Bab 5
Tangan Karla gemetar saat menggenggam sulaman yang sudah rusak. "Kalian menyentuh barang-barangku tanpa izin, tapi sekarang malah menyalahkanku?" ujarnya dengan suara rendah.
"Kamu berlebihan sekali!" balas Cindy dengan nada sinis, merasa aman di bawah perlindungan ibunya. "Bukannya cuma setumpuk kain jelek? Kakakku punya banyak pengrajin di perusahaannya. Kalau kamu mau, tinggal pesan, mereka bisa membuatkan yang lebih bagus untukmu! Memang dasarnya kamu dari keluarga kecil, benar-benar mental sempit!"
Lenni yang sejak tadi diam, kini ikut berbicara dengan senyum tipis. "Karla, kamu nggak perlu marah-marah seperti ini. Aku tahu mungkin karena aku, suasana hatimu jadi nggak enak. Tapi nggak perlu sampai marah pada Bibi hanya karena beberapa barang yang nggak kamu pakai lagi. Kalau memang penting, biar aku ganti rugi. Untuk enam sulaman itu, dua puluh juta cukup?" ujar Lenni.
"Kamu jangan beri dia uang!" ujar Vera mencegah Lenni. "Barang-barangnya itu nggak ada nilainya! Bahkan dua puluh juta pun terlalu mahal untuk barang seperti itu!"
Karla tidak membalas. Dia langsung jongkok, memeriksa isi kotak kardusnya.
Dan benar saja. Di dalam kotak itu, lima sulaman lain, semuanya yang hampir selesai, sudah hancur. Beberapa dipotong dengan gunting hingga bentuknya berantakan.
Hancur semua ...
Lenni ikut jongkok, menatap Karla dengan tatapan penuh kepura-puraan. "Aku pikir kamu nggak butuh barang-barang ini lagi. Tapi pola-pola di atasnya cukup bagus, jadi aku berniat memotongnya untuk menghias vas bunga. Lagi pula, kamu bisa menyulam lagi, 'kan? Aku akan membayarnya. Kamu tinggal buat yang baru saja," ujarnya pura-pura menasihati.
Karla perlahan mengangkat wajahnya, matanya merah berurat, penuh amarah. "Keluar," ujarnya pelan.
"Apa kamu bilang?" teriak Vera langsung naik pitam, siap untuk memaki.
"Aku bilang ... keluar dari sini!" teriak Karla. Suaranya keras, penuh tekanan, hingga membuat Vera terdiam, terkejut dengan reaksi yang tidak biasa.
Mungkin ini pertama kalinya Karla benar-benar kehilangan kesabaran.
"Ada apa ini?" Terdengar suara Darel dari lorong. Dia keluar dari ruang kerja, berjalan mendekat, mencoba memahami situasi.
Pemandangan itu sudah cukup untuk menjelaskan apa yang terjadi. Karla berlutut di lantai, di sekitarnya berserakan sulaman-sulaman yang rusak dan terpotong-potong. Amarah di matanya seolah menceritakan semua.
"Darel, ini salahku," ujar Lenni. Dia segera mendekat, wajahnya penuh penyesalan yang disengaja. "Aku pikir barang-barang ini sudah nggak dibutuhkan, jadi aku memotong beberapa pola untuk menghias vas. Cindy juga berpikir ini sudah nggak terpakai, jadi dia menarik beberapa benangnya untuk main-main. Aku nggak menyangka Karla akan semarah ini. Dia bahkan mengusirku ... Aku ... aku rasa lebih baik aku pergi saja. Aku nggak mau menambah masalah untuk kalian," lanjutnya dengan suara gemetar, seperti akan menangis.
Darel mengerutkan alis, menatap Lenni dengan nada menenangkan. "Kamu juga nggak sengaja. Wajar kalau kau nggak tahu. Lagi pula, kamu nggak begitu akrab dengan Kota Andari, mau pindah ke mana? Tinggal saja di sini dengan nyaman."
Karla berdiri perlahan, tangannya menggenggam sisa-sisa sulaman yang sudah hancur. Matanya menatap Darel penuh kekecewaan. "Jadi, karyaku dihancurkan begitu saja, dan kamu pikir satu kata wajar saja sudah cukup?"
"Kalau begitu, kamu mau apa?" balas Darel sambil menatap Karla, nadanya datar tanpa emosi. "Semua sudah dipotong dan dihancurkan. Apa yang bisa dilakukan lagi?"
Karla merasakan emosi bercampur aduk di dalam dirinya. Antara amarah yang mendidih dan perasaan utang budi yang terus menghantui, dia berusaha menahan agar tidak meledak.
Dengan suara bergetar, dia berkata, "Bahkan meminta maaf pun nggak?"
Darel akhirnya berbicara kepada adiknya. "Cindy, minta maaf," perintahnya.
Meskipun enggan, Cindy tidak berani melawan kakaknya. Dengan wajah cemberut, dia mengucapkan dengan setengah hati, "Maaf, sudah cukup, 'kan?"
Namun, saat berjalan melewati Karla, dia dengan sengaja menginjak sulaman yang sudah rusak di lantai, bahkan menggerutu, "Barang jelek seperti ini, kenapa harus ribut?"
Karla mengalihkan pandangannya ke Lenni. "Dan kamu?"
"Karla, jangan keterlaluan!" Darel langsung memotong, wajahnya mulai menunjukkan ketidaksabaran.
"Aku berlebihan?" tanya Karla heran.
Dia mengangkat kain-kain yang telah hancur, menunjukkan betapa rusaknya semua itu. Berdiri di sana sendirian, dengan tiga orang lainnya berdiri bersama, air matanya akhirnya tidak bisa dibendung lagi.
Dengan suara tersendat dan penuh amarah, dia bertanya, "Darel, kamu buta, ya? Mereka yang menghancurkan semua ini!"
Darel menghela napas, lalu berkata dengan nada dingin, "Lenni itu sedang sakit. Kamu benar-benar mau mempermasalahkan ini dengan seorang pasien? Bahkan kalau mereka minta maaf, apa bedanya? Barang-barang ini sudah nggak bisa diperbaiki. Lagi pula, karya-karyamu bukan barang berharga. Nggak akan memenangkan penghargaan apa pun. Kenapa harus begitu dipedulikan? Kalau kamu mau, suruh saja pengrajin di pabrik untuk membuat ulang yang persis sama."
Setelah berkata demikian, dia berbalik, mengabaikan Karla yang masih berdiri di sana. "Lenni, kamu istirahat saja. Jangan terlalu memikirkan ini. Ini bukan salahmu," ujarnya dengan lembut.
Lenni mengangguk pelan, wajahnya menampilkan kepatuhan. "Baiklah, Darel. Tapi kurasa aku memang membuat masalah di sini. Tinggal di rumah orang lain seperti ini benar-benar membuatku nggak nyaman ... "
"Rumah orang lain?" tanya Darel dengan bingung.
Darel terdiam sesaat, sebelum melanjutkan dengan kalimat yang menghantam Karla seperti pukulan telak, "Nama di sertifikat kepemilikan rumah ini adalah namaku."
Detik itu juga, Karla merasakan dadanya seperti tenggelam.
Kata-kata itu ... Apa maksudnya?
Rumah ini ... bahkan tidak bisa dianggap miliknya?
"Oh, begitu." Senyum Lenni mengembang, wajahnya penuh kemenangan. Lalu, dia berkata, "Kalau begitu, aku akan merasa lebih tenang tinggal di sini. Barusan Karla marah-marah dan menyuruhku pergi, aku jadi merasa nggak enak hati."
"Di rumah ini, hanya aku yang berhak menyuruhmu pergi. Nggak ada orang lain yang bisa," kata Darel sambil menepuk bahunya, lalu menambahkan, "Istirahatlah."
Vera, yang sejak tadi berdiri di dekat tangga, mendekati Karla yang masih terpaku di tempatnya. Dengan tawa mengejek, dia berkata, "Karla, orang harus tahu diri. Jangan kira hanya karena kamu sudah bersama anakku beberapa tahun, kamu bisa bermimpi jadi ratu!"
Setelah berkata demikian, dia melangkah pergi, meninggalkan Karla sendirian di lorong. Vera tampak seperti seorang pemenang yang baru saja memastikan posisinya.
"Karla, kamu mau apa lagi sekarang?" ujar Darel, suaranya penuh ketidaksabaran, siap untuk menegur.
Namun, Karla tidak ingin mendengar ceramah apa pun. Dia memeluk kotaknya erat-erat dan terus melangkah keluar.
"Karla, apa yang kamu ributkan sekarang?" teriak Darel sambil menarik kotak itu. Namun, gerakannya terlalu keras, dan kotak itu jatuh ke lantai, isinya berhamburan.
Karla hanya berdiri diam. Barang-barang itu sudah hancur. Tidak ada artinya lagi.
Di depannya, Darel berdiri dengan ekspresi penuh amarah, tatapan dingin dan wajah yang mengeras.
Dia ... marah?
Apa yang membuatnya pantas marah?
Karla tidak habis pikir. Dia menatap pria itu dalam diam, seolah berusaha memahami pria yang seharusnya dia kenal. Apakah dia sudah berubah?
Atau mungkin, dia tidak pernah benar-benar mengenalnya?
Namun, sebelum Karla sempat berkata apa-apa, Darel sudah membuka mulut. "Sejak kapan kamu jadi tidak penurut seperti ini? Setiap marah selalu mau pergi? Dari mana kamu belajar kebiasaan buruk itu?"
Nada bicaranya menyalahkan, seolah semua ini adalah kesalahan Karla. Dia bahkan tidak berpikir ada yang salah dengan dirinya atau keluarganya.
Dalam pikirannya, Karla menjadi suka memperbesar masalah karena bergaul dengan "bos-bos besar," membuat sikapnya berubah.
Kata-kata itu membuat Karla tertawa, tetapi tawa itu penuh dengan dingin dan ironi. Itu adalah ekspresi yang belum pernah dilihat Darel sebelumnya.
Dia terbiasa melihat Karla yang lembut, patuh, dan hampir tidak pernah emosional. Namun, sekarang? Wanita di depannya terasa begitu asing.
Karla berbicara dengan suara yang tenang, tetapi setiap kata seperti pisau yang menusuk.
"Lenni mengambil alih pernikahan yang sudah kupersiapkan dengan susah payah, dan kamu membiarkan itu terjadi. Kamu tahu apa hasilnya? Aku jadi bahan tertawaan seluruh Kota Andari. Itu karena kamu yang membiarkannya."
"Baju pernikahan ibuku, yang dia tinggalkan untukku, dirusak oleh Lenni. Dan itu juga terjadi karena kamu yang membiarkan."
"Dia bahkan masuk ke kamarku tanpa seizinku. Itu juga atas seizinmu."
"Dan sekarang, mereka menghancurkan sulamanku, karya yang sudah kusiapkan berbulan-bulan. Kamu juga yang membiarkan itu!"
Karla tersenyum pahit, air matanya mengalir di sudut matanya. "Dan kamu masih bertanya kenapa aku marah? Darel, kamu benar-benar buta, ya? Atau mungkin, karena utang budi keluargaku pada keluargamu, aku harus terus menundukkan kepala seumur hidupku?"