Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Gilbert tetap berdiri di lorong itu cukup lama, memandang hingga bayangan Yohana, William, dan Kirana sepenuhnya menghilang dari pandangan. Saat itu, kepala sekolah lewat dan menyapanya dengan ramah. "Pak Gilbert, apa yang membawamu ke sini? Jangan-jangan Leonardi bikin ulah lagi?" Gilbert hanya merespons dengan datar, "Hmm." Setelah itu, dia bertanya, "Kenapa Yohana ada di sini?" Kepala sekolah terlihat sedikit terkejut. "Anda kenal Bu Yohana? Dia guru baru di sekolah kami. Prestasinya luar biasa, pernah membawa banyak siswa memenangkan kompetisi Olimpiade Sains tingkat nasional. Kemampuan mengajar dan manajemennya sangat baik. Aku bahkan menempatkannya di kelas Leonardi. Siapa tahu dia bisa mengatasi kenakalannya." Mendengar penjelasan itu, alis Gilbert mengerut dalam. Yohana, seorang desainer berbakat yang dulu masuk akademi seni melalui jalur khusus, sekarang bekerja sebagai guru SD? Dia teringat, gaun pengantin rancangan Yohana di usia enam belas tahun pernah terjual dengan harga fantastis. Setelah lulus, demi membalas bantuan Gilbert, Yohana meninggalkan impian menjadi desainer untuk bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Menjadi desainer gaun pengantin kelas dunia selalu menjadi mimpinya. Namun sekarang, kenapa Yohana rela meninggalkan impian itu dan memilih menjadi guru biasa? Semakin dia memikirkan hal itu, semakin dia merasa ada yang janggal. Dengan segera, Gilbert mengeluarkan ponsel dan menelepon asistennya. "Cari tahu tentang Yohana. Semua hal, secepatnya." Baginya, mustahil Yohana, yang begitu terobsesi dengan impiannya, menyerah begitu saja. Setelah menutup telepon, dia berbicara sebentar lagi dengan kepala sekolah, lalu melangkah masuk ke kelas. Di dalam, Leonardi terlihat masih merajuk, meletakkan kepalanya di meja sambil memasang wajah kesal. Gilbert mengetuk meja anak itu dengan jari. "Kamu masih berani marah? Kamu tahu sudah berapa kali aku dipanggil ke sekolah minggu ini?" Leonardi mendongakkan kepala, tatapan marah di matanya. "Ayah juga nggak suka aku, 'kan? Apa Ayah juga suka sama bisu itu, nggak suka aku lagi?" Gilbert mengusap kepala putranya beberapa kali. "Dia bukan putriku, kenapa aku harus menyukainya? Tapi Yohana adalah ibumu, kamu nggak boleh memperlakukannya seperti tadi." Wajah Leonardi berubah masam. "Dia bukan ibuku! Selama ini dia nggak pernah datang menemuiku, hanya peduli pada anak perempuannya. Kenapa aku harus mengakuinya sebagai ibu?" Gilbert melirik anak itu dengan tajam. "Dia tetap orang yang melahirkanmu. Nggak sopan berbicara seperti itu. Mengerti?" Leonardi mengerucutkan bibirnya. Meskipun dengan berat hati, dia mengangguk kecil. "Ayo, kita makan dulu." Leonardi mengambil tasnya dan berjalan dengan lesu di belakang ayahnya. Namun, pikirannya penuh dengan bayangan Yohana yang begitu menyayangi Kirana. Sambil melangkah, dia bergumam pelan, "Aku nggak mau punya ibu yang sama dengan bisu itu. Malu-maluin kalau sampai orang tahu." Di sisi lain. Di dalam mobil, Yohana duduk bersama William. Wajahnya masih dihiasi senyum ringan yang tampak bahagia. William meliriknya dengan sedikit khawatir. "Hana, kalau nggak ingin tersenyum, kamu nggak perlu memaksakan diri." Yohana mendengar itu dan hanya tersenyum tipis. "Aku nggak apa-apa. Hal yang perlu kulepaskan sudah lama kulepaskan. Lagi pula, hari ini aku berhasil mendapatkan pekerjaan, itu sudah membuatku sangat senang." William melihatnya lewat kaca spion sambil menghela napas pelan. "Kalau bukan karena pergelangan tanganmu cedera, namamu pasti sudah mengguncang dunia desain. Kamu nggak perlu jadi guru SD seperti ini." Mendengar itu, tatapan Yohana sedikit meredup. Dia menunduk, jari-jari tangan kanannya sedikit gemetar. Rasa sakit itu terasa nyata kembali. Dia tidak akan pernah melupakan perasaan pisau yang menusuk pergelangan tangannya. Juga suara pria yang mengintimidasinya saat itu, "Di mana dokumen perencanaan proyek Gilbert? Kalau tidak bicara, aku akan menghancurkan tanganmu ini." Rasa sakitnya tidak tertahankan, tetapi Yohana tahu betapa pentingnya proyek itu bagi Gilbert. Jika berhasil, proyek itu akan mengukuhkan posisi Gilbert di kota Lindora, memberikan pijakan kuat untuk mendapatkan hak waris keluarga Yonar. Namun, dia juga tahu, jika tetap bungkam, dia mungkin akan kehilangan segalanya. Meskipun begitu, demi Gilbert, bahkan jika itu berarti nyawanya, Yohana rela mempertahankan rahasia itu. Dengan gigi terkatup rapat, dia menahan rasa sakit yang menjalar dari lukanya, sementara darah menetes satu per satu ke lantai. Namun, satu kata pun tidak dia ucapkan. Pelaku menjadi semakin marah, menginjak luka di tangannya dengan kejam. Rasa sakit itu begitu menyiksa hingga dia nyaris kehilangan kesadaran. Untungnya, seseorang lewat dan menyelamatkannya. Saat Yohana tiba di rumah sakit, dia baru tahu bahwa luka itu telah merusak sistem saraf di tangannya. Sejak saat itu, dia tidak lagi mampu melakukan pekerjaan presisi atau menggambar desain apa pun. Mimpinya terhenti begitu saja. Ketika Gilbert kembali dari perjalanan bisnisnya, lukanya sudah hampir sembuh. Yohana hanya berkata dengan ringan bahwa itu "hanya luka kecil," tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena dia mengira pria itu akan merasa iba atau khawatir padanya. Dia tidak ingin menambah beban pikiran suaminya. Namun, melihat ke belakang sekarang, Yohana sadar betapa bodohnya dirinya saat itu. Perasaan yang dia kira cinta, ternyata hanyalah pengorbanan sepihak untuk seseorang yang menjadikannya alat pelindung. Pria itu tidak pernah mencintainya. Saat mengingat semua itu, Yohana hanya tertawa pelan. Bagaimanapun juga, baik atau buruk, semua itu adalah masa lalu. Sekarang, dia hanya ingin fokus pada masa depan. Menghabiskan waktu dengan Kirana, membantu putrinya sembuh, dan menemaninya tumbuh besar. Mereka bertiga pergi ke sebuah restoran masakan barat. Kirana yang penasaran mulai berlari-lari kecil dengan kakinya yang mungil, menjelajahi aula restoran. Namun, tanpa sengaja, dia menabrak seseorang. Kirana mendongak, menatap pria itu dengan wajah polos sambil menyeringai kecil. Pria itu adalah Gilbert. Kirana yang gemuk dan menggemaskan berusaha mengeluarkan sebuah lolipop dari kantong kecilnya. Dengan susah payah, dia menyerahkannya kepada Gilbert, lalu menunjuk mulut kecilnya yang bulat, memberi isyarat agar pria itu memakannya. Sebelum Gilbert sempat bereaksi, Leonardi sudah lebih dulu merampas lolipop itu dari tangannya. Dengan wajah penuh rasa tidak suka, dia berkata, "Ayahku nggak akan makan pemberianmu." Setelah berkata begitu, Leonardi melangkah ingin membuang lolipop itu ke tempat sampah. Namun, suara tegas Gilbert menghentikannya. "Leonardi, nggak boleh bersikap nggak sopan," tegurnya. Langkah Leonardi terhenti, tetapi wajahnya tetap menunjukkan amarah. Dengan enggan, dia mengembalikan lolipop itu kepada ayahnya. "Kalau Ayah nggak takut diracun, silakan makan." Setelah berkata begitu, dia berbalik dan berlari menuju meja makan, masih dengan ekspresi tidak puas. Gilbert kemudian membungkuk untuk menatap Kirana lebih dekat. Suaranya yang biasanya dingin kini terdengar lebih lembut. "Kamu umur berapa?" Kirana yang tubuhnya kecil, hanya setinggi pinggang pria dewasa, terlihat seperti anak dua tahun. Namun, dengan tangan mungilnya yang putih bersih, dia mengacungkan tiga jari dengan bangga. Melihat itu, dada Gilbert terasa sesak seketika. Dia dan Yohana sudah bercerai selama empat tahun. Dan gadis kecil ini ... tiga tahun. Apakah mungkin ... Gilbert hendak bertanya lebih jauh, tetapi suara Yohana terdengar dari belakang, memotong pikirannya. "Kirana, ayo ke sini, jangan lari-larian," ujar Yohana. Kirana segera berlari dengan kaki kecilnya ke arah Yohana dan memeluknya erat-erat. Dia menunjuk lolipop yang ada di tangan Gilbert, lalu menepuk dadanya sendiri, seakan ingin berkata, "Itu untuk dia dari aku." Yohana membungkuk dan menggendong Kirana. Suaranya lembut penuh kasih. "Sayang, Ibu sudah bilang, jangan sembarangan mendekati orang yang nggak kamu kenal. Nanti mereka bisa membawamu pergi, dan kamu nggak bisa menemukan Ibu lagi." Mendengar itu, Kirana langsung memeluk leher Yohana erat-erat, menggelengkan kepalanya dengan keras, dan memberi isyarat bahwa dia tidak akan mendekati orang asing lagi. Yohana tersenyum, lalu mencium pipi Kirana. "Pintar. Sekarang, ayo kita makan, ya." Namun, baru saja Yohana berbalik hendak pergi, suara berat Gilbert menghentikan langkahnya. "Yohana, dia ... dia anakku, bukan?"

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.