Bab 13
Keesokan harinya.
Devan memanfaatkan waktu akhir pekan untuk membeli beberapa buku panduan belajar.
Di kartu ATM-nya masih ada lebih dari 60 juta.
Uang ini awalnya diberikan oleh Sonia ketika Devan pertama kali bergabung dengan Keluarga Atmaja sebagai bentuk kompensasi.
Saat itu, Devan tidak pernah menggunakannya. Karena baginya, seorang siswa tidak membutuhkan uang terlalu banyak.
Namun, siapa sangka dia akan mengalami begitu banyak masalah di Keluarga Atmaja!
Bahkan dalam hal pendidikan, ada perbedaan antara dirinya dan Marco.
Devan bersekolah di SMA 7 Yuwana, sebuah sekolah menengah biasa.
Sedangkan Marco, berkat campur tangan Fredi, dia berhasil masuk ke SMA 1 Yuwana.
Baik dari segi kualitas pengajaran maupun suasana belajar, keduanya jelas berada di level yang berbeda!
Semua biaya sekolah Marco ditanggung sepenuhnya oleh Keluarga Atmaja, termasuk antar jemput menggunakan mobil pribadi, seolah-olah dia sedang berlibur.
Sementara Devan, dia harus pergi sendiri.
Bahkan semua biaya sekolah dan biaya hidup sepenuhnya ditanggung oleh Devan sendiri.
Alasannya adalah karena Keluarga Atmaja tahu bahwa Devan memiliki uang, sehingga mereka tidak memberikan dukungan finansial lagi.
Mereka khawatir bahwa Devan yang berasal dari latar belakang masyarakat kelas bawah mungkin tidak memiliki moral yang baik.
Mereka takut jika Devan membawa uang dalam jumlah besar ke sekolah, hal itu akan menimbulkan masalah yang tidak perlu!
Bahkan mungkin akan membahayakan Keluarga Atmaja.
Namun, siapa yang tahu bahwa hingga saat ini, kehidupan Devan tetap sederhana. Tidak ada tanda-tanda kemewahan atau kebiasaan buruk.
Namun, itu semua sudah tidak penting lagi.
Keluarga Atmaja tidak akan pernah peduli.
Setelah membeli buku, Devan segera merapikan koper, bersiap untuk masuk sekolah besok.
Erica juga melakukan hal yang sama.
Mereka sudah terbiasa melakukan persiapan lebih awal.
Malam itu, Benny dan Rania menyiapkan satu meja penuh makanan, sekali lagi menjamu Devan.
Semua orang makan dengan sangat senang, seolah-olah memberikan pesta perpisahan kecil untuk Devan.
Hidup di sekolah menengah sangat padat, terutama menjelang ujian akhir.
Frekuensi kepulangan Devan pasti akan jauh berkurang.
Setelah mengucapkan beberapa kata perpisahan, semua orang kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap tidur.
Di dalam kamarnya.
Devan memandang keluar jendela dengan tatapan yang sedikit kosong, melihat pemandangan langit malam.
Langit malam begitu indah, dipenuhi bintang-bintang yang berkilauan.
Dirinya seperti salah satu dari banyak bintang di langit, tidak mencolok, tetapi senang memancarkan cahayanya sendiri.
Tiba-tiba ....
Tatapan Devan berubah, keningnya berkerut.
Dia memperhatikan ada sebuah mobil sport di kejauhan.
Mobil itu tampak tidak cocok berada di kompleks perumahan yang sudah tua ini.
Untungnya, lampu mobil itu segera dimatikan.
Seolah-olah pengemudi sengaja tidak ingin menarik perhatian.
Namun, Devan menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Karena pelat nomor mobil itu berasal dari Keluarga Atmaja!
Ini sudah larut malam, apa yang dilakukan orang dari Keluarga Atmaja di tempat ini?
Saat Devan sedang melamun, tiba-tiba tersungging senyum kecil di sudut bibirnya.
Mungkinkah itu dia?
Namun, sepertinya memang hanya dia yang mungkin datang ke sini!
Jika dia sudah datang, jangan sampai dia kembali begitu saja!
Saat Devan sedang berpikir, seorang wanita keluar dari dalam mobil.
Tubuhnya ramping, dengan rambut panjang yang terurai di belakangnya.
Dia tampak sangat cantik.
Terutama kulitnya yang putih bersih, seperti mutiara yang bercahaya di tengah kegelapan.
"Benar, memang hanya dia yang mungkin datang!"
Devan tersenyum kecil, matanya penuh dengan ejekan yang dingin.
Orang itu tidak lain adalah Karin, yang datang di siang hari tadi!
Ketika Devan sedang mengamati, Karin melambaikan tangan pelan ke arah tempat Devan berada.
Seolah-olah meminta Devan turun.
Devan segera berbalik, dengan cepat turun ke bawah.
"Apakah yang aku katakan siang hari tadi masih belum cukup jelas?"
Devan mendekat sambil berkata dengan nada dingin.
"Tapi ada satu hal yang terus menggangguku, membuatku nggak bisa tidur."
Karin menjawab dengan suara lembut, sambil tersenyum sinis.
"Masalah apa? Orang dari Keluarga Atmaja juga bisa sampai nggak bisa tidur?"
"Kau bilang, Marco adalah anak angkat, tapi apakah dia benar-benar anak angkat? Itu kata-kata yang kamu ucapkan."
"Ya, aku mengatakan itu!"
Devan menjawab tanpa ragu, mengangguk tanpa menutupi apa pun.
Namun, ada sedikit kilatan licik di matanya.
Akhirnya, Karin menangkapnya!
"Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya ingin kamu sampaikan?"
"Artinya sesuai dengan kata-kata yang aku ucapkan. Apa lagi yang ingin kamu tanyakan?" jawab Devan.
"Tapi aku merasa ada yang nggak beres. Apa yang sebenarnya kamu maksud?"
Tatapan Karin tajam seperti paku, tampak sangat tenang.
Dia terus mengamati Devan, berharap bisa melihat petunjuk lain dari ekspresi wajahnya.
Namun, hasilnya nihil.
Wajah Devan tetap tak menunjukkan perubahan apa pun.
Dia menatap Karin dengan pandangan penuh ejekan, tanpa sedikit pun berusaha menutupinya.
Hal ini membuat Karin merasa sangat tidak senang, bahkan merasa terhina.
Seumur hidupnya, belum pernah ada yang berani menatapnya seperti itu.
"Apa maksudmu sebenarnya? Katakan dengan jelas!"
Karin berkata dengan suara dingin. Wajahnya mulai menunjukkan sedikit tanda-tanda ketidaksabaran.
"Nggak ada maksud apa-apa."
Devan menjawab dengan acuh tak acuh.
"Kalau nggak ada artinya, kenapa kamu mengatakannya? Atau mungkin kamu tahu sesuatu dan ingin menggunakan itu untuk mengancam Keluarga Atmaja?"
Mata Karin menyipit, nada bicaranya dingin.
"Mungkin kamu salah paham."
Devan mengangkat bahu, masih tampak acuh tak acuh.
Dia mengejek, "Apa yang aku katakan nggak ada artinya. Kamu datang menanyakan sesuatu atau bahkan menanyakan inti permasalahannya, semuanya sama sekali nggak ada gunanya."
"Memang kenapa meski kamu mengetahuinya? Apa yang bisa kamu ubah?"
"Selain itu, ini juga nggak ada manfaatnya bagimu. Kenapa harus menggali begitu dalam?"
Ekspresi Karin tampak makin suram. Dia menatap Devan dengan tatapan dingin.
Tidak ada artinya?
Sekali pun mengetahuinya, dia tidak bisa mengubahnya?
Betapa sombongnya!
Karin menggertakkan giginya, menjadi makin marah.
Orang sombong ini, dia pikir dirinya siapa?
Berani-beraninya menghina dirinya seperti ini!
"Jangan berpura-pura misterius dengan menyembunyikan sesuatu. Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Aku akan setuju dengan syaratmu, katakan padaku rahasia yang kamu ketahui!"
Karin sedikit mengangkat kepalanya, memandang Devan dengan sikap meremehkan.
Suasana di sekeliling mereka menjadi hening.
Cahaya bulan menyinari tubuh Devan dan Karin. Mereka berdua berdiri seperti patung, tidak bergerak.
Mereka tetap berdiri di tempat, saling berhadapan.
Waktu berlalu perlahan, Devan yang pertama kali membuka suara.
"Karena kamu begitu ingin membuka kotak Pandora, maka aku akan memberitahumu!"
"Aku juga sangat penasaran, apa reaksimu setelah mengetahui rahasia ini."
"Bagaimanapun juga, kamu adalah orang paling cerdas di Keluarga Atmaja!"
Devan tersenyum kecil, mengeluarkan secarik kertas dan memberikannya kepada Karin.
Karin mengerutkan kening, menerima kertas itu, lalu membacanya.
Saat dia melihat isinya, matanya langsung menyempit seperti jarum. Dia merasa sangat terkejut hingga menarik napas panjang.
Ekspresinya penuh dengan ketakutan.
Ini! Ini tidak mungkin!
Karin tiba-tiba mengangkat kepalanya, menatap Devan dengan tajam.
Wajahnya tampak sangat buruk, tinjunya mengepal erat.
Saat ini, dia merasakan sesuatu yang aneh.
Seperti semua ini adalah jebakan!
Dia merasa telah dipermainkan!
Di kertas itu, tertulis dengan jelas. "Bukan anak angkat, tapi anak kandung. Ibu kandung tinggal di Kompleks Kusuma 1-1-1101."
"Kamu, bagaimana kamu bisa mengetahui ini?"
"Atas dasar apa kamu mengatakan kalau semua ini benar?"
"Kamu ...."
Makin Karin berbicara, makin dia kehilangan kepercayaan diri. Kata-katanya pun terhenti.
Hanya tersisa Devan yang menatap Karin dengan tenang.
Senyumnya makin dipenuhi ejekan.