Bab 2 Orang Asing
Meski aku sudah tahu bahwa kami telah menikah selama lima tahun, ini adalah pertama kalinya aku melihat wajahnya dari jarak sedekat ini.
Harus kuakui, ada alasan mengapa dia menjadi pangeran impianku saat remaja.
Hanya dengan melihat wajahnya saja di hadapanku sudah cukup untuk membuat suasana hatiku jauh lebih baik.
Meskipun dia bersikap dingin padaku, aku tidak terlalu membencinya.
Melihat aku tidak berbicara, dia mengerutkan alisnya sedikit dan bertanya, "Citra, mau buat keributan apa lagi sekarang?"
Sambil berbicara, dia berjalan ke ruang pakaian. Saat melewati diriku, dia tidak berhenti sedetik pun dan langsung memilih sebuah jubah tidur.
Aku menoleh padanya dan berkata, "Keributan?"
Sejak dia datang, aku sama sekali tidak mengatakan apa-apa. Kenapa dia bilang aku membuat keributan?
Indra menatapku dengan mata hitam pekatnya. "Sebelumnya, setiap kali aku pulang, kamu selalu menggangguku. Sekarang, apa kamu mencoba trik baru?"
Aku terkejut.
Apakah aku menjadi begitu berani setelah menikah dengan Indra?
Namun, aku tidak menunjukkan perasaanku dan hanya berkata dengan tenang, "Oh, itu nggak akan terjadi lagi."
Aku pikir Indra akan merasa lega.
Aku tidak menyangka, alisnya malah semakin berkerut dan dia menatapku dengan kesal. "Aku sangat lelah dengan pekerjaanku akhir-akhir ini, aku nggak punya waktu untuk menghadapi keributanmu."
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa.
Melihat aku tidak berbicara, tatapan Indra tiba-tiba menjadi dingin. "Citra, jangan coba-coba melakukan apa pun pada Dina. Dia nggak melakukan apa-apa. Kalaupun kamu mengancamku dengan bunuh diri, itu nggak akan berhasil."
Aku terdiam sejenak, dan perasaanku campur aduk.
Bima sudah memberi tahu hampir semua hal tentang hubungan antara aku dan Indra.
Intinya, aku mencintai Indra, tetapi Indra mencintai Dina. Aku yang seperti badut dalam hubungan ini terus-menerus mencari masalah dengan Dina, tetapi itu hanya membuat Indra semakin membenciku.
Kali ini, aku mencoba bunuh diri karena cemburu dengan perhatian Indra yang berlebihan pada Dina. Aku diam-diam menyerang perusahaan Dina, mencemarkan nama baik artis mereka, tetapi Indra tanpa ragu memilih untuk mendukungnya.
Ini jelas memberi tahu semua orang di lingkaran sosial kami bahwa sebagai Nyonya Indra, aku hanya memiliki status tanpa makna. Di hati Indra, aku bahkan tidak sebanding dengan satu jari Dina.
Mentalku pun terguncang dan aku mencoba menggunakan ancaman bunuh diri untuk mendapatkan kembali hati Indra.
Hasilnya bisa ditebak. Seorang pria yang sudah muak denganku tidak akan merasa kasihan atau peduli karena ancaman bunuh diriku, melainkan hanya akan merasa terganggu.
Melihat aku tidak berbicara, Indra kehilangan kesabarannya dan langsung pergi ke kamar mandi.
Aku menghela napas lega, lalu merebahkan diri di atas tempat tidur besar. Kepalaku penuh dengan berbagai pikiran yang kacau.
Setelah kehilangan ingatan beberapa tahun terakhir, aku benar-benar tidak tahu mengapa aku bisa menjadi segila itu.
Saat berusia 18 tahun, aku sangat meremehkan orang yang terobsesi dengan cinta. Namun, sekarang, aku justru rela mati demi seorang pria.
Aku benar-benar tidak pernah membayangkan akan ada hari seperti ini dalam hidupku.
Pikiranku masih kacau dan belum bisa berpikir jernih tentang apa yang harus kulakukan. Tiba-tiba, selimut di sampingku terangkat, dan tubuh tinggi tegap berbaring di sebelahku.
Rasa hangat yang menyelimuti tubuhku membuatku tersentak. Saat menoleh, aku melihat Indra menatapku dengan mata hitam pekatnya yang biasa dingin dan acuh, namun kali ini ada kesedihan yang mendalam.
Aku tergagap, "Ka ... kamu ... kamu mau apa?
Meskipun aku kehilangan ingatan, berdasarkan informasi yang aku ketahui, hubungan antara aku dan Indra tampaknya sangat buruk.
Mungkin saja kami bahkan tidur di tempat tidur terpisah. Bagaimana mungkin dia begitu santai berbaring di sampingku?
Indra tampak tidak memperhatikan kegugupanku, dia malah dengan tenang melingkarkan lengannya di pinggangku.
Dia memelukku dan menindihku tanpa berkata apa-apa, sementara jarinya yang kasar dengan terampil membangkitkan perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
"Indra!"
Aku tidak bisa menahan diri dan berteriak, "Jangan sentuh aku!"