Bab 4 Kamu Pikir Kamu Bisa Mengusirku Setelah Membayar?
Byur!
Ketika tercebur, Ariana mendengar seseorang berteriak meminta tolong. Namun, tubuhnya langsung tenggelam.
Air memenuhi hidung dan tenggorokannya.
Ariana tidak bisa berenang, jadi dia hanya asal menggerak-gerakkan tangan dan kakinya untuk mengapung.
Tiba-tiba, sebuah sosok familier melompat ke kolam.
Ariana mengulurkan tangan, tetapi Leonard seakan tidak melihatnya dan dengan cepat berenang ke arah lain.
Tunangannya, orang yang dicintainya selama delapan tahun justru tidak menolongnya saat dia dan Mia terjatuh ke kolam renang.
Hatinya terasa perih seperti ditusuk pisau, sangat menyakitkan.
Ariana jadi lupa menggerakkan tangannya. Tatapannya terpaku pada sosok Leonard yang memeluk perempuan lain sambil berenang ke tepi kolam.
Tiba-tiba, dia merasa seseorang meraih pinggangnya dan menariknya ke permukaan air.
Ariana refleks menoleh.
Sepasang mata dengan sorot misterius itu mirip dengan milik pria yang ditemuinya di bar.
Itu pria yang sama!
Ariana yang lupa bahwa dia masih berada di dalam air terkejut dan membuka mulutnya. Seketika, air kembali mengisi tenggorokannya.
Dia terbatuk-batuk di pinggir kolam renang, sementara pembantu membantu mengeringkan tubuhnya dengan handuk.
Entah bagaimana pria itu bisa muncul di sini. Namun, yang jelas, Ariana harus berterima kasih padanya.
Dia pun menoleh, tetapi sosok pria itu sudah lenyap.
Saat melihat sekeliling, matanya malah disuguhi pemandangan Mia yang menggigil dan memeluk Leonard dengan erat.
Leonard merasakan tatapan Ariana, lalu melepaskan pelukan Mia dan berjalan ke arahnya. "Kamu nggak apa-apa, 'kan?"
Apa dia baru saja ingat kalau Ariana adalah tunangannya?
Ariana hanya tersenyum dingin, tidak menjawab.
Franklin buru-buru datang setelah diberi tahu oleh pembantu. Segera, dia bertanya bagaimana Ariana dan Mia bisa terjatuh ke kolam.
"Aku lihat Ariana mendorong Mia," seru Erika yang berdiri di samping Mia.
Nona Erika Sinclair adalah sepupu Leonard dari adik ayahnya. Dia dan Mia memang sangat dekat.
Setelah mendengar ucapannya, semua orang langsung menatap Ariana.
Leonard mengerutkan kening. "Apa betul kamu yang mendorong Mia?"
"Kalau aku jawab nggak, apa kamu percaya?" balas Ariana sambil menatap Leonard.
"Aku tahu kamu masih marah, tapi ... "
"Seingatku, cuma ada aku dan Mia di kolam renang. Dari mana Nona Erika bisa tahu?"
Ariana memotong perkataan Leonard. Keraguan pria itu sudah cukup mewakili sikapnya. Ariana pun mengalihkan perhatiannya kepada Erika.
"Aku kebetulan keluar dari ruang tamu dan melihat kalian," jawab Erika.
"Jarak dari ruang tamu ke kolam renang lumayan jauh, apalagi ada banyak tanaman yang menghalangi pandangan. Hebat sekali Nona Erika bisa melihat aku dan Mia di sini."
Tatapan tajam Ariana membuat Erika salah tingkah.
"Lagian, untuk apa aku mendorong Mia?" Ariana berhenti sejenak dan menatap Mia. "Memangnya dia sudah berbuat salah padaku?"
Ekspresi Mia jelas terlihat gugup.
"Uhuk ... lantai kolam renangnya licin, jadi aku dan Kak Ariana terpeleset dan jatuh ke kolam ... "
Franklin segera memerintahkan pembantu untuk mengajak keduanya masuk dan berganti pakaian.
Entah bagaimana, Mia mengatakan bahwa kakinya terkilir. Leonard pun menghampiri Ariana. "Mia nggak bisa jalan, jadi aku mau membatunya. Jangan lama-lama di luar, dingin."
Usai berbicara, dia langsung membopong Mia.
Mia melirik ke arah Ariana dari balik bahu Leonard dan tersenyum sinis.
Ya, Mia baru saja menang satu poin.
Sekarang sudah jelas, siapa yang paling penting bagi Leonard.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, acara makan malam keluarga pun dimulai.
Semua orang duduk di meja makan.
"Pak Danzel sudah datang," ujar kepala pelayan, mengumumkan.
Orang tua dan om Leonard berdiri menyambut keponakan dari kakak mereka.
Ariana juga menoleh.
Seorang pria bertubuh tinggi dan gagah melangkah ke luar dari balik sekat. Wajahnya tampan dan sorot matanya yang misterius terbingkai oleh kacamata peraknya. Rambut pria itu terlihat sedikit basah seperti baru saja mandi.
"Om, Tante." Pria itu menyapa keluarga omnya, lalu berdiri di depan Franklin. "Halo, Kek."
"Danzel, bagaimana kabar ayahmu?" tanya Franklin.
Danzel menjawab dengan tenang, "Ayah sama Ibu sehat, Kek. Ibu sedang menemani perjalanan Ayah ke daerah, jadi mereka nggak bisa datang dan menitipkan salam buat Kakek."
Ayah Danzel terlibat dalam politik, jadi dia jarang pulang ke rumah keluarga besar. Franklin paham bahwa itu adalah untuk menghindari kecurigaan nepotisme dan dia tidak mempermasalahkannya. Malah, dia sering mengingatkan ayah Leonard dan adiknya untuk tidak meminta bantuan kakaknya.
"Bagus. Sampaikan ke ayahmu kalau Kakek juga sehat." Karena lama tidak bertemu dengan Danzel, Franklin terlihat gembira. "Memangnya bekerja di kantor desain itu sibuk banget, ya? Orang tuamu sudah jarang pulang. Masa kamu juga nggak punya waktu untuk mengunjungi Kakek? Kalau Kakek nggak menelepon, mungkin kamu juga nggak bakal ke sini, 'kan?"
Danzel hanya mengangguk, tidak berusaha membela diri. "Itu memang salahku, Kek."
"Ayah, Danzel itu arsitek utama di Institut Desain Arsitektur Riverdale. Dia pasti sibuk sekali. Jangan salahkan dia," kata Steven, ayah Leonard. "Omong-omong, lauknya keburu dingin. Ayo kita mengobrol sambil makan saja."
Semua orang duduk kembali. Franklin yang mendengar dari kepala pelayan bahwa Danzel sudah menolong Ariana pun menepuk punggung cucu pertamanya itu.
"Terima kasih tadi kamu sudah menolong calon menantu om-mu. Dia mau menikah sama Leonard bulan depan. Dulu kalian pernah ketemu waktu kecil."
Sejak melihat Danzel muncul tadi, Ariana masih tertegun.
Dia tidak menyangka bahwa pria pada malam itu adalah cucu pertama keluarga Sinclair, kakak sepupu Leonard!
Dia sudah tidur dengan Danzel!
Rasa malu dan kaget bercampur menjadi satu. Ariana bahkan tidak memperhatikan Leonard yang menyodorkan makanan sambil menjelaskan bahwa tadi Leonard menyelamatkan Mia karena sudah melihat Kak Danzel berenang ke arah Ariana.
"Kita bisa bicara lagi nanti. Jangan rusak suasana hati Kakek," ujar Leonard pada akhirnya.
Saat merasakan kakinya ditendang, Ariana baru sadar bahwa sejak tadi Leonard mengajaknya berbicara dan mengingatkan bahwa Franklin memanggilnya.
Dia pun menoleh ke arah Franklin dan bertemu pandang dengan Danzel yang duduk di samping Franklin.
Wajahnya yang tampan menunjukkan ekspresi dingin. Alis dan matanya tidak menunjukkan apa pun selain ketenangan, berbanding terbalik dari malam itu yang penuh dengan nafsu.
"Aku nggak ingat."
Bibir tipis Danzel yang menggoda mengucapkan tiga kata itu.
Ariana agak bingung karena tidak mendengar apa yang ditanyakan Franklin sebelumnya.
"Ariana, kamu masih ingat Danzel nggak?" tanya Franklin lagi sambil tersenyum.
Ariana tentu saja masih ingat. Hanya saja, yang diingatnya adalah malam yang menggairahkan bersama Danzel!
Kenangan masa kecil di rumah keluarga Sinclair sudah banyak yang dia lupakan. Dia hanya ingat samar-samar bahwa Danzel yang waktu itu beberapa tahun lebih tua darinya jarang bermain bersama.
Sejak ayah Danzel pindah dari rumah keluarga besar, Ariana tidak pernah bertemu dengan Danzel lagi.
Dia bahkan sudah lupa dengan wajahnya.
"Dulu Kak Danzel nggak lama tinggal di sini. Ariana mungkin sudah lupa. Kak Danzel, kalau bulan depan ada waktu, datanglah ke pernikahan kami."
Karena Ariana masih bengong, Leonard membantu menjawabkan pertanyaan Franklin.
Tatapan Danzel tertuju ke wajah Ariana. "Wah, selamat, ya. Kalau ada waktu, aku pasti datang."
"Kak Danzel adalah kakak sepupumu. Mana mungkin dia nggak datang?" kata Steven sambil tersenyum.
Danzel adalah pewaris utama. Jika Pak Steven bisa lebih dekat dengan keluarga kakaknya, keluarganya sendiri akan sangat diuntungkan. Berhubung ayah Danzel terlibat dalam pemerintahan, Danzel tidak ikut campur dalam urusan Grup Sinclair. Sebagai seorang Ketua Grup Sinclair, Pak Steven berharap Leonard bisa mewarisi posisinya.
"Sudah dulu mengobrolnya. Ayo kita makan."
Franklin angkat bicara.
Ariana menghela napas lega. Sepertinya, Danzel tidak ingat.
Malam itu Ariana dalam keadaan mabuk dan lampu bar juga remang-remang. Bagaimana mungkin Danzel mengenalinya?
Setelah acara makan selesai, Leonard menghilang entah ke mana. Ariana yang berusaha mencarinya pun menyadari bahwa Mia juga tidak kelihatan batang hidungnya.
Dia sudah bisa menebaknya, jadi dia ingin segera pulang. Apalagi, ada Danzel di sini.
"Mau pulang? Kebetulan, kita searah. Ayo aku antar."
Tiba-tiba, terdengar suara dari belakang.
Ariana terkejut dan menoleh. Begitu melihat sosok Danzel, dia buru-buru menggeleng. "Oh, nggak usah, Kak Danzel. Aku mau mampir-mampir dulu."
"Oh, setelah tahu mau aku antar, kamu jadi ingin mampir-mampir dulu?"
Danzel berhenti sejenak sebelum melanjutkan. Senyum tipisnya membuat Ariana merinding.
"Atau, jangan-jangan ... kamu pikir kamu bisa mengusirku setelah membayar?"