Bab 2
Selesai berbicara, dia memeluk pinggang Yoana dan pergi begitu saja.
Giany melihat nomor di ponsel itu. Pria tadi bilang dia adalah tunangannya, tapi sejak dia datang sampai pergi tidak pernah perhatian padanya, hanya terus membela Yoana itu.
Hatinya seolah-olah seperti ditusuk, bahkan wajahnya mulai pucat dan merasa sakit.
Yoana terlihat sudah lama sembuh, tapi dirinya yang belum sembuh malah disalahkan.
Jadi orang semacam dia mana mungkin adalah tunangannya.
Meski dua sudah hilang tiga hari, keluarganya juga tidak mencoba menghubunginya, sedangkan dirinya hanya ingat kalau dia ada pacar.
Giany langsung menelepon nomor itu, orang yang mengangkat telepon sepertinya seorang asisten.
"Nona Giany?"
"Halo, apa kamu adalah Walace? Sepertinya aku amnesia karena kecelakaan, aku ...."
"Pak Walace baru kembali ke Kota Dimar, masih melakukan pemulihan. Waktu itu, Nona Giany juga menelepon Pak Walace dengan alasan yang sama, hanya untuk membiarkan Pak Walace menjemputmu. Alhasil, Pak Walace kecelakaan mobil. Nona Giany, kalau kamu masih ada hati nurani, jangan hubungi Pak Walace lagi."
"Tapi, aku ...."
"Tut, tut, tut ...."
Asisten itu langsung menutup telepon.
Giany hanya bisa menghela napas dan bersandar. Sekarang dia hanya merasa kepalanya sakit, bahkan takut dan kebingungan dengan masa depannya.
Dia menundukkan kepala untuk melihat ponsel yang sudah terbuka, untungnya masih bisa bayar lewat ponsel.
Giany memberikan ponselnya pada suster yang masuk. "Bantu aku lihat apa bisa bayar lewat ponsel ini?"
Giany melihat riwayat pembayaran sebelumnya, seminggu saja sudah menghabiskan 400 juta, sepertinya untuk membeli kancing manset pria, jadi dia bukanlah orang yang kurang uang.
Suster menjawab, "Saldo nggak cukup, kali ini biaya penolongan dan rawat inap Nona Giany senilai 40 juta."
Giany menundukkan kepala dengan bingung. Minggu lalu baru menghabiskan 400 juta, kenapa rekeningnya tidak ada 40 juta.
Giany mencari nomor telepon di kontak, terus menemukan ada tulisan ibu.
Giany menarik napas dan menelepon nomor itu.
Baru diangkat saja, orang itu sudah memarahinya, "Kamu masih tahu meneleponku? Giany, kamu sudah umur berapa? Kenapa masih buat hal begini? Denis dan Yoana sudah lama pacaran, Yoana takut kamu sedih, jadi tidak memberitahumu. Tapi kamu malah membawa Yoana keluar saat melihat mereka berciuman, bahkan terjadi kecelakaan. Sungguh membuat orang khawatir, menurutku kamu sebaiknya mati di luar saja! Yoana terus memikirkanmu, tapi kamu hanya bisa menggunakan cara licik untuk mencelakainya. Kenapa aku bisa melahirkan anak selicik kamu?!"
Giany baru ingin tanya sesuatu, sudah terdengar suara Yoana.
"Ibu, kali ini kakak dirawat inap, bahkan amnesia, jadi kamu jangan mengatainya lagi."
"Amnesia? Dia setahun mau amnesia berapa kali?! Benar-benar bodoh, setiap kali hanya bisa main trik ini, kalau dia memang hebat, selamanya jangan pulang, biar aku nggak kesal karena dia. Yoana, kamu jangan bujuk lagi, apa selama ini kamu belum cukup merasa menderita? Jelas-jelas Denis duluan menyukaimu, tapi Giany malah terus menindasmu karena nggak berani menyinggung Denis, itu semua karena kamu terlalu baik."
Setelah Giany mendengar ini, dia merasa sangat sakit hati, bahkan dalam hati bertanya apa orang yang di telepon ini adalah ibu kandungnya?
Kenapa dia sama seperti Denis itu tidak pernah menanyai lukanya seberapa parah.
Giany membuka mulutnya sambil tersenyum pahit. "Apa kamu adalah ibuku?"
Mana ada ibu yang begitu pada putrinya.
"Giany, apa maksudmu? Apa kamu mau buat aku mati karena kesal, baru puas? Kalau kamu nggak mau kenal aku sebagai ibu kandung, aku juga nggak mau putri memalukan sepertimu! Demi mengejar Denis, kamu sudah buat berapa banyak onar, apa masih saja nggak mau berhenti? Kenapa kamu selalu mau merebut sesuatu dari adikmu? Bahkan aku belikan dia mobil, kamu juga marah, apa kamu menganggapnya sebagai adik? Beberapa saat ini, aku nggak ingin melihatmu, bukankah kamu sudah amnesia? Kalau begitu, jangan kembali lagi! Dengan begitu, keluarga kita juga bisa agak tenang! Sungguh pembawa sial!"
Giany merasa sangat sakit hati saat melihat teleponnya ditutup begitu saja, bahkan merasa wajahnya basah, ternyata air matanya sudah mengalir saat dia menyeka wajahnya.
Dia mengeluarkan ponsel untuk melihat riwayat statusnya, lalu menyadari kalau Yoana ada mengirim status baru.
Status itu adalah sebuah foto kaca yang besar, bahkan bisa melihat kembang api di luar danau itu, serta ada tulisan "pacar dan keluarga ada di sisiku".
Dari pantulan kaca itu ada bayangan Denis dan kedua orang paruh baya yang tak terlihat jelas.
Rasa sakit di hatinya hampir membuat dia bungkuk.