kalian." Panggilan berakhir. Sementara itu, asisten masih tampak sedikit kikuk, tetapi untungnya dia sudah mencatat semua nama obat yang disebutkan dan langsung menyuruh seseorang untuk membelinya. Sore itu, begitu masuk ke rumah, Diego langsung melihat Sheila duduk di sofa, menonton televisi dengan ekspresi datar. Dengan wajah sedikit masam, dia berkata, "Hari ini jantungku terasa nggak nyaman. Kamu nggak tahu?" Suara yang begitu familier mengalun dengan sedikit tuntutan, tetapi masih belum cukup untuk menarik perhatian Sheila dari layar televisi. Jawaban yang keluar dari mulutnya begitu singkat dan tegas. "Tahu." Seolah tidak menduga jawaban blak-blakan itu, raut wajah Diego dipenuhi ketidakpercayaan. "Kamu tahu, tapi tetap nggak datang?" "Aku sudah bilang, terlalu jauh."

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.