Bab 1
Pesan dari sahabatnya, Lina Cahyadi, muncul di layar ponsel Olivia: "Jam sembilan malam, ada pesta penyambutan Leo. Kamu datang?"
Saat itu, dia masih sibuk lembur di studio. Klien yang rewel memintanya mengubah desain berkali-kali, sudah hampir sepuluh kali. Setelah berminggu-minggu lembur, Olivia memandang layar ponselnya, lalu termenung sejenak. "Dia kembali?" pikirnya dalam hati.
Namun, kegembiraan itu hanya sebentar. Setelah mengecek ponselnya lebih lanjut, tidak ada satu pun pesan atau telepon dari Leo. Baru saat itu dia sadar, tidak ada yang repot-repot memberitahunya.
Pesan lain dari Lina menyusul: "Oliv, ada kabar buruk lagi. Nana juga datang."
Olivia terdiam cukup lama, kemudian tersenyum pahit penuh ejekan pada dirinya sendiri.
Bahkan soal kepulangan Leo, dia adalah orang terakhir yang tahu.
Olivia membalas: "Kalian saja yang bersenang-senang. Aku nggak ikut."
Lalu, dia mematikan lampu, mengunci pintu studio, dan pergi.
Malam itu, Olivia pulang ke Vila Surya menjelang subuh. Setelah mandi, dia langsung tidur. Namun, tidurnya tidak lelap. Ketika mendengar suara dari ruang tamu, dia terbangun.
Leo sudah pulang. Tubuhnya penuh aroma alkohol. Dia duduk di sofa, mengisap rokok. Beberapa kancing kemejanya terbuka, memperlihatkan kulit putih pucat dengan garis otot dada samar. Alisnya berkerut tipis, wajahnya tegas dengan sudut-sudut tajam. Lehernya bergerak naik-turun saat mengembuskan asap, memancarkan pesona yang sekaligus dingin dan menggoda.
"Kamu pulang."
Suara Olivia membuat Leo mengangkat kepala perlahan. Matanya malas menatapnya dan hanya menggumamkan "Hm" dengan nada dingin, seperti melihat seseorang yang tidak dikenalnya.
"Kamu minum terlalu banyak. Perutmu nggak kuat. Lain kali, jangan begitu, ya?" nasihat Olivia dengan lembut, lalu berbalik untuk mengambil segelas air madu.
Ketika dia menyerahkan gelas itu, Leo tidak menerimanya. Dia hanya menunjuk meja di depannya. "Taruh di sana."
"Leo ... "
Leo memijat alisnya, sorot lampu membingkai wajahnya yang tampak seperti ukiran. Dengan suara datar, dia berkata, "Kita bercerai saja."
Seperti tersambar petir, Olivia terdiam. Dadanya terasa sesak. Dia menelan ludah, berusaha memastikan dia tidak salah dengar, tetapi tetap tidak berkata apa-apa.
"Soal pembagian harta, aku nggak akan menyulitkanmu. Kalau kamu punya permintaan, katakan saja."
Olivia tetap tenang, meski napasnya sedikit berantakan. "Aku nggak punya permintaan," balasnya.
"Nggak ada sama sekali?" tanya Leo sambil mengerutkan kening, tidak percaya.
Olivia mengangguk ringan dan membalas, "Iya."
"Kamu nggak ingin mengatakan apa-apa lagi padaku?"
"Tidak ada."
Ketegasan dan ketenangannya membuat Leo agak terkejut. Ini tidak seperti yang dia bayangkan. "Aku pikir kamu akan menangis atau marah," ujarnya.
"Tidak akan," balas Olivia sambil tersenyum tipis. Dia tahu sejak awal, memaksa seseorang yang tidak mencintai kita adalah hal sia-sia.
Mengikat suami yang sudah berpindah hati adalah hal yang begitu memalukan. Dia tidak sanggup melakukannya.
Bahkan sejak hari pernikahan mereka, dia sudah tahu momen ini akan datang.
Hanya saja, dia tidak menyangka itu akan terjadi secepat ini.
Tiga tahun pernikahan mereka berakhir dengan sangat sederhana.
"Besok, Pak Tommy akan mengirimkan surat perceraian. Kalau ada masalah, kamu bisa bicarakan langsung dengannya," kata Leo.
Olivia mengangguk. "Baik."
Setelah itu, dia mengambil air madu itu lagi dan meletakkannya di meja di hadapannya. Dengan lembut, dia berkata, "Lain kali, jangan terlalu banyak minum."
Dia berbalik menuju kamar dan menutup pintu.
Tidak lama kemudian, dia mendengar suara pintu depan tertutup. Itu artinya Leo telah pergi.
Di balik pintu kamarnya, Olivia menggigit bibir hingga hampir berdarah. Dadanya terasa berat, dan tenggorokannya seperti tercekik. Dengan napas terengah, dia membuka Status WhatsApp-nya. Foto pesta tadi malam muncul di sana. Teman-teman Leo mengunggah beberapa gambar. Di antaranya, ada seorang wanita muda yang cantik. Dia adalah Nana Linan, cinta pertama Leo, yang pernah menjadi cahaya dalam masa-masa kelam hidup pria itu.
Lalu, Olivia? Dia hanyalah pengganti. Kini, saat pemilik sebenarnya telah kembali, sudah sepantasnya dia pergi.
Esoknya, perjanjian perceraian dikirimkan ke studionya. Olivia tidak membacanya sama sekali. Dia langsung membalik ke halaman tanda tangan dan menandatanganinya.
"Bu Olivia, apa nggak sebaiknya kamu periksa dulu? Bagaimana kalau ada yang nggak sesuai?" tanya Pak Tommy.
"Leo selalu murah hati. Dia nggak akan mempermainkanku. Lagi pula, jika dia berniat menjebakku, aku nggak mungkin menang melawan tim hukumnya," katanya sambil menyerahkan dokumen itu.
Pak Tommy hanya tersenyum, tanpa membalas apa-apa.
Setelah perceraian disepakati, Pak Tommy segera menyelesaikan tugasnya. Dia berbasa-basi sebentar sebelum hendak pergi, tetapi Olivia tiba-tiba memanggilnya.
"Tunggu sebentar."
Pak Tommy menoleh. "Ada apa?"
Olivia tampak berpikir sejenak sebelum bertanya, "Aku akan pergi keluar kota beberapa hari lagi. Bisakah kamu tanyakan pada Leo apakah dia punya waktu besok atau lusa untuk mengurus perceraian di Kantor Catatan Sipil?"
"Secepat itu?" tanya Pak Tommy terkejut. Dari caranya bertanya, Olivia tampak lebih bersemangat menyelesaikan perceraian ini dibandingkan Leo. "Aku kurang tahu, Pak Leo belum bilang," lanjutnya.
"Kalau begitu, tolong tanyakan saja padanya," balas Olivia.
"Baik."
Mereka bertemu lagi di Kantor Catatan Sipil untuk menyelesaikan perceraian.
Leo tampak terburu-buru, ponselnya berdering tanpa henti.
Sementara pria itu sibuk menjawab telepon, Olivia duduk diam, tidak mengatakan sepatah kata pun. Dia juga tidak melihat ke arah Leo. Setelah dia selesai menelepon, barulah Olivia membuka suara dengan tenang, "Semua dokumen sudah siap. Kamu hanya perlu tanda tangan."
Selama dia menelepon, Olivia sudah mendapatkan nomor antrean dan menyerahkan dokumen ke petugas.
Entah kenapa hari itu, pasangan yang mengantre untuk menikah memenuhi tempat itu, sementara yang mengurus perceraian hanya sedikit.
Dia menyibakkan rambut di pelipisnya, menampilkan wajah yang tenang dengan senyum tipis. Hari itu, Olivia mengenakan gaun merah yang mencolok, memperlihatkan tubuhnya yang ramping dan elegan. Wajahnya terlihat segar dengan riasan tipis. Tanpa dia sadari, tatapan Leo sempat terhenti padanya sebelum dia cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
"Ini akta perceraian kalian berdua," kata petugas sambil menyerahkan dokumen itu melalui jendela kecil.
Olivia menerima dokumen itu, menyimpannya rapi di dalam tas. Perasaannya saat itu sangat berbeda dibandingkan ketika dia menerima akta pernikahan mereka beberapa tahun lalu.
Saat mereka keluar dari gedung, mobil Leo sudah menunggu di tepi jalan. Dia menoleh ke arah Olivia sejenak, tetapi Olivia yang lebih dulu bicara. "Selamat tinggal."
Leo tiba-tiba bertanya dengan nada dingin, "Kamu mau pergi begitu saja?"
Olivia menghentikan langkahnya, menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"
Leo berdiri di sana, satu tangan dimasukkan ke saku celananya. Tubuh tinggi dan wajah tampannya membuatnya menjadi pusat perhatian meskipun dia hanya berdiri diam. Dengan tatapan dalam, dia menatap Olivia yang mengenakan gaun merah itu. "Kamu benar-benar tidak punya permintaan apa-apa dariku?"
"Hah?" Olivia semakin bingung.
"Kamu takut aku akan mengusikmu?" Olivia tersenyum kecil dan melanjutkan, "Kamu nggak perlu khawatir. Aku tidak akan mengganggumu. Aku sungguh berharap kamu menemukan cinta sejatimu."
Leo tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi ponselnya kembali berdering. Dia memang sudah sangat sibuk, perceraian ini memang di luar jadwalnya hari ini. Dia tidak menyangka Olivia sudah begitu tidak sabar.
Olivia juga tidak ingin berpanjang lebar. Begitu selesai mengatakan apa yang perlu dikatakan, dia segera naik mobil dan pergi.