Bab 3
Johan berkata dengan kesal, "Siapa yang tahu kenapa dia tiba-tiba jadi gila begitu!"
"Sepertinya Sheila bermaksud mau lepaskan kamu."
Yaris menatap Johan dengan yakin.
Johan mencemooh, "Kamu percaya? Ini cuma taktik tarik-ulur. Kamu juga bukannya nggak tahu, aku sulit singkirkan dia selama tiga tahun ini."
Yaris berkata, "Tapi, dia sudah keluar dari grup."
Johan terdiam sejenak. Lalu, dia mengambil ponselnya dan memeriksa grup WhatsApp.
Sheila benar-benar sudah keluar dari grup.
Jadi, apa yang dikatakan Sheila itu benar.
Akhirnya Sheila tidak akan mengganggu dia lagi.
Johan bersandar malas di sofa. Entah kenapa, dia sama sekali tidak merasa nyaman.
Orang-orang lain juga berdatangan ke ruang pribadi satu per satu. Karena tidak melihat pacar Johan, mereka mulai membahas apa yang dikatakan Sheila di grup.
"Eh, Sheila sudah keluar dari grup. Apa dia benar-benar mau lepaskan Johan?"
"Mungkin saja. Sepertinya dia terluka karena lihat Johan umumkan hubungannya."
"Bukannya dia sering dibuat sakit hati sama Johan sebelumnya? Setelah beberapa hari, dia juga akan datang kembali dengan riang."
"Kalau begitu, kita taruhan saja. Ayo, kita lihat berapa lama Sheila bisa bertahan kali ini?"
Ada yang bertaruh satu hari, ada yang dua hari. Ada juga yang satu minggu.
Johan yang sedang asyik melihat ponsel tiba-tiba mengangkat kepala dan tersenyum nakal. "Kasih tulang, dalam waktu kurang dari sepuluh menit akan datang menggoyangkan ekornya."
Semua orang memujinya karena pandai melatih budak cinta.
Yaris mendengus. Dia menyalakan sebatang rokok dan menggigitnya. Dia dengan santai berkata, "Sobat, cuma mainan saja. Kalau sudah hilang, biarkan saja. Menurutku, Helena jauh lebih baik daripada Sheila."
Begitu dia mengatakan ini, pintu ruang pribadi tiba-tiba didorong terbuka.
"Gawat!"
Semua orang menatap ke arah pintu.
Pemuda yang berbicara itu adalah sepupu Johan, Sabian.
Johan menatap Sabian yang tampak panik. Dia berkata dengan tidak senang, "Ada apa?"
Sabian berbicara dengan terbata-bata karena gugup. Kata-katanya tidak jelas.
Johan dengan kesal memotongnya, "Dia kenapa lagi?"
Sabian langsung menyerahkan ponselnya ke Johan.
"Waktu aku lagi iseng-iseng lihat video pendek tadi, aku temukan ini."
Johan mengambil ponsel itu, lalu melihatnya. Itu adalah video pendek dari kota yang sama.
Johan membuka video itu dan melihat Sheila duduk di Jembatan Habor. Itu tempat yang populer di Kota Gameru. Sheila menatap kosong ke depan.
Cahaya matahari sore menyinari tubuhnya yang mungil, memberikannya lingkaran cahaya kekuningan. Dia seperti boneka porselen yang terbengkalai, rapuh, dan mudah pecah.
Matanya kosong dan hampa. Seolah kehilangan semua harapan dan semangat.
Angin sepoi-sepoi berembus dengan lembut membelai rambutnya. Namun, tetap tidak dapat menyembunyikan kesedihan dan keputusasaan di wajahnya.
Sheila duduk diam. Dia seperti sebuah lukisan yang indah, tetapi menyedihkan. Ini membuat orang tidak bisa menahan rasa iba.
Johan mengerutkan kening dan mengutuk pelan dengan kesal.
Dia sudah tahu, Sheila gila ini tidak akan melepaskannya dengan begitu mudah.
Sekarang dia bahkan menggunakan bunuh diri untuk mengancamnya.
Tidak tahu siapa yang tiba-tiba bersuara, "Jangan-jangan Sheila merasa Johan nggak mau sama dia lagi, makanya dia pilih bunuh diri, 'kan?"
"Astaga, dia mengerikan sekali."
"Sungguh mengerikan. Nggak bisa disingkirkan sama sekali."
Johan dengan kesal melemparkan ponselnya ke Sabian, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri.
Di kepalanya muncul kembali saat pertama kali bertemu dengan Sheila di Jembatan Habor.
Saat itu, Sheila juga duduk di sana seperti ini.
Johan makin merasa gelisah. Dia tiba-tiba berdiri, menendang meja kopi, lalu melangkah cepat menuju pintu ruang pribadi.
Ketika Yaris melihat Johan pergi, dia menoleh dan menatap tajam pada Sabian. "Si*lan! Apa kamu gila? Buat apa kasih dia lihat ini?"
Sabian tampak bingung. "Aku kenapa?"
Yaris tidak menggubrisnya. Dia mengikuti Johan.
Saat Johan tiba, Sheila sudah turun dari pagar pembatas. Kedua tangannya menopang pagar dan menatap kosong ke kejauhan.
Wajahnya menjadi muram. Dia melangkah cepat menuju Sheila. Lalu, meraih lengannya dan menariknya pergi tanpa sepatah kata pun.
Saat melewati semak belukar, Sheila melepaskan tangannya. "Kenapa kamu menarikku?"
Johan sangat marah. "Sheila, apa kamu gila?"
Sheila mengerutkan kening dan membalas dengan tidak senang, "Kamu yang gila! Semua keluargamu gila!"
Johan menatap Sheila dengan terkejut. Dia sepertinya tidak percaya bahwa wanita yang selalu lembut dan patuh di depannya akan berani melawannya.
Tiba-tiba, Johan sepertinya menyadari sesuatu. Dia mencemooh.
"Sheila, bukannya ini yang disebut tarik-ulur? Kamu pura-pura mau bunuh diri, bukannya cuma mau menarik perhatianku?"
Sheila terdiam sejenak.
Sheila menatap pemuda sombong di depannya dengan bingung. "Kamu bilang apa?"
Johan tertawa terbahak-bahak. Matanya penuh dengan kebencian dan penghinaan. "Meski kamu mati di hadapanku sekarang, aku juga nggak akan menyukaimu. Jangan mengancamku dengan bunuh diri!"
Mendengar kata-kata ini, Sheila langsung mengerti.
Pria yang begitu sombong ini.
Sheila malas menjelaskannya. Dia menepis tangan Johan dan berbalik untuk pergi.
Belum selesai berbicara, Sheila langsung menyelanya, "Aku sudah bilang aku akan melepaskanmu. Itu benar. Aku juga benar-benar dengan tulus doakan kamu sama Helena."
Wajah Johan tiba-tiba menjadi sangat dingin. "Apa? Ulangi sekali lagi."
Sheila menghela napas dan menatap wajah Johan dengan tenang.
Alis dan matanya sama seperti orang yang dia ingat.
Awalnya dia pikir dia sudah cukup kuat untuk menghadapi wajah ini dan mengucapkan kata-kata kejam. Namun, saat ini.
Akhirnya dia masih tidak tega.
Tidak tega mengatakan hal-hal yang menyakiti perasaan orang lain.
Johan tidak mendengarkan apa yang dikatakan Sheila setelah itu. Satu-satunya hal yang dia dengar adalah Sheila akan meninggalkan Kota Gameru.
Tidak mungkin!
Johan sama sekali tidak percaya.
Selama tiga tahun ini, Sheila sangat mencintai dirinya. Tidak peduli bagaimana dia memperlakukannya dengan buruk, Sheila tidak pernah mengatakan mau pergi.
Sekarang tiba-tiba mengatakan seperti itu, hanya ada satu kemungkinan.
Sheila benar-benar tertekan karena masalah Helena.
Sheila mau menggunakan cara ini untuk memaksa dirinya berpisah dengan Helena.
Memikirkan hal ini, Johan menatap wanita di depannya dengan marah. "Oke, kalau begitu pergi sekarang! Kamu pikir aku peduli sama orang sepertimu?"
"Kamu cuma peliharaan yang dibesarkan sama ibuku."
Ekspresi Sheila selalu tenang. Sebenarnya saat pertama kali mendengar kata-kata ini, hatinya terasa agak sakit.
Namun, karena sudah sering mendengar kata-kata ini, dia sudah kebal.
Johan benar. Jadi, Sheila merasa agak bersalah pada Johan selama ini.
"Terserah kamu mau pikir apa."
Begitu Sheila selesai berbicara, dia berbalik dan hendak pergi.
Detik berikutnya, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik kuat oleh Johan. Dengan satu tarikan kuat, Sheila langsung terdorong ke pohon kenari di sebelahnya. Lalu, Johan menunduk untuk menciumnya.
Sebelum bibirnya menyentuh bibir Sheila, Sheila langsung mendorongnya menjauh dan menamparnya.
Johan tertegun.
Dia memegangi wajahnya yang ditampar dan menatap Sheila dengan ekspresi tidak percaya.
Johan menggertakkan giginya. Dia menatap Sheila dengan marah. "Sheila, beraninya kamu!"
Sheila pun tersadar. Saat dia melihat bekas merah di pipi Johan, hatinya tiba-tiba terasa sakit.
"Maaf. Sakit nggak?"
Sheila mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Johan, tetapi langsung ditepis oleh Johan.
"Sheila, jangan sampai menyesal! Kalau aku masih peduli sama kamu, aku orang bodoh!"
Setelah mengatakan kata-kata itu, Johan langsung berbalik dan pergi.
Sesudah kembali ke asrama, teman sekamarnya tidak ada di dalam kamar.
Sheila duduk di depan meja belajar dan membuka laci.
Di bagian paling bawah laci, dia mengeluarkan sebuah foto.
Foto itu diambil diam-diam oleh Sheila. Pria itu mengenakan kaus putih dan celana hitam dan bersandar di pohon kenari.
Saat ketahuan sedang mengambil foto, dia mengangkat kepala dan menatap lensa.
Sheila menatap foto itu dan air matanya terus mengalir deras.
Dia mengulurkan tangan dan perlahan menyentuh foto itu. "Luki, dia benar-benar nggak mirip sama kamu."
Namun, Sheila tahu jelas bahwa dia tidak akan pernah bisa bertemu Luki lagi seumur hidupnya.
Karena Luki telah meninggal lima tahun lalu.