Bab 2 Siapa Takut?
"Siapa bilang aku takut?"
Ariana terhuyung dan cegukan saat berbicara.
Pria itu sekali lagi menatapnya dalam-dalam sebelum mengajaknya keluar bar.
Karena mabuk, Ariana sama sekali tidak ingat bagaimana dia bisa masuk ke dalam mobil hitam atau kamar hotel.
Hanya ketika punggungnya menyentuh tembok dingin dan lampu kamar dinyalakan Ariana tersadar.
"Matikan lampunya ... " gumamnya.
Pria itu tidak menggubris perkataan Ariana dan terus menatap Ariana dengan sorot matanya yang misterius.
Dengan suara rendah, pria itu akhirnya berkata, "Kamu masih bisa mundur sekarang."
Ariana merasa pria itu sangat meremehkannya. Apa yang harus dia takuti?
"Kalau Leonard bisa melakukannya, kenapa aku harus takut?"
Dengan berani, dia melingkarkan lengannya ke leher pria itu dan berjinjit. Tatapannya terarah ke bibir tipis pria itu sejenak sebelum dia mengecupnya.
Namun, ciuman Ariana terasa kasar.
Pria itu tertegun, menyadari bahwa perempuan ini sama sekali belum pernah berciuman. Saat Ariana ingin mundur, pria itu memeluk pinggangnya dan menahan kepalanya.
Dengan lembut, dia membimbing Ariana dan menciumnya lebih dalam.
Ariana merasa tubuhnya terhanyut dalam kehangatan yang lembut. Jantungnya berdegup kencang, tetapi perlahan dia pun merasa nyaman.
Dalam keheningan, pria berbicara dengan suaranya yang dalam, memintanya untuk tidak mengkhawatirkan apa pun.
Ariana mengernyit, memandang bulu mata tebal pria itu yang bergetar halus. Wajah tampannya memancarkan ketenangan.
Segala perasaan yang Ariana coba pendam tiba-tiba bergejolak sehingga air matanya tanpa sadar menetes. Menyadari hal ini, pria itu memeluknya dengan erat.
Seketika, Ariana merasakan sesuatu mulai bangkit dalam dirinya. Dia menginginkan lebih.
Pria itu menunduk dan menatapnya lekat-lekat. Sambil tersenyum, dia memandu Ariana menuju momen yang lebih intim.
Langit sudah terang saat Ariana membuka mata.
Ariana menengok ke kanan dan ke kiri, tidak tahu di mana dia berada. Perlahan, ingatan akan malam kemarin membanjiri pikirannya.
"Apa kamu menginginkanku?"
"Kamu nggak bakal rugi."
Ya ampun! Apa yang sudah dia katakan?
Saat melihat kasur berantakan yang ditidurinya, dia hampir pingsan.
Ariana melihat sekeliling. Tidak ada siapa pun di sana, tetapi dia bisa mendengar suara air di kamar mandi dan bayangan pria itu di kaca buram.
Tanpa memedulikan tubuhnya yang terasa pegal, Ariana buru-buru berpakaian, mengambil tas dan sepatu, lalu berlari ke luar kamar.
Setelah sampai di jalan, dia segera memanggil taksi.
Sepanjang perjalanan, ingatan akan kejadian semalam terus menghantuinya. Ariana benar-benar menyesal. Bagaimana mungkin dia bisa tidur dengan pria asing?
Ciuman pertamanya lenyap sudah!
Lalu, semalam dia juga mencapai klimaks sampai tiga kali!
Setibanya di perusahaan, dia sudah terlambat.
Di ruang sekretaris CEO, seorang teman kantor datang mendekat. "Lo, kenapa baru datang sekarang? Kamu dicari Pak Leonard dari tadi."
Di Grup Sinclair, hanya asisten Leonard yang tahu soal hubungan Ariana dengan bosnya.
"Tadi macet di jalan. Kalau begitu, aku ke kantor Pak Leonard dulu."
Ariana meletakkan tasnya dan mengambil berkas yang seharusnya ditandatangani kemarin sebelum pergi menuju kantor Leonard.
Setelah mengetuk pintu dua kali dan mendengar jawaban dari dalam, dia membuka pintu dan masuk.
Di balik meja besar, Leonard yang sedang membaca dokumen mendongak dan segera menghampirinya.
"Kenapa semalam teleponku nggak diangkat?"
Suara dan wajah tampan pria itu menunjukkan kecemasan. "Aku khawatir kamu kenapa-kenapa."
Ketika di taksi tadi, Ariana memang melihat ada tiga panggilan tak terjawab dari Leonard.
Ariana memandang Leonard. Ekspresi pria itu begitu tulus seolah dia benar-benar khawatir padanya.
"Kemarin waktu pulang kerja, butik menelepon dan bilang kalau gaun pengantinnya sudah jadi. Aku mau mengajakmu, tapi kamu nggak ada. Setelah mencoba gaun, aku ke rumah sakit menjenguk Ibu. Nada deringnya aku matikan, jadi aku nggak tahu kalau kamu telepon."
Leonard menyisir sehelai rambut Ariana yang jatuh di keningnya ke belakang telinga.
"Ada urusan di kantor cabang, jadi kemarin aku ke sana. Kamu seharusnya telepon aku dulu. Oh, iya. Bagaimana gaun pengantinnya? Kalau kurang cocok, masih ada waktu untuk menggantinya."
Ariana memerhatikan ekspresi pria itu baik-baik. Tidak ada yang mencurigakan. Rasanya seolah-olah pria yang berbicara di ruang ganti kemarin bukan Leonard.
Apa dia sudah salah dengar? Mungkinkah pria di ruang ganti itu benar-benar bukan Leonard?
"Ada apa?" tanya Leonard heran saat menyadari bahwa Ariana menatapnya lekat-lekat. "Kamu kayaknya agak pucat. Apa kondisi ibumu memburuk?"
Ariana menggeleng.
"Mungkin karena semalam aku nggak bisa tidur di rumah sakit," jawabnya dengan suara agak serak.
Leonard mengambil berkas dari tangan Ariana dan meletakkannya di meja. "Hari ini kamu boleh libur dulu. Aku akan menyuruh sopir untuk mengantarmu pulang. Kamu istirahat saja, ya."
Ariana memandang mata Leonard yang menatapnya lembut, lalu mengangguk. "Oke. Nanti malam kamu pulang ke vila, 'kan? Aku mau masak yang enak buat kamu."
Leonard mengelus kepala Ariana dan tersenyum. "Siap, Nona."
Malam itu, Ariana menyiapkan beberapa menu favorit Leonard dan menunggu di meja makan.
Menit demi menit berlalu. Makanan di meja sudah dingin, tetapi belum ada tanda-tanda kedatangan Leonard.
Saat Ariana hendak memanaskan makanan, ada panggilan masuk dari asisten Leonard.
"Nona Ariana, Pak Leonard masih ada urusan malam ini. Pak Leonard berpesan, Nona nggak perlu menunggu Bapak dan bisa beristirahat lebih awal."
Ariana menutup telepon, diam sejenak, lalu memencet sebuah nomor.