Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 2

Setelah istirahat di rumah sakit selama dua hari, Caroline mengantarku pulang. Aku ingin pergi dengan Caroline, tetapi Caroline langsung mengunci pintu mobil dari dalam dan mendengus. "Lebih baik kamu pulang saja. Kalau ingatanmu kembali dan kamu kembali nangis, terus merayu Albert lagi, aku nggak mau jadi orang jahat itu." Dia masih merasa trauma. Jelas terlihat kalau selama beberapa tahun ini dia sudah sering terganggu oleh kegilaan cintaku sehingga mengalami trauma yang besar. Aku melihat mobil Caroline pergi, lalu masuk ke dalam vila yang besar sambil mengerutkan kening. Vila ini sangat besar dan sepi, juga terasa asing. Namun, saat aku melihat deretan foto pernikahan yang terpampang rapi di dinding, aku tahu kalau aku tidak salah tempat. Seorang wanita paruh baya yang terlihat seperti pembantu datang mengambil koperku. "Nona Vanesa, Pak Albert nggak akan pulang hari ini karena sedang dinas, jadi Nona nggak perlu menunggunya makan malam." Aku mengangguk dan berbalik menuju lantai atas. Namun, pembantu itu malah tertegun. "No ... Nona Vanesa, Nona nggak nanya kenapa Pak Albert nggak pulang ke rumah?" Aku bingung dan bertanya balik, "Bukannya kamu bilang dia pergi dinas?" Pembantu menatapku dengan aneh, "Ya ... itu benar. Tapi bukannya Nona Vanesa selalu nggak percaya?" Aku merasa agak jengkel dan mengibaskan tangan. "Karena dia nggak pulang, kalian nggak perlu masakin bagiannya, aku akan naik ke atas." Aku berbalik dan naik ke lantai atas, sementara pembantu di belakangku berbicara sendiri, "Aneh, rasanya dia berubah kayak orang lain?" Setelah sampai di kamar, aku langsung mandi. Meski makanan dan minuman di rumah sakit enak, mandi adalah masalah besar, apalagi aku cukup obsesif dengan kebersihan. Air hangat di bak mandi membuat seluruh tubuhku menjadi rileks. Selama tiga hari ini, Caroline berusaha keras memberitahuku, jadi aku sudah tahu semua yang terjadi. Aku sudah menikah! Aku sudah menikah dengan pria dingin dan tampan bernama Albert Bosley yang aku temui di tahun kedua di Universitas Hamberlin selama lima tahun! Menurut penjelasan Caroline, ternyata aku sudah mengejar Albert selama tujuh tahun penuh! Namun, ingatanku masih terjebak di masa-masa indah saat menjadi putri keluarga Hudgen di tahun pertama kuliah. Dalam ingatanku, aku cantik dan berasal dari keluarga yang mapan. Sejak kecil aku hidup dalam kemewahan dan orang yang mengejarku bisa mengantre dari Gedung Zerffin Hamberlin sampai jalan lingkar. Kalau seperti yang digambarkan Caroline, setiap helai rambutku ini berkilau dengan cahaya putri kaya raya. Sejak aku mengikuti kegiatan teater di tahun kedua kuliah, aku bertemu dengan Albert yang datang sebagai pemeran tamu, dan aku langsung berubah menjadi pengagum setianya. Selama masa kuliah aku adalah buku panduan berjalan untuk menjadi pengagum setia. Tidak ada perilaku pengagum setia yang tidak bisa aku pikirkan dan lakukan. Caroline bilang kalau saat itu aku benar-benar seperti terkena sihir. Meski aku tahu kalau Albert sudah punya pacar sejak kecil, aku tetap nekat menjadi orang ketiga dan menggodanya sekuat tenaga. Dengan serangan pengagum setia yang bodoh dan tanpa malu, Albert menerima lamaranku saat dia hampir lulus di tahun keempat. Ya, benar! Aku melamar Albert! Kemudian kami menikah secara kilat dan bahkan tidak mengadakan pesta pernikahan yang sebenarnya. Kami hanya mengambil foto pernikahan yang sederhana dan aku mulai menjadi istrinya dengan penuh semangat. Setelah menikah, perusahaan keluarga Albert sedang berada di saat-saat kritis, jadi dia sibuk dengan kariernya. Awalnya, aku masih bisa dianggap normal. Namun, kemudian aku menyadari kalau Albert sama sekali tidak mencintaiku. Setelah menemukan tanda-tanda keberadaan cinta pertamanya di mana-mana, aku mulai menjadi gila dalam pernikahan ini. Aku mencoba segala cara untuk mengetahui keberadaan Albert selama 24 jam. Aku bahkan mempekerjakan detektif pribadi untuk menyelidiki semua hal tentang cinta pertama Albert di luar negeri. Dengan biaya yang besar, aku mengetahui alasan putusnya Albert dengan cinta pertamanya. Sedihnya, aku menyadari kalau aku cuma sebuah pion yang digunakan untuk menyelesaikan masalah perusahaan keluarga Albert. Dia tidak mencintaiku, tetapi dia dengan terang-terangan mengambil dana saham Grup Hudgen yang ada di bawah namaku setelah menikah. Grup Bosley mendapatkan kesempatan baru berkat investasiku, sementara perusahaan keluarga Hudgen menderita kerugian besar karena hal ini. Ayahku marah sampai stroke dan harus dirawat di rumah sakit. Ibuku yang lemah terkena penyakit jantung, sementara kakak laki-lakiku yang selalu menyayangiku memukulku untuk pertama kalinya. Aku yang bodoh ini sepenuhnya menjadi bahan tertawaan terkenal di kalangan Hamberlin. Setelah kehilangan dukungan keluarga Hudgen, aku menjadi lebih rendah diri dan gila. Serangan histerisku tidak hanya membuat Albert merasa bersalah terhadapku, tetapi juga membuatnya membenciku dan menjauhiku. Sementara itu, cinta pertamanya yang tinggal di negeri jauh itu tetap berhubungan dengannya, menjaga citra wanita cantik yang lemah lembut dengan baik. Ketenangan hidup wanita itu justru menyoroti betapa berantakannya cintaku ini. Bakat dan prestasinya yang makin meningkat menyoroti kebodohan dan kekasaranku. Satu adalah wanita cantik yang lemah lembut, sementara satunya lagi adalah Vanesa yang kasar dan gila. Siapa pun yang memilih, selama mereka punya mata, mereka akan memilihnya daripada aku. Namun, semua orang lupa kalau dulu aku juga adalah putri keluarga kaya yang paling berbakat di Kota Hamberlin. Aku berhasil masuk ke Universitas Hamberlin dengan peringkat pertama! Namun, aku mencintai Albert sampai melupakan diriku sendiri. Sementara wanita yang tinggal di negeri jauh itu justru menikmati cinta Albert yang abadi. Akhirnya, setelah terjadi pertengkaran hebat antara aku dan Albert karena masalah kecil, aku mengancam akan bunuh diri dengan melompat dari gedung. Albert sudah bosan dengan trik-trikku, jadi dia berbalik dan pergi. Sementara aku melompat dari lantai dua dalam keputusasaan ... Aku tidak mati, tetapi kepalaku terbentur. Setelah merenungkan semuanya kembali, tubuhku gemetar. Air di bak mandi sudah dingin, jadi aku segera bangkit dan mengeringkan diri sambil membungkus diri dengan handuk mandi. Aku terlihat pucat dan lemah di cermin. Wajahku terlihat sangat merah, tubuhku juga sangat kurus seolah kekurangan gizi. Wajahku sangat tirus, tidak seperti saat aku berusia 18 tahun lagi. Aku melihat diriku di cermin, tetapi aku masih tidak ingin percaya pada kenyataan ini. Terlalu terobsesi dengan cinta, bahkan mengabaikan keluargaku dan rela mati demi seorang pria yang tidak punya hubungan darah. Vanesa, seberapa banyak air yang masuk ke dalam otakmu, hah? Aku merasa kesal dan memukul kepalaku sendiri, tetapi rasa sakit tiba-tiba datang. Aku merasa kesakitan sampai air mataku menetes. Sial, aku lupa kalau kepalaku masih terluka! Saat suara pintu kamar mandi terdengar, aku menatap ke depan dan melihat Albert yang berwajah serius. "Kamu ... " Aku secara refleks memeluk dada, mengerutkan kening, dan menatap pria yang tiba-tiba kembali di depanku. Meski tidak ada kesan tentang wajah ini di dalam benakku, tetapi saat melihatnya untuk pertama kalinya, aku masih merasakan getaran ringan di tubuhku. Rasa yang akrab membuatku mengerutkan kening tanpa aku sadari, tetapi bagi Albert ini justru dianggap sebagai provokasi. Dia bertanya dengan dingin, "Vanesa, apa yang kamu lakukan selama itu di kamar mandi? Keluar kalau sudah beres mandi, atau kamu mau aku menggendongmu keluar?" Matanya tertuju pada bak mandi yang penuh air. Dia mencibir dengan sinis, "Atau kamu mau coba bunuh diri dengan memotong pergelangan tanganmu di bak mandi? Kamu masih belum cukup membuat kekacauan, Vanesa?" Aku mengikuti pandangannya dan melihat tanganku yang berlumuran darah. Aku mengerutkan keningku dan ingin menjelaskan kalau ini adalah darah dari luka di belakang kepalaku. Namun, Albert sudah melewatiku, mengambil handuk mandi dengan cuek, lalu masuk ke kamar mandi. Aku melihatnya melepas kemejanya dan wajahku langsung memerah. "Apa yang kamu lakukan!" Aku langsung berbalik, tetapi wajahku sudah terbakar panas seolah bisa mengukus telur ayam. Suara air dan tawa sinis Albert terdengar dari belakang. "Aku mau mandi. Kenapa? Dulu kamu suka masuk dan mandi bersamaku waktu aku mandi, 'kan? Kenapa sekarang pura-pura polos!" Wajahku menjadi makin panas, disertai dengan rasa malu dan marah yang tidak bisa diungkapkan. Aku memakinya "gila" dan segera keluar dari kamar mandi.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.