Bab 1
Cinta pertama istriku membagikan faktur pemesanan Ferrari di Instagram pada hari jadi pernikahan kami.
Terdapat banyak komentar iri di kolom komentar dan dia menulis: "Ini adalah perhatian khusus dari bosku, mari kita lewati masa depan kita bersama!"
Aku mengerutkan kening saat melihat bahwa orang yang membayar adalah istriku yang bernama Rania Baskoro dan hendak menelepon untuk menanyakan hal ini.
Hanya saja ponselku dijatuhkan oleh istriku yang berjalan masuk dengan marah.
"Aku cuma minta departemen keuangan menunjukkan ketulusan mereka untuk beri penghargaan pada orang yang melakukan penjualan tertinggi di perusahaan. Apakah kamu perlu telepon untuk memarahi mereka?"
"Ini adalah perusahaanku dan kamu sama sekali nggak punya hak untuk memberi perintah apa pun!"
Layar ponsel yang sudah hancur di atas lantai menyala lagi dan terdapat emotikon jari tengah yang merupakan pesan ejekan yang dikirim oleh Sena.
Aku hendak menjelaskan hal ini pada istriku, tapi dia sudah pergi sambil membanting pintu.
Tidak lama kemudian Sena kembali memposting foto anggur merah dan steik di Instagram.
Wanita yang tersenyum dengan cerah di seberangnya bukanlah orang lain.
Wanita itu adalah istriku, Rania Baskoro.
Aku masih berurusan dengan kode yang kacau balau di dalam perusahaan saat Rania datang.
Ini adalah ketiga kalinya aku bekerja lembur sampai begadang dalam bulan ini, aku memijat keningku dengan lelah dan terus bekerja.
Aku ingin menyelesaikan semua ini dengan cepat karena hari ini adalah hari jadi pernikahanku dengan Rania.
Aku ingin merayakan dengannya malam ini.
Aku baru saja mereservasi tempat di Restoran Purano termahal di Kota Arun, tapi tidak dapat menghubungi ponsel Rania. Aku tidak sengaja lihat faktur pemesanan di Instagram Sena.
Aku menutup laptopku dengan kecewa setelah melihat nama pembayarnya dengan jelas.
Rania melemparkan tasnya ke sofa saat melihatku tidak bekerja setelah berjalan masuk.
"Kenapa kamu bermalas-malasan hari ini?"
Aku tidak menatapnya dan menjawab dengan tenang.
"Aku sangat capek dan mau istirahat sebentar."
Perusahaan ini didirikan oleh Rania dan aku yang berspesialisasi dalam AI perabotan rumah tangga dan aku adalah pemrogram utamanya.
Aku harus memperbaiki kodenya sampai tidak tidur jika terdapat masalah dalam pemrograman.
Karena aku akan merasa tidak tega saat melihat Rania yang merasa sangat cemas.
Hanya saja usahaku malah ditukar oleh Rania dengan faktur pemesanan Ferrari untuk cinta pertamanya, sungguh konyol.
Rania tidak menyadari suasana hatiku yang sedang buruk.
Kemudian Rania melempar sekotak kartu permainan Nintendo padaku.
"Aku sengaja beli ini untukmu, aku dengar para pria suka main ini."
Aku membuka kotak dan menemukan bahwa kartu permainan di dalam merupakan kartu permainan model lama yang dirilis pada beberapa tahun yang lalu, bahkan label di atasnya juga sudah usang. Terlihat jelas bahwa ini adalah barang bekas yang dibuang oleh seseorang.
Aku mendengus dan melempar kotak itu ke tempat semula.
Rania marah saat melihat sikapku yang tidak sesenang sebelumnya.
"Apa maksudmu, Kiki? Kamu bilang kamu mau cari beberapa permainan untuk menghilangkan rasa bosanmu, jadi aku sengaja beli kartu permainan untukmu. Aku sangat perhatian padamu, tapi kamu malah bersikap seperti ini. Apa yang buat kamu marah?"
Aku berkata dengan tenang tanpa menatapnya, "Barang bekas adalah barang yang kotor dan aku nggak tertarik."
Aku mengira Rania akan marah, tapi sebuah panggilan telepon menghentikan amarahnya.
Rania menutup ujung ponselnya karena tidak ingin aku mendengarnya. Tapi ekspresi malu di wajah Rania telah mengkhianatinya.
Rania berkata dengan lembut sambil tersenyum dan bahkan mengentakkan kakinya karena merasa kesal.
Tatapan Rania terus tertuju pada ponselnya setelah memutuskan panggilan, kemudian berkata.
"Aku akan segera beli kartu permainan yang baru untukmu. Aku punya banyak urusan setiap harinya, tapi nggak disangka pria juga bisa memperhitungkan semua masalah seperti wanita, benar-benar sangat membosankan!"
Kemudian Rania menutup pintu dengan suara yang keras.
Saat ini sudah pukul delapan malam dan aku juga berjalan keluar setelah mematikan lampu.
Aku melihat Rania yang sedang tersenyum di depan lift, senyum di wajah Rania segera menghilang dan digantikan dengan ekspresi marah setelah melihatku.
Aku melambaikan tanganku, "Nggak usah memelototiku, aku mau pulang kerja."
Hanya saja Rania menunjuk ke arahku sambil berkata dengan marah, "Kiki, apakah kamu gila? Apakah kamu kira aku adalah milikmu setelah menikah denganmu sampai datang untuk mengawasiku? Apakah kamu nggak punya kerjaan lain!"
Aku tahu kenapa dia bisa semarah ini.
Akulah yang melamar Rania pada saat itu, kemudian Rania sering pergi ke bar dan menari setelah kami menikah. Aku tidak bisa menghentikannya, jadi aku hanya bisa mengantar dan menjemput Rania setiap harinya.
Hanya saja kali ini berbeda, aku menjelaskan dengan suara yang dalam padanya, "Orang-orang di perusahaan sudah pulang kerja jam enam dan sekarang sudah jam delapan. Aku nggak salah kalau pulang sekarang, 'kan? Aku sudah capek dan mau pulang untuk istirahat, sedangkan kamu bisa pergi ke mana saja yang kamu mau."
Rania terdiam, tapi dia tetap menjaga jarak denganku.
Rania menurunkan jendela mobilnya setelah kami memasuki mobil masing-masing.
"Hei, kamu nanti saja jalannya setelah aku pergi. Aku nggak percaya dengan ucapanmu."
Kemudian Rania menambahkan dengan baik hati.
"Aku nggak lupa kalau hari ini adalah hari jadi pernikahan kita, kamu tunggu aku saja di rumah."
Rania langsung menginjak pedal gas setelah mengatakan ini, seolah-olah takut aku akan mengikutinya.
Aku tidak pergi dengan terburu-buru, aku memikirkan pernikahan yang konyol ini dengan baik-baik setelah merokok sebatang di dalam mobil.
Aku baru mengemudikan mobilku setelah lampu di tempat parkir sudah padam.
Aku berhadapan dengan Rania yang sedang marah setelah sampai di rumah.
"Bukankah aku suruh kamu tunggu aku di rumah? Tahu nggak sudah berapa lama aku tunggu kamu? Hari ini adalah hari jadi pernikahan kita, apakah kamu memedulikan hal ini? Apakah kamu peduli dengan keluarga ini?"