Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 3

Olivia kembali ke apartemen di Vila Surya untuk membereskan barang-barangnya. Setelah beberapa jam memilah, dia menyadari barang miliknya tidak terlalu banyak. Hanya beberapa kardus besar sudah cukup untuk mengangkut semuanya. Sisanya? Itu barang-barang Leo, kebanyakan alat kerja. Takut ada dokumen penting yang tertinggal, dia memutuskan untuk menghubungi Leo, berharap pria itu bisa datang mengambil barang-barangnya. Namun, ketika telepon tersambung, bukan suara Leo yang terdengar, melainkan suara Nana. "Halo, siapa ini?" Olivia terdiam, napasnya tertahan. Tak lama, Nana berbicara lagi. "Aku tahu kamu siapa. Olivia, 'kan?" Olivia tidak menyangkal. Dengan nada tenang, dia menjawab, "Iya. Aku mencari Leo." "Dia sedang nggak bisa menerima telepon. Kalau ada yang mau disampaikan, katakan saja padaku." Olivia menggigit bibirnya, berusaha terlihat setenang mungkin meski di dalam hatinya gelombang emosi mulai naik. Nana, di sisi lain, tidak memberi ruang untuk basa-basi. "Bu Olivia, kalau kamu masih punya pikiran lain, aku sarankan hentikan saja. Kalian sudah tanda tangan surat cerai, apa masih mau berubah pikiran?" Nada bicaranya berubah semakin menusuk. "Aku dan Leo tumbuh bersama. Aku tahu semua tentang dia. Kamu? Apa kamu tahu? Selama kalian menikah, apa dia pernah membawamu ke rumah keluarganya? Nggak, 'kan? Kamu tahu kenapa? Karena keluarganya nggak akan pernah menerimamu." Dia tertawa kecil sebelum melanjutkan. "Dengar, Olivia. Aku dulu menolaknya, makanya dia menikahimu untuk pelarian. Kamu hanya pengganti sementara. Pernikahan kalian itu kesalahan, dan sekarang waktunya memperbaiki kesalahan itu. Jadi, tolong jangan lagi mencari-cari alasan untuk mendekatinya." Telepon terputus sebelum Olivia sempat menjawab. Olivia memang tidak pernah benar-benar tahu latar belakang keluarga Leo. Bukan karena tidak ingin tahu, tetapi karena situasi keluarganya sendiri yang rumit. Saat mereka menikah, dirinya bahkan tidak memberi tahu kedua orang tuanya. Tentang keluarga Leo, dia juga tidak pernah bertanya lebih jauh. Ada rasa tidak percaya diri dalam dirinya yang membuatnya ragu untuk memulai pembicaraan. Leo sendiri tidak pernah membahasnya dan topik itu akhirnya terabaikan begitu saja. Setelah Nancy menutup telepon, Olivia mencoba menenangkan diri. Dia tahu percakapan itu hanya akan membuatnya semakin lelah jika terus diingat. Setelah pikirannya sedikit lebih tenang, dia menghubungi sopir pribadi Leo untuk mengurus barang-barang milik pria itu. "Kak Evron, ini Olivia. Bisa minta bantu? Kapan Anda punya waktu untuk datang dan mengambil barang-barang Leo di Vila Surya?" tanyanya dengan nada yang tetap sopan meskipun hatinya masih sedikit terguncang. Namun, Evron terdengar ragu. "Bu Olivia, aku harus menanyakan ini dulu kepada Pak Leo." Olivia mengerti posisinya. "Kalau begitu, bagaimana kalau aku kirimkan saja ke alamatnya? Jadi kamu nggak perlu repot." "Ini ... " Evron semakin canggung. "Nggak bisa, ya?" tanya Olivia. "Maaf, Bu Olivia, tanpa izin dari Pak Leo, aku nggak bisa memberikan alamat. Itu adalah privasi beliau. Mohon pengertiannya," jelas Evron dengan sopan, takut menyinggung Olivia. Mendengar jawabannya, Olivia hanya tersenyum tipis. Privasi? Mungkin lebih tepat takut dirinya mencari onar ke tempatnya. "Baik, kalau begitu tolong tanyakan saja padanya," ujarnya singkat. Tidak lama kemudian, Evron menelepon kembali. Nada bicaranya tetap sopan seperti biasa. "Bu Olivia, Pak Leo berkata barang-barang itu nggak penting. Kalau nggak ingin disimpan, kamu bisa membuangnya." Kalimat itu menghantam hatinya. Olivia mencoba menjaga suara tetap tenang. "Itu benar-benar kata-katanya?" "Ya, Bu." "Baik. Terima kasih atas bantuannya." Dia menutup telepon dengan cepat, tetapi rasa pahit tetap tersisa di hatinya. Tiga tahun pernikahan, mau bilang tidak ada perasaan itu bohong. Kalau tidak ada perasaan, dia tidak mungkin mau berbagi ranjang dengan pria itu begitu lama. Setelah menyelesaikan urusan barang-barang Leo, Olivia meninggalkan Vila Surya dan pindah kembali ke apartemennya sebelum menikah. Hari pertama di tempat baru, sebuah panggilan telepon datang dari nomor yang tidak asing. Nama Leo muncul di layar. Dia tertegun beberapa saat, bertanya-tanya kenapa dia menelepon, tetapi akhirnya mengangkatnya. "Halo?" suaranya terdengar pelan. "Apa kamu mencariku?" suara berat dan rendah Leo terdengar di seberang. "Tidak lagi," jawab Olivia datar. "Aku menyuruh Evron pergi ke Vila Surya pagi tadi," kata Leo tiba-tiba. Olivia hanya diam. "Kudengar kamu mau menjual apartemen itu?" Informasi itu tampaknya sampai dengan cepat. Olivia tidak berniat menyembunyikannya. "Ya. Apartemen itu sudah jadi milikku. Bagaimana aku mengurusnya adalah urusanku." "Sekarang kamu tinggal di mana?" "Aku punya tempat tinggal," jawab Olivia singkat. "Kamu nggak suka Vila Surya? Bukankah dulu kamu bilang kau sangat menyukai lingkungan di sana?" tanya Leo, nada suaranya terdengar biasa, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa dia tebak di baliknya. Memang dia pernah mengatakan itu, tetapi dia agak terkejut Leo masih mengingatnya. Olivia terdiam sejenak, lalu menarik napas panjang. "Dulu mungkin iya. Tapi sekarang nggak lagi." Dia melanjutkan dengan suara datar, "Aku hanya ingin memberitahumu soal barang-barang yang kamu tinggalkan. Semuanya sudah kuurus. Kalau nggak ada urusan lain, mari kita berhenti saling menghubungi." "Terserah kamu," balas Leo, lalu menutup telepon. Olivia merasa ada nada marah yang samar dalam suaranya. Namun, mungkin itu hanya perasaannya saja. Di sisi lain, Leo melempar ponselnya ke meja, alisnya mengerut dalam, dan ekspresi wajahnya sulit diterka. Tangannya menekan pelipisnya, mencoba meredakan rasa frustrasi yang dia sendiri tidak tahu sumbernya. Evron berdiri tidak jauh darinya, merasa atmosfer di ruangan itu semakin mencekam. Pagi tadi, ketika dia melaporkan bahwa apartemen di Vila Surya telah diiklankan untuk dijual, ekspresi Pak Leo jelas tidak senang. Evron tidak tahu alasan pasti ketidaksenangan itu, dan tentu saja, dia tidak berani bertanya. Leo menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya perlahan. Asap yang berputar-putar menutupi fitur wajahnya yang tajam, membuat orang sulit menebak apa yang sedang dipikirkannya saat ini. "Pak Leo, soal apartemen itu, apakah aku perlu menghubungi Bu Olivia untuk membicarakannya?" tanya Evron hati-hati. Leo mengetuk abu rokoknya ke asbak. "Nggak perlu. Apartemen itu sudah miliknya. Dia bebas melakukan apa pun yang dia mau," balasnya. Evron mengangguk, memilih diam. Setelah beberapa saat, Leo akhirnya berkata lagi, "Kamu tahu di mana dia tinggal sekarang?" "Sepertinya dia pindah kembali ke apartemen lamanya. Itu yang aku dengar dari Bu Lina," jawab Evron dengan hati-hati. Leo menunjukkan ekspresi bingung, tidak mengingat siapa Lina ini. "Bu Lina adalah teman Bu Olivia," jelas Evron. Leo hanya menatapnya dengan tatapan dingin, membuat Evron merasa dia telah bicara terlalu banyak.

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.