Bab 2
Ketika Nindi muncul, semua mata langsung tertuju padanya.
Di tengah tatapan orang-orang, Nindi tetap tenang tanpa ekspresi.
Dia mengenakan kaos pendek sederhana, tetapi aksesori yang dikenakannya sangat mencolok. Di kepalanya ada sebuah siger emas yang indah, di lehernya tersemat liontin zamrud, di pergelangan tangannya melingkar gelang giok dan gelang emas, sementara di jari manisnya berkilauan cincin berlian merah muda besar.
Sekelilingnya langsung dipenuhi suara cekikikan dan tawa mengejek.
"Nindi kok norak banget sih, semua perhiasan dipakai, kayak orang baru kaya."
"Aku rasa dia sengaja pakai barang-barang mahal begitu biar pamer. Tujuannya sih jelas, bikin Sania minder."
...
Nindi melenggang santai ke arah Sania tanpa peduli ejekan itu. Dengan nada datar ia berkata, "Selamat ya, akhirnya hari ini kamu resmi jadi bagian dari Keluarga Lesmana."
Di kehidupan sebelumnya, hari Sania menjadi bagian keluarga Lesmana adalah awal dari mimpi buruk Nindi.
Tidak peduli seberapa keras ia berusaha menyenangkan hati semua orang atau bersikap baik.
Kakak-kakaknya selalu memihak Sania, bahkan Kak Nando pernah berkata lebih baik Sania lahir sebagai adik kandung mereka daripada Nindi.
Kali ini, Nindi sudah muak dengan omong kosong tentang keluarga.
Sania memandang aksesori mahal yang dikenakan Nindi dengan hati dipenuhi rasa iri, meskipun ekspresi wajahnya tetap terlihat tenang.
Dia menundukkan kepala sedikit, berpura-pura takut, dan menjawab hati-hati, "Kak Nindi, aku tahu Kakak nggak suka aku. Tapi tenang aja, aku nggak akan merebut perhatian Kakak-kakakmu. Bagaimanapun juga, aku cuma orang luar. Kakak itu adik kandung mereka, aku mana mungkin bisa dibandingkan sama Kakak?"
Saat bicara, mata Sania mulai memerah, seolah hampir menangis.
Nindi menyunggingkan senyum sinis. 'Ah, betapa cantiknya bunga melati palsu ini,' pikirnya.
Di kehidupan sebelumnya, dia tertipu habis-habisan oleh wajah polos Sania ini. Ia baru sadar kebenarannya saat menghadapi kematian di akhir hidupnya.
Brando, yang melihat Sania hampir menangis, langsung menenangkan, "Sania, jangan nangis. Siapa bilang kamu orang luar? Mulai sekarang, kamu adalah adik kandungku."
Sania menunduk, menyembunyikan rasa puas yang muncul di wajahnya.
Kak Nando kemudian menyerahkan sebuah kotak hadiah, "Sania, ini hadiah untukmu."
Sania langsung tampak terkejut dan berkata dengan suara gemetar, "Kak Nando, bukannya ini hadiah buat Kak Nindi? Aku mana pantas menerimanya!"
Nindi mengintip isi kotak itu, sebuah koleksi figur langka. Sama sekali tidak mengejutkan.
Di kehidupan sebelumnya, Kak Nando juga dengan 'baik hati' memberikan koleksi yang sudah lama diidamkannya ini kepada Sania sebagai permintaan maaf.
Kak Nando berkata, "Ambil saja. Ini sesuatu yang memang pantas kamu dapatkan."
Brando menambahkan dengan nada tidak puas, "Nindi, meskipun Sania nggak mempermasalahkan insiden saat kamu mendorongnya ke air, Kak Nando juga sudah menggantikanmu memberikan hadiah. Tapi, mana permintaan maafmu?"
Nindi mengangguk ringan, "Aku tahu. Karena itu, aku sudah menyiapkan hadiah permintaan maaf."
Dia melepaskan semua perhiasan yang dikenakannya, satu per satu diletakkan dengan hati-hati ke atas nampan.
"Ini Siger Emas yang diberikan oleh Kak Darren."
"Ini Liontin Zamrud dari Kak Nando."
"Ini Tanaman Obat Berusia Seabad dari Kak Sean."
"Ini adalah cincin berlian pink langka yang diberikan oleh Kak Brando."
"Ini adalah gelang giok yang diberikan oleh Kak Witan."
"Ini adalah piala emas yang diberikan oleh Kak Leo."
Nindi satu per satu menata barang-barang di atas nampan, "Ini semua barang yang sangat penting buat aku. Sebagai tanda permintaan maaf, aku rasa ini cukup tulus, kan?"
Dia sudah lama menduga Kak Brando akan menanyakan soal permintaan maafnya, jadi dia mempersiapkan semuanya dengan baik.
Sejak Sania datang ke Keluarga Lesmana, kakak-kakaknya tak pernah lagi memberikan hadiah yang benar-benar berarti untuknya. Jadi hanya ini yang tersisa, barang-barang yang masih berharga.
Lagi pula, pada akhirnya, barang-barang ini pasti akan diminta kembali oleh kakak-kakaknya dengan berbagai alasan untuk diberikan kepada Sania.
Begitu Brando melihat isi nampan itu, ekspresinya langsung berubah kaku.
Ini semua barang-barang yang paling berharga dari Nindi!
'Dia … berani-beraninya?'
Nando menatap Nindi dengan bibir terkatup rapat, "Nindi, maksudmu apa ini?"
"Kak Nando, aku bilang ini tanda tulus permintaan maafku. Kak Brando, menurut Kakak, ini cukup nggak?"
Ekspresi Nindi datar, tanpa emosi sedikit pun.
Ketika Sania melihat isi kotak itu, dia agak terkejut, tidak mengerti apa rencana Nindi kali ini. Apa ini strategi mundur untuk menyerang?
Sania buru-buru angkat bicara, "Kak Nindi, ini semua kan hadiah dari Kakak-Kakak untuk kamu, barang-barang ini terlalu mahal. Aku nggak pantas nerima."
Brando langsung marah, "Benar! Ini semua hadiah dari kami buat kamu. Gimana bisa kamu kasih barang-barang ini ke orang lain?"
Senyum di wajah Sania sedikit membeku. Dia menggigit bibirnya pelan, "Betul sekali, Kak Nindi. Aku ini cuma orang lain. Mana pantas nerima barang-barang ini?"
Brando sadar ucapannya barusan salah, buru-buru menjelaskan, "Sania, bukan itu maksudku. Kalau untukmu, aku bakal pilihkan hadiah lain. Mana mungkin kasih barang bekas?"
Sania langsung tersenyum lagi dengan wajah berbinar, "Makasih, Kak Brando."
Hati Brando seketika melunak. Lihat, ini baru namanya adik yang penurut.
Nando hanya bisa menghela napas panjang, "Nindi, sekarang kamu lagi marah kenapa lagi?"
Barang-barang ini, selama ini Nindi sangat menjaganya. Tidak ada yang boleh menyentuhnya.
Dia tidak menyangka adiknya ini benar-benar menyerahkan semuanya, hanya untuk minta maaf ke Sania!
Apa ini artinya dia mau memutus hubungan dengan mereka?
Atau, karena dia diam-diam mengambil koleksi Nindi sebelumnya untuk diberikan ke Sania, jadi Nindi marah?
Nando merasa Nindi nggak benar-benar tulus ingin memberikan barang-barang ini.
"Kak Nando, dia cuma lagi cari cara buat melampiaskan kekesalan. Kita ini kelihatan bodoh banget kalau nggak nyadar," Brando menambahkan. "Nindi, kapan sih kamu bisa belajar kayak Sania, sedikit lebih dewasa?"
Ekspresi Nindi tetap datar, "Barang-barang ini nilainya miliaran. Sebagai tanda tulus permintaan maaf, aku tanya, cukup nggak? Kak Brando, jangan-jangan Kakak malah sayang buat ngasih?"
Brando terdiam, kata-kata itu menusuk. Ini bukan soal cukup atau tidak.
Di depan Sania, dia berusaha mencari alasan, tergagap, "Aku … aku bukan orang seperti itu."
"Kalau begitu, semua jadi saksi. Barang-barang ini sekarang resmi jadi kompensasi," kata Nindi tanpa ragu.
Nando kelihatan makin marah, "Nindi, jangan bercanda!"
Dia tidak habis pikir. Barang-barang penting ini, Nindi berikan begitu saja.
Bahkan jika dia marah pada Brando, dia tidak seharusnya menyerahkan hadiah dari mereka semua, kan?
"Kak Nando, apa aku kelihatan seperti lagi bercanda?"
Nindi menyodorkan nampan itu ke tangan Sania, "Sekarang semuanya milikmu."
Termasuk Keluarga Lesmana ini, dia tidak menginginkannya lagi.
Sania kelihatan canggung, merasa Nando dan Brando seperti tidak senang dengan situasi ini.
Dia menggenggam kotak itu, telapak tangannya terasa panas. Dia tidak menyangka Nindi benar-benar akan memberikan ini semua, membuatnya tidak siap.
Kalau dia tidak bisa mengatur situasi ini dengan baik, pasti akan memicu ketidaksukaan dari kedua kakak itu.
Kenapa Nindi tiba-tiba jadi sulit dihadapi seperti ini?
Tanpa memberi Sania kesempatan bicara, Nindi langsung berbalik pergi.
"Nindi, berhenti di situ!" seru Brando penuh amarah.
Dia benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Nindi menggunakan barang-barang yang dia berikan sebagai tanda permintaan maaf? Apa-apaan ini?
Namun, Nindi tetap pergi tanpa menoleh.
Nando mengerutkan kening, "Nindi sekarang makin nggak masuk akal!"
Dia merasa tidak nyaman. Kalung giok yang dia berikan, dibeli dari penghasilan pertamanya, punya makna yang sangat khusus.
Brando, yang merasa seolah meninju angin, hanya bisa menahan geram, "Aku juga setuju, dia sengaja bikin kita kesal."
Mendengar percakapan mereka, Sania menggigit bibir, merasa kesal.
Nindi, rencanamu untuk mundur dan menyerang ini … berhasil! Namun, Sania tidak akan bisa membiarkannya menang.
Sania memeluk kotak itu dengan ekspresi lembut, "Kak Nando, Kak Brando, apa ini salahku lagi? Mana mungkin aku pantas nerima barang-barang yang Kak Nindi sayangi? Aku harus gimana?"
Sialan Nindi, sengaja menggali lubang membuatnya jatuh!
Brando memasang wajah dingin, "Kalau ini hadiah minta maaf dari dia, kamu terima aja! Aku yakin Nindi nggak bakal tahan lama, tiga hari juga udah nyesel."
Hmph, dia menunggu momen Nindi menyesal. Saat itu tiba, dia pasti akan mengejek Nindi habis-habisan.
Nando berkata dengan nada lembut, "Gini aja, Sania. Kamu simpan dulu kotaknya untuk Nindi. Nanti kalau emosinya udah reda, kasih ke dia."
Dulu, Nindi memang pernah marah-marah, tetapi akhirnya selalu balik baik-baik saja.
Dia tidak percaya kalau Nindi beneran bakal menolak hadiah-hadiah ini.
"Baik, Kak Nando. Aku pasti akan menjaganya dengan baik," jawab Sania sambil menunjukkan senyum lembut dan patuh.
Nando menghela napas. Dulu, Nindi juga pernah sepatuh ini. Dia berharap Nindi segera sadar dan kembali dewasa.
Saat matanya beralih ke Sania yang berdiri manis di sampingnya, dia merasa lega. Untungnya, Sania tidak seperti itu.
…
Setelah kembali ke kamarnya, Nindi berbaring di tempat tidur. Mungkin karena efek habis tercebur tadi, kepalanya terasa pusing sekali.
Dia berbaring dan langsung menutup matanya.
Dia harus memikirkan cara untuk keluar dari keluarga Lesmana dan menjalani hidup mandiri dengan penghasilan sendiri!
Di kehidupan sebelumnya, setelah lulus SMA, nilai ujiannya sebenarnya cukup untuk masuk universitas unggulan. Namun, gara-gara satu kalimat dari Brando, dia malahan memilih universitas biasa, tempat Sania kuliah.
Di kampus, dia seperti pembantu pribadi Sania. Setiap ada masalah, dia yang kena getahnya.
Kalau melawan, kartu kreditnya langsung diblokir. Sebagai anak dari keluarga Lesmana, hidupnya bahkan lebih susah daripada mahasiswa miskin.
Akhirnya, Sania mencuri hasil skripsinya yang dikerjakan dengan susah payah, lalu menuduhnya melakukan plagiat. Nindi dijatuhi hukuman skorsing, bahkan sampai dikeluarkan dari universitas.
Kali ini, dia tidak akan mengalami hal yang sama.
Dia harus masuk universitas unggulan!
Untuk biaya kuliah dan hidup, dia bisa ikut turnamen e-sports dan memenangkan hadiah uang.
Dengan kemampuan bermain game dari kehidupan sebelumnya, dia yakin masih bisa bertahan dengan cara ini.
Setelah pesta selesai, Nando berdiri di depan pintu kamar di lantai dua.
Dia ragu sejenak sebelum mengetuk pintu. Tetapi, tidak ada respon dari dalam.
Pintu itu juga terkunci.
"Kak Nando, kayaknya Sania demam deh. Kamu cepetan cek dia, ya,"