Bab 12
Nindi terus meyakinkan dirinya untuk tidak terlalu memikirkan masalah ini.
Sementara itu, Sania terus menggunakan cara licik, bahkan dia meminta Kak Leo datang ke sekolah. Kemungkinan besar, nilainya akan dibatalkan.
Namun, saat Cakra bertanya tentang nilainya, Nindi masi tidak bisa menahan rasa sakit hatinya.
Ketika Nindi hendak menjawab, seseorang memanggilnya, "Nindi, wali kelas minta kamu ke kantor."
Nindi mengerucutkan bibirnya saat mendengar itu. "Aku pergi ke kantor dulu, nanti kita bicara lagi," ujarnya.
Setelah menutup telepon, Nindi langsung menuju kantor wali kelas.
Dia melihat Leo sudah ada di sana ketika dia masuk tadi dan suasananya tampak kurang baik.
Leo berkata dengan ekspresi dingin. "Nindi, aku nggak nyangka kamu berani curang di ujian cuma buat menang. Kamu tahu nggak sih dampak perbuatan kamu?"
Nindi sama sekali tidak terkejut. Dia sudah tahu Leo tidak akan mempercayainya.
Dia menatapnya dengan pandangan tegas. "Aku nggak curang."
Dia tidak akan mengakui sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.
"Nindi, fakta udah jelas banget kok, kenapa masih bohong? Lihat aja nilai-nilaimu yang biasa aja dan sikapmu di rumah, nggak mungkin tiba-tiba nilainya bisa naik segitu. Apalagi, kamu punya alasan kuat buat nyontek! Jujur aja, supaya kamu nggak kena sanksi dari sekolah," ucap Leo.
Nindi tertawa sinis. "Apa semua ini cukup jadi bukti kalau aku menyontek?"
Leo berdiri dengan marah. "Nindi, lihat keadaan kamu!"
Ketika wali kelas melihat Leo seperti ingin bertindak, dia buru-buru menghentikannya. "Bicaralah dengan baik kepada anak-anak."
Leo pun dengan nada kecewa berkata kepada wali kelas, "Maaf, Nindi nyontek karena lagi ada masalah di keluarganya. Jadi, sesuai yang udah kita bahas tadi, biarin dia nulis surat permintaan maaf dan bacain di depan kelas sebagai penyesalan. Jangan kasih sanksi yang lebih berat lagi."
Wali kelas menghela napas. "Baiklah, semoga Nak Nindi bisa berubah jadi lebih baik."
Bagaimanapun juga, Nindi sebentar lagi lulus SMA. Tidak baik jika dia punya catatan pelanggaran di sekolah.
Nindi menunduk menatap lantai. Hatinya yang sudah dingin semakin mengeras.
Mereka menuduhnya tanpa bukti apa pun, dan tidak ada yang pernah mempercayainya.
"Nindi, aku sangat kecewa dengan sikapmu. Rasanya sulit diterima bahwa aku memiliki adik yang bersikap seperti ini. Aku khawatir kalau orang lain mendengarnya, kita semua akan merasa sangat malu." Ucap Leo
"Kamu kira aku mau jadi anak keluarga Lesmana?"
Mata hitam pekat di wajah cerah Nindi itu, memancarkan aura dingin.
Sekarang, dia tidak peduli lagi.
"Nindi, coba kamu ulangi omongan kamu!"
Wajah Leo memerah karena marah, matanya menatap tajam ke arah Nindi.
"Jangan terlalu galak gi Pak, nanti anak-anak malah takut."
Seorang kakek kecil masuk, tampak ramah dan baik hati.
Wali kelas segera menyambut. "Kepala Sekolah, kenapa Anda datang ke sini?"
"Tadi saya dengar ada siswi kelas tiga yang nilainya meningkat pesat, namun dituduh menyontek. Masalah ini sepertinya cukup serius, jadi saya datang untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Leo membalas dengan nada kesal,"Kepala Sekolah, nggak perlu diragukan lagi. Nindi jelas nyontek, kelihatan banget dari nilainya yang tiba-tiba bagus. Kalau Nindi nggak mau minta maaf dan ngakuin kesalahannya, hukum saja dia."
Sudah seharusnya Nindi diberi pelajaran.
Tadi, dia memohon kepada guru dan mengungkapkan berbagai hal baik agar Nindi terhindar dari hukuman, namun Nindi justru menolak bantuan tersebut.
Sudahlah, dia tidak perlu lagi membela Nindi.
Toh, dia juga tidak peduli.
Kepala sekolah menatap Nindi dengan tenang. "Nak, sebenernya ada cara gampang buat ngebuktiin kamu nyontek atau nggak. Kita bakal kasih soal baru dan kamu kerjain di bawah pengawasan kami semua. Kamu mau ikut ujian ini?"
Nindi memandang kepala sekolah dan berkata, "Saya terima, tapi saya punya satu syarat. Kalau saya nggak terbukti menyontek, saya minta orang yang menuduh saya minta maaf di depan umum?"
Leo tertawa sinis. "Baik, aku pengen tahu berapa nilai yang bisa kamu dapetin!"
Tidak lama kemudian, wali kelas memberikan satu set soal pada Nindi. "Aku akan menghitung waktunya."
Nindi duduk, mengambil pena, dan mulai mengerjakan soal.
Ruangan kantor menjadi sunyi. Semua orang memperhatikan Nindi dengan saksama.
Wali kelas yang berdiri di dekatnya terkejut begitu melihat bagaimana Nindi menyelesaikan soal matematika itu. Soal yang jauh lebih sulit daripada ujian sebelumnya, tapi jawaban Nindi hampir semuanya benar.
Waktu terus berjalan.
Sania penasaran dengan apa yang terjadi di kantor. Ketika dia masuk dan melihat Nindi sedang mengerjakan soal, wajahnya langsung pucat.
Dia berjalan ke sisi Leo. "Kak Leo, Kak Nindi lagi sengerjain soal-soal ujian, ya?"
Leo mendengus. "Benar, dia mati-matian menyangkal kalau dia menyontek. Kali ini aku akan membuatnya kalah telak!"
Sania segera menghampiri Nindi. "Kak Nindi, jangan keras kepala. Kami semua percaya padamu. Nggak perlu memaksakan dirimu sendiri."
Nindi memilih untuk diam dan mengabaikan Sania. Dia tidak ingin Sania mengganggu konsentrasinya.
Sania menggigit bibirnya dan menatap Leo. "Kak Leo, Kak Nindi masih marah padaku, ya?"
Leo langsung merasa kesal. "Nindi, Sania lagi ngomong sama kamu. Kamu nggak dengar, ya?"
Nindi mendongak. "Aku lagi ngerjain soal. Kalian nggak lihat?"
Leo tercekat. "Sania cuma niat bantu kamu. Kalau kamu masih keras kepala, nanti malah mempermalukan diri kamu sendiri!"
"Kalian jangan ganggu Nindi! Apa pun yang ingin kalian katakan, tunggu sampai dia selesai."
Wali kelas tidak bisa menahan diri. Dia melihat dengan jelas bahwa Nindi mengerjakan ujian dengan baik, kemungkinan besar Nindi memang tidak menyontek.
Sania merasa kesal, tapi tetap berpura-pura manis. "Saya nggak bermaksud kok, Pak."
Dia tidak ingin Nindi membuktikan kemampuannya.
Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Nindi lebih unggul darinya dan dia juga tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Sania berdiri di samping sambil mengamati dengan ragu-ragu, lalu berpikir. 'Nindi nggak mungkin dapat nilai bagus, 'kan?'
Namun, dia merasa sedikit tidak nyaman melihat perubahan Nindi Lesmana belakangan ini.
Waktu ujian telah berakhir.
Wali kelas segera mengambilnya dan bersama dengan guru-guru lain, mereka langsung mengoreksi lembar ujian dengan cepat.
Nindi duduk di kursinya, tetapi suasana hatinya tetap sangat tenang.
Bahkan saat melihat Sania berdiri di sebelah kakaknya, Leo, ekspresinya tetap datar.
Memang benar, kamu tidak akan terluka jika tidak peduli' batin Nindi.
Nilainya sudah keluar, wali kelas terlihat antusias.
Sania menoleh dengan tatapan penuh harapan buruk, menginginkan Nindi mendapatkan nilai yang kecil.
Leo dengan dingin berkata, "Pak, kalau hasilnya jelek, lebih baik jangan diumumkan. Memalukan sekali."
"Nggak kok, Nindi malah dapet nilai yang bagus banget! Padahal soal ujiannya kali ini lebih susah daripada ujian yang sebelumnya, tapi nilainya malah lebih tinggi dari ujian bulanan!"
Mendengar perkataan itu, hati Nindi yang sempat tegang akhirnya lega.
Dia mengatupkan bibirnya dan tersenyum tipis.
Ekspresi Leo langsung berubah drastis. Dia mengambil kertas ujian untuk memastikannya. Nilai di atas kertas tidak bisa berbohong.
Nindi memang mendapatkan hasil yang sangat bagus.
Sania yang mengintip dari samping, juga melihat nilai itu. Seketika rasa iri memenuhi hatinya. Sejak kapan Nindi jadi sepintar ini?
Tidak mungkin!
Kepala sekolah yang tua itu tersenyum sambil berkata. "Fakta telah membuktikan segalanya. Kemajuan besar yang dicapai Nindi adalah hasil dari usahanya sendiri."
Wali kelas mengangguk. "Belakangan ini, Nindi memang sangat rajin."
Ekspresi Leo terus berubah seperti lampu lalu lintas dan akhirnya dia meletakkan kertas ujian itu kembali ke meja. Dia tidak menyangka bahwa Nindi benar-benar tidak menyontek.
Saat itu juga, dia tiba-tiba merasa Nindi di depannya terlihat asing.
Kepala sekolah berdeham. "Karena kebenarannya sudah terungkap, orang yang telah memfitnah Nindi harus meminta maaf."
Ekspresi Sania langsung berubah canggung.