Bab 1
Orang yang berhasil membuatnya jatuh cinta adalah teman ayahnya, seorang pria yang 12 tahun lebih tua darinya.
Pada pertemuan pertama mereka, pria berbahu bidang dan berpinggang ramping itu tampil dalam balutan setelan jas yang rapi, menjadikannya sosok paling memesona di antara yang lain.
Pria itu mengelus kepalanya sambil tersenyum dan memberinya sehelai gaun putri yang cantik.
Sewaktu dia berusia 20 tahun, pria itu mabuk di sebuah pesta koktail. Dia pun mengenakan gaun putri yang cantik itu, lalu menawarkan tubuhnya untuk menjadi obat penawar bagi pria itu.
Keesokan harinya, Nadine Rajasa, kekasih masa kecil pria itu memergoki mereka dalam keadaan yang acak-acakan. Nadine yang terpukul pun berlari keluar sambil menangis, tetapi sayangnya dia ditabrak truk yang lepas kendali. Nadine akhirnya meninggal di tempat.
Sejak saat itu, Claire Artana merasa Gio Morta menjadi orang yang berbeda.
Gio mengurusi pemakaman Nadine, lalu menikahi Claire dan tidur bersama Claire setiap malam. Semua itu Gio lakukan dengan pembawaan yang tenang. Akan tetapi, Gio mengatakan bahwa dia tidak menginginkan anak untuk saat ini, jadi berulang kali Gio membawa Claire untuk menggugurkan kandungannya.
Di aborsinya yang ke-18 kali, Claire mengalami pendarahan hebat. Ketika dia sedang terbaring sekarat di atas meja operasi, dia mendengar suara dokter yang sedang berbicara dengan Gio di telepon.
"Apa dia mati?" tanya Gio dengan tenang. "Beri tahu aku lagi nanti kalau dia mati."
Pada saat itulah Claire akhirnya menyadari bahwa Gio membencinya.
Dia benci Claire yang berinisiatif menjadi penawarnya, juga secara tidak sengaja membunuh Nadine.
Claire akhirnya meninggal di atas meja operasi dalam kondisi yang penuh penyesalan.
Saat Claire membuka matanya lagi, ternyata dia terlahir kembali. Lebih tepatnya, waktunya berputar ulang pada hari Gio mabuk ....
Claire sontak merasa campur aduk saat melihat pria yang biasanya tampak angkuh, berwibawa dan tak tersentuh itu kini terbaring di tempat tidur dengan mata memerah. Beberapa kancing kemeja Gio bahkan terbuka. Pria itu ibarat bunga pegunungan tinggi yang layu karena dicabut.
Di kehidupan sebelumnya, Claire seolah tersihir oleh penampilannya ini hingga dikuasai oleh hawa nafsu. Karena itu, tanpa memedulikan bahwa pria itu adalah teman ayahnya, tanpa berpikir bahwa pria itu 12 tahun lebih tua darinya, Claire rela menawarkan dirinya menjadi obat penawar bagi pria itu.
Setelah itu, Claire baru tahu bahwa Gio dan Nadine sudah saling mencintai. Mereka belum sempat melakukannya, tetapi Claire sudah mendahului Nadine.
Mungkin langit mengasihaninya, itu sebabnya dia diizinkan terlahir kembali tepat di hari yang menentukan masa depannya!
Dalam kehidupannya yang kedua ini, hanya ada satu hal yang ingin Claire lakukan. Dia ingin membantu Gio dan Nadine.
Claire pun segera mengeluarkan ponselnya dari tas, lalu menelepon Nadine tanpa ragu.
Sepuluh menit kemudian, Nadine bergegas menghampiri.
Claire segera meraih tangan Nadine dan berkata, "Aku tahu kalian saling suka, tapi kalian nggak pernah dapat kesempatan untuk melewati tahap ini. Karena sekarang dia lagi mabuk, inilah kesempatan terbaik untuk menyatukan perasaan kalian."
Nadine sebenarnya sudah merasa skeptis saat mengangkat telepon dari Claire, tetapi ucapan Claire saat ini membuat ekspresinya tampak makin berkecamuk. Dia takut Claire menjebaknya.
"Claire, kamu sebenarnya mau apa? Bukannya kamu suka pada Gio? Kenapa kamu nggak memanfaatkan situasi di saat Gio lagi mabuk, malah meneleponku dan membantu kami?"
Pertanyaan Nadine itu membuat Claire mentertawakan dirinya sendiri.
Inilah hari di mana semua orang di penjuru kota tahu bahwa dia mengejar hati Gio.
Dulu, Claire beranggapan bahwa dia bisa mengatasi halangan identitas dan usia asalkan dia berusaha sekuat tenaga. Namun, sekarang Claire menyadari bahwa tidak peduli sebesar apa pun usahanya, selama Gio tidak mencintainya, dia hanya akan terus menderita.
Claire salah besar di kehidupannya yang pertama.
"Aku sudah nggak suka lagi padanya," jawab Claire sambil menggelengkan kepalanya. "Aku nggak akan menyukainya lagi."
Tepat begitu Claire berujar seperti itu, terdengarlah erangan tertahan dari dalam kamar.
"Dia sudah nggak kuat lagi. Semua akan terlambat kalau kamu nggak segera masuk."
Nadine pun mengikuti arah pandangan Claire ke dalam kamar dengan agak ragu.
Akhirnya, Nadine menggertakkan giginya. Ekspresinya tampak mantap. "Terus, kenapa kamu masih di sini? Kamu mau jadi penonton langsung adegan yang nggak pantas?"
Tubuh Claire sontak menegang. Dia segera minggir agar Nadine yang berdiri di hadapannya bisa berjalan masuk.
Begitu tangan Nadine menyentuh wajah Gio, Claire langsung menutup pintu.
Tidak lama kemudian, Claire bisa mendengar erangan tertahan dari Gio dan desahan pelan dari Nadine. Suara mereka berdua menyeruak dari balik daun pintu yang tebal.
Suara-suara itu terus terdengar dan terasa seperti palu yang meremukkan hati Claire.
Tubuh Claire pun jatuh merosot ke atas lantai, segenap tenaganya seolah lenyap.
Air mata kesedihan mengalir deras dari sudut matanya, tetapi Claire juga merasa sangat lega.
Karena dia akhirnya bisa lolos dari masa depan menyedihkan di kehidupannya yang sebelumnya.
Claire buru-buru menyeka air matanya, lalu berjalan terhuyung-huyung menuju kamarnya.
Malam itu, Gio dan Nadine menghabiskan malam yang panas di kamar sebelah.
Sementara Claire sama sekali tidak tidur.
Dia pun ditelepon ayahnya, Derry Artana, saat fajar menyingsing.
"Claire, kamu mau nggak tinggal dengan Ayah di luar negeri?"
Beberapa tahun yang lalu, Grup Artana berencana untuk memasuki pasar luar negeri secara besar-besaran. Derry pun pergi ke luar negeri sendirian dan memercayakan Claire kepada sahabatnya, Gio. Itu karena Derry khawatir tidak akan punya waktu untuk mengurus putrinya.
Hal ini berlangsung selama beberapa tahun.
Setelah itu, Claire jatuh cinta pada Gio. Itu sebabnya meskipun bisnis Grup Artana sudah stabil di luar negeri dan Derry berulang kali mengajak Claire untuk tinggal bersamanya, Claire selalu menolak.
Sekarang karena Gio dan Nadine akhirnya bisa saling mengungkapkan perasaan mereka dan resmi menjadi pasangan, saatnya bagi Claire untuk pergi dan menjalani hidupnya sendiri.
Claire pun menarik napas dalam-dalam.
"Ya, Ayah, aku mau."
Derry tidak menyangka putrinya akan mendadak setuju. Nada bicaranya di ujung telepon sana langsung menjadi sangat bersemangat.
"Akhirnya kamu sadar juga, Nak! Sudah Ayah bilang Gio itu nggak akan cocok buatmu. Kemauanmu itu terlalu keras dan itu nggak akan berhasil! Wajar saja kalau kamu jatuh cinta, tapi tetap saja kamu harus jatuh cinta pada orang yang tepat. Ayah sudah menemukan calon suami buatmu, dia sepantaran denganmu. Setelah kamu ke sini, habiskanlah lebih banyak waktu dengannya. Kamu harus mencoba menjalani hubungan dengan orang lain, itu bukan sesuatu yang salah."
Ucapan Derry membuat mata Claire yang sudah merah dan bengkak itu sontak kembali berkaca-kaca.
Di kehidupan yang sebelumnya juga ayahnya menasihatinya, tetapi Claire saja yang tidak mau mendengarkan dan berujung menyia-nyiakan hidupnya.
Claire mengepalkan tangannya dan memaksakan seulas senyuman.
"Ya, Ayah, aku nurut deh sama Ayah. Tunggu aku ya, nanti kuurus proses imigrasinya."