Bab 11
Sikap Devan sangat dingin, sekali lagi dia menolak permintaan Sonia.
Bagaimanapun juga, hasilnya tidak akan ada yang berubah meski dia kembali.
Devan terlalu mengenal orang-orang ini.
Tanpa dasar perasaan, apa pun yang dia lakukan hanyalah sia-sia!
Meski dia mengeluarkan hati dan jiwanya untuk diberikan kepada mereka, mereka hanya akan merasa muak!
Pada saat ini.
"Huhuhu ...."
"Seperti orang asing .... Bagaimana bisa jadi begini?"
"Kita adalah ibu dan anak. Apa kamu benar-benar harus bersikap sekejam ini?"
"Kenapa kamu memaksaku? Kenapa kamu memaksaku?"
Sonia terus terisak, tangisnya tak henti-henti.
Dia bahkan merasa hatinya hancur.
Anak kandungnya sendiri ternyata memaksanya hingga seperti ini.
Dengan cara ini, dia memaksa anaknya yang lain untuk pergi.
Ini jelas merupakan pemaksaan moral!
"Devan, apa kamu benar-benar nggak punya sedikit pun perasaan?"
"Ini juga adalah ibumu. Apakah kamu tega?"
Desi memarahi dengan suara keras. Wajahnya yang penuh amarah berubah makin pucat.
Kedatangan mereka kali ini bertujuan agar Devan kembali.
Namun, Devan sama sekali tidak menghormati mereka. Ini jelas-jelas menunjukkan tekadnya untuk mempermalukan Keluarga Atmaja!
"Bu, jangan pedulikan orang seperti dia lagi. Ayo kita pulang!"
"Kalau dia ingin hidup di luar, biarkan saja dia bertahan hidup sendiri!"
"Nanti ketika dia merasakan kerasnya dunia, terkena pukulan hidup, dia pasti akan kembali memohon kepada kita!"
Liana langsung menarik tangan Sonia, terus menghiburnya.
Tatapannya juga sangat tajam ketika menatap Devan dengan penuh kebencian.
Karena Devan, ibunya menangis. Dia sudah merasa sangat marah sejak awal.
Pada saat yang sama, dia juga merasa tidak puas dengan kelemahan ibunya.
Jika dirinya yang mengalami hal ini, dia sudah akan berbalik, lalu melangkah pergi.
Namun ....
Karin hanya bersandar di sisi mobil, memandang Devan dengan penuh minat.
Matanya berkilauan, menatap Devan dari atas ke bawah.
Ini benar-benar menarik!
Dulu Karin tidak pernah merasa bahwa Devan memiliki karakter seperti ini!
Anak ini telah banyak berubah dibandingkan yang dulu.
Namun, sejak kapan semua ini dimulai?
Pada saat ini.
Devan melirik jamnya. Wajahnya tetap dingin saat dia berkata, "Kalau nggak ada urusan lain, pergilah!"
Dia sekali lagi bersiap untuk berbalik dan pergi.
Sonia masih ingin melakukan perjuangan terakhir.
Wajahnya sedikit terdistorsi. Dia berkata sambil menangis tersedu-sedu, "Kalian semua adalah anak-anakku. Apa nggak bisa kalian rukun demi aku?"
Devan perlahan berbalik, tak bisa menahan diri untuk tertawa sinis.
"Aku adalah anak kandungmu, sedangkan dia hanya anak angkatmu. Kamu bahkan nggak bisa membedakan siapa yang lebih penting?"
"Kamu menganggap Marco sebagai anak angkat? Apakah dia benar-benar anak angkat?"
"Huh, kamu benar-benar keras kepala!"
Setelah berkata demikian, Devan berbalik, pergi tanpa ragu sedikit pun.
Sikapnya yang tegas seperti ini membuat Sonia benar-benar kecewa.
Pertemuan kali ini, yang berakhir tanpa hasil, juga menandakan bahwa dia dan Devan benar-benar akan berpisah!
"Anakku ...."
Air mata Sonia mengalir deras seperti mata air.
Dia menangis tersedu-sedu.
Namun, dia hanya bisa melihat punggung Devan yang perlahan menghilang di tangga.
"Bu, ayo kita pergi! Untuk apa memohon pada orang yang nggak tahu terima kasih seperti dia?"
Liana dengan wajah penuh ketidaksenangan menarik Sonia menuju mobil.
Setelah naik ke mobil, Sonia masih terus menangis tanpa henti.
Liana hanya bisa mencoba menghibur, meski hatinya penuh dengan keputusasaan.
"Haih, ayo pergi!"
Desi menghela napas, berkata kepada Karin yang ada di sampingnya.
"Hm ...."
Karin tersadar kembali. Matanya masih menatap ke arah Devan yang pergi.
Ada secercah keraguan di matanya. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tak lama kemudian, mobil itu meninggalkan kompleks perumahan.
Pada saat yang sama.
Di dalam kamar di dekat jendela, Erica menempelkan wajahnya di kaca sambil melihat ke bawah.
Meski dia tidak bisa mendengar apa-apa, dia melihat bahwa ekspresi orang-orang dari Keluarga Atmaja tidak terlihat baik.
Pada akhirnya, mereka pergi tanpa membawa Devan, langsung melaju dengan mobil mereka.
Baru setelah itu, Erica merasa senang, segera berlari menuju pintu.
Ketika dia membuka pintu, sosok seseorang muncul di hadapannya.
Tanpa berpikir panjang, Erica langsung melompat ke arahnya.
"Kak, aku benar-benar senang. Kamu nggak pergi, berarti kamu memutuskan untuk tinggal, 'kan?"
Erica merasa sangat bahagia. Kepalanya menempel erat di dada Devan, merasakan kehangatan dan ketenangan saat ini.
Devan tersenyum lembut sambil mengelus rambut halus Erica.
"Aku sudah bilang, aku nggak akan membohongimu."
Mendengar itu, Erica merasa makin tenang.
Namun, tiba-tiba dia teringat sesuatu, lalu langsung berdiri tegak.
Wajah cantiknya menunjukkan sedikit kewaspadaan saat menatap Devan.
Dengan suara pelan, dia bertanya, "Orang-orang dari Keluarga Atmaja nggak akan membalas dendam, 'kan?"
"Nggak akan."
Devan menjawab dengan lembut.
Namun, dia tidak mengatakan bagian selanjutnya.
Karena dalam pandangan Keluarga Atmaja, dirinya sama sekali tidak pantas untuk membuat mereka membalas dendam!
Mereka menganggap diri mereka adalah orang-orang kelas atas, sehingga selalu menunjukkan sikap yang sombong.
"Jangan katakan pada Ayah dan Ibu tentang apa yang terjadi hari ini. Jangan sampai mereka khawatir. Apa kamu mengerti?"
Devan dengan serius memperingatkan.
"Baik, aku mengerti!"
Erica mengangguk seperti anak ayam yang mematuk nasi, tampak sangat patuh.
Dia juga tahu bahwa keluarganya hanya akan merasa khawatir jika dia memberi tahu tentang hal ini.
Yang paling penting adalah Devan tidak pergi. Itu saja sudah cukup!
Pada saat ini.
Mobil sudah kembali ke rumah Keluarga Atmaja.
Semua orang tampak serius, diam tak bicara.
Kunjungan mereka kali ini untuk mencari Devan berakhir sia-sia. Mereka sudah ditolak mentah-mentah.
Tak ada yang bisa menerimanya.
"Bu, Kakak, kalian sudah pulang!"
"Dimana Kak Devan? Apakah dia belum turun dari mobil?"
"Aku sudah nggak sabar untuk meminta maaf padanya!"
Marco muncul dengan senyuman, berjalan menghampiri mereka.
Matanya terus melirik ke dalam mobil.
Di dalam hatinya, dia merasa khawatir. Jika Devan benar-benar pulang, mungkin akan terjadi badai besar!
"Dia nggak kembali."
Desi menggelengkan kepala sambil menjawab dengan suara pelan.
"Apa?"
Marco berteriak kaget.
Namun, sudut bibirnya tidak bisa menahan untuk tersenyum sedikit.
Tidak kembali?
Bagus sekali!
Selama Devan tidak kembali, maka tidak akan ada kesempatan baginya di Keluarga Atmaja!
"Huhuhu ...."
"Anakku, kamu nggak akan meninggalkanku, 'kan?"
Sonia merasa sangat sedih. Dia memeluk Marco sambil menangis tak henti-hentinya.
"Ibu, aku nggak akan pernah meninggalkanmu. Aku akan menjagamu seumur hidupku!"
Marco berjanji dengan penuh keyakinan, terus menenangkan Sonia.
Ketika melihat Marco, suasana hati Sonia pun akhirnya membaik.
Dia mengangguk.
Kemudian, dia menarik Marco duduk di sofa, lalu mulai berbicara dengannya.
Desi menghela napas lega, berpikir bahwa masalah ini sudah selesai.
Namun, tiba-tiba, tatapannya berubah ketika melihat Karin yang tampak mengerutkan kening. Adiknya ini seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ada apa denganmu?"
Desi bertanya dengan suara pelan.
Karin tersentak sedikit, seolah tersadar.
Akhirnya, dia memberi isyarat pada Desi, memintanya untuk mengikuti.
Desi merasa bingung dengan tingkahnya. Namun, dia tetap mengikuti Karin.
Di balkon atap.
Karin menutup pintu, memastikan hanya ada mereka berdua di sana.
"Apa yang ingin kamu bicarakan denganku?"
Desi bertanya dengan bingung.
"Kakak, apakah kamu mengerti apa yang dikatakan Devan sebelumnya?"
Karin bertanya dengan nada penuh makna.