Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 9

Karla menatap bingkai sulam yang berserakan di lantai. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan kepada Darel. Kemudian dia melempar ponselnya, merapikan bingkai sulam dan melanjutkan untuk memperbaiki karya sulamnya. Darel yang sudah berada di rumah juga tidak melihat ponselnya. Dia sengaja tidak melihat karena ingin menunggu Karla meneleponnya untuk meminta maaf. Karena Karla selalu melakukan hal yang sama sejak dulu. Di antara mereka berdua, orang yang meminta maaf, mengakui kesalahan dan merendahkan diri selalu adalah Karla. "Bertengkar?" tanya Vera yang melihat wajah putranya muram. "Nggak," jawab Darel sambil menarik dasinya dengan marah. "Baguslah kalau bertengkar! Kamu seharusnya segera pisah dengannya. Dia hanya bisa membawakan masalah untuk keluarga Horins!" ujar Vera. "Jangan marah lagi, minumlah sedikit sup penawar mabuk," lanjut Vera. "Nggak masalah, cepat atau lambat dia akan meneleponku untuk minta maaf," Darel bersikeras. Dia seolah-olah yakin bawah Karla akan tunduk padanya. "Anakku," tutur Vera. Vera mengambil kesempatan untuk duduk dan berkata dengan tatapan menjebak, "Begini, ya, kehidupan adikmu selama ini juga nggak begitu baik. Kelak kami semua akan tinggal di sini untuk membantumu, tapi adikmu juga nggak bisa terus tinggal di rumahmu, itu juga kurang bagus." "Belikan dia satu rumah, ya?" ujar Vera. "Bukankah ada gedung biasa?" tanya Darel. "Kamu sudah jadi bos besar, reputasimu juga akan rusak kalau adikmu tinggal di gedung biasa. Ibu nggak perlu kamu keluarkan uang, aku rasa rumah ini cukup bagus," kata Vera. "Rumah ini ada setengah uang milik Karla," kata Darel sambil mengerutkan keningnya. "Bukankah dia pacarmu? Apa yang dia punya juga merupakan milikmu. Apa masalahnya jika seorang wanita nggak punya rumah? Kamu hanya perlu memberitahunya, minta dia berikan rumah ini untuk adikmu. Nama pemilik rumah ini kamu, jadi kamu bisa mengganti nama kapan pun kamu mau. Paling nggak, berikan saja sedikit uang padanya," kata Vera. Sekarang Darel sedang marah dan merasa bahwa Karla semakin berani dan selalu menentang dirinya. Darel juga memiliki hak untuk mengurus rumah ini, tidak perlu menanyakan pendapat Karla. "Ibu, aku nggak ada waktu untuk pikirkan masalah ini sekarang," ujar Darel. "Baiklah, kalau begitu kamu istirahat lebih awal, ya," jawab Vera. Cindy yang mengetahui hal ini merasa sangat terkejut. "Kak Darel nggak nolak?" Lenni di samping tertawa dan berkata, "Percayalah, Darel sangat berbakti dan Bibi Vera juga sangat mencintaimu. Darel juga mengeluarkan uang untuk rumah ini, bukannya uang yang diberikan Karla juga dari kakakmu, 'kan? Jadi bisa dikatakan bahwa semua itu uang Darel. Selama kamu terus menekankan hal ini, Karla juga nggak ada artinya." "Betul!" Cindy mendengus. Lenni menundukkan kepala sambil tersenyum. Dia memang ingin mengusir Karla langkah demi langkah. Barang-barang dan kekayaan ini seharusnya menjadi miliknya. Seandainya dia tidak bodoh di masa muda, mana mungkin Karla bisa menikmati kebahagiaan selama bertahun-tahun? Sekarang semua barang ini hanya dikembalikan kepada pemiliknya. ... Terdengar suara barang hancur! Malam hari. Sebuah suara besar membuat Vera terkejut dan segera berlari ke sebelah. Lalu dia bertemu dengan Darel yang berjalan keluar dengan marah. "Nak, sudah larut malam, kamu mau pergi ke mana?" tanya Vera. "Karla ingin minta putus denganku!" ujar Darel. Dasar! Lenni langsung terbangun dari kantuknya setelah mendengar perkataan itu. Karla minta putus pada Darel? Ini benar-benar luar biasa! "Bibi Vera, kamu jangan khawatir. Aku akan menyusul Darel," ujar Lenni. "Sanggupkah tubuhmu?" tanya Vera. Lenni terkejut sejenak dan berkata, "Nggak masalah, Bibi Vera. Darel lebih penting." "Anak yang baik. Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya," ujar Vera yang semakin suka dengan Lenni yang patuh dan lembut. "Baik, Bibi Vera," jawab Lenni. Lenni mengenakan pakaian tebal dan segera mengejar Darel. Darel juga tidak bertanya lebih ketika melihat Lenni naik ke mobilnya. Yang ada di benaknya sekarang adalah pesan yang dikirim oleh Karla. "Darel, kita putus." Putus? Karla meminta putus dengannya? Apa hak Karla? Apa hak Karla meninggalkannya? Meskipun harus putus, itu tetap harus Darel yang memintanya! Lenni yang duduk di kursi penumpang sangat gembira dan sedang berusaha menunjukkan kelembutannya, peduli dan menenangkan Darel. Semakin Lenni seperti itu, semakin Darel merasa Karla tidak dewasa. Grup Piara. Karla yang bergadang untuk memperbaiki karya sulamnya, kali ini tidak meninggalkan sedikit pun cacat pada karyanya. Turnamen Seni Sulam September sangat penting baginya, jadi dia harus memperlakukannya dengan serius dan mempertahankan Grup Cevora sebagai mitra kerja samanya. Dengan hati-hati memasukkan ke dalam kotak. Kini Karla keluar dari kantor dan bersiap untuk pergi ke hotel untuk beristirahat. Ketika baru saja meninggalkan gedung kantor, Karla langsung melihat Darel yang datang dengan marah. Karla berbalik dan mengubah arah. "Karla!" seru Darel. Lengannya terasa sakit karena ditarik, tetapi detik selanjutnya, Darel memeluknya. Lenni yang di belakang merasa terkejut dan marah. "Apa hakmu memutuskan hubungan ini denganku?" tanya Darel. "Lepaskan aku dulu," ujar Karla. Sekarang dia tidak ingin bicara sepatah kata pun dengannya. "Jawab aku!" kata Darel. Darel memegang wajahnya dan berkata dengan tatapan tajam, "Apa kamu ada kekasih lain? Ada seseorang yang bisa mendukungmu, ya? Kalau nggak, bagaimana kamu berani terus menantang batasanku?" "Karla, tolong jangan lakukan hal-hal yang menjijikkan. Kalau nggak, aku akan merasa kotor karena berpacaran denganmu," ujar Darel. Dia marah dan mengira Karla memiliki pria kaya lainnya. Karla selalu mengikuti Devina selama acara jamuan bisnis tadi. Mereka berbincang dengan banyak bos, kenapa para pria tua itu suka mengelilinginya? Semua itu karena penampilannya yang cantik! Yang lucunya adalah Karla bahkan masih menganggap mereka mengagumi bakatnya! Bakat apa yang dimilikinya? Memakai gaun sabrina dan menunjukkan bakat senyuman yang menggoda pria? Plak! Suara tamparan ini terdengar sangat menggema di kegelapan malam ini. Lenni terkejut dan berteriak, "Karla, kenapa kamu pukul orang?" Karla tidak menghiraukannya. "Darel, apa yang kamu katakan?" kata Karla sambil mendorong Darel. Dia kotor? "Marah karena malu, ya?" ujar Darel. Darel sangat marah, bahkan senyumannya terlihat sedikit menyeramkan. "Apa kamu berpikir kamu itu hebat? Grup Piara nggak bisa berjalan tanpamu? Jadi orang nggak bisa terlalu percaya diri seperti kamu. Kamu adalah seorang wanita yang harus bergantung pada pria untuk bertahan hidup! Jadi kamu harus mendengarkan kata-kataku untuk tetap tinggal di rumah!" Karla tertawa dan berkata, "Selama dua tahun aku membagi brosur bersamamu, kenapa kamu nggak minta aku untuk tetap di rumah?" Setelah itu, Karla membuka pintu mobil dan melemparkan tasnya ke dalam. Lalu dia pergi dengan mobilnya tanpa memedulikan apakah Darel marah atau tidak. "Bagus ... Bagus sekali ... " ujar Darel. Darel marah hingga kedua matanya menjadi merah. Dia segera menelepon Cindy, "Aku akan pindahkan kepemilikan vila itu menjadi namamu besok pukul sembilan pagi." Darel harus memberikan Karla sedikit pelajaran. Cindy belum sadar, tetapi ketika mendengar kata-kata itu, dia langsung bangun dan berkata dengan semangat, "Oke!" Melihat lampu belakang mobil Karla yang semakin jauh, Darel menggigit giginya hingga bunyi. Karla, kalau kamu tidak menunduk dan meminta maaf padaku kali ini, aku tidak akan pernah memaafkanmu! ... Karla yang masuk ke hotel segera menghubungi orang-orang dari Grup Cevora. Dia akan pergi ke sana untuk membawakan karya itu kepada mereka pada pukul 1 siang besok. Setelah mengatur semuanya, Karla duduk di depan jendela untuk waktu yang lama. Hubungan selama tujuh tahun ini membuatnya merasa sangat lelah. Kata-kata Darel terus berputar di telinganya dan membuat matanya terasa panas.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.