Webfic
Open the Webfic App to read more wonderful content

Bab 1

"Pak Sigit, selamat! Anda telah lulus wawancara online di perusahaan kami. Surat penawaran sudah dikirimkan ke email Anda. Kami mengharapkan Anda bergabung di Lyndon dalam waktu setengah bulan. Apa ada pertanyaan?" Dari ujung telepon, terdengar suara seorang pria berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih. Sigit Wardana tanpa ragu langsung menyetujuinya. "Nggak masalah. Saya akan datang tepat waktu." Begitu telepon ditutup, kenop pintu berputar, dan Susan Setiadi masuk ke dalam. Melihat Sigit, dia menyerahkan sebuah kantong kertas dengan sigap. "Kemarin ada urusan mendadak di firma hukum, jadi aku nggak bisa menemanimu merayakan tahun baru. Jangan marah, ya." Ucapannya terdengar tulus. Sigit tidak banyak bertanya, hanya menerima kantong itu dan melirik isinya. Sebuah gelang kayu cendana tergeletak di dasar kantong kertas. Bahkan untuk sekadar mengemas gelang itu pun Susan tidak mau repot-repot. Gelang kayu cendana itu memang mahal, tapi yang membuatnya mahal bukanlah gelang itu sendiri, melainkan gelang kayu gaharu yang merupakan pasangannya. Gelang kayu cendana ini hanyalah bonus dari gelang kayu gaharu tersebut. Gelang kayu cendana itu ada di sini, yang berarti Susan telah membeli gelang kayu gaharu. Namun, dia memilih memberikan bonusnya kepada Sigit. Kalau saja Cahyo Sumadi tidak mengirimkan foto-foto itu kemarin, yang salah satunya menampilkan gelang yang ukurannya sangat mencolok dengan kualitas istimewa, mungkin Sigit tidak akan menyadari bahwa pacarnya selama lima tahun itu memilih memberikan gelang utama kepada orang lain dan hanya memberinya gelang bonus. Sama seperti saat Susan berdalih ada urusan di firma hukum untuk menolak menemaninya merayakan tahun baru, padahal sebenarnya dia pergi menemui Cahyo. Namun, pada akhirnya Sigit tetap tidak membongkar kebohongan Susan. Setelah mengucapkan terima kasih, dia menerima hadiah itu. Melihat Sigit menerima hadiah itu tanpa melakukan apa-apa lagi, Susan mengernyit. Sebelum Sigit sempat kembali ke kamar, Susan menghentikannya, "Hadiahku mana?" Dihentikan secara tiba-tiba begitu, Sigit agak bingung. Dia memandang Susan yang menghalangi jalannya, tidak mengerti apa yang sedang dilakukan wanita itu. "Apa maksudnya hadiahmu?" "Kamu lupa? Bukannya dulu kamu yang berjanji bahwa setiap tahun baru kita harus saling bertukar hadiah, sebagai tanda bahwa kita selalu mengingat satu sama lain?" Wajah Susan berubah muram. Wanita ini tidak menyangka, dia yang menepati janji, justru Sigit yang lupa. Mendengar itu, Sigit baru tersadar, lalu berkata dengan acuh tak acuh, "Sudah sekian tahun bersama, kita seperti pasangan suami istri tua. Nggak perlu lagi melakukan formalitas seperti ini." Susan refleks ingin membantah, tetapi tiba-tiba dia merasa kata-kata itu terdengar sangat familier. Seketika, dia teringat, tahun lalu Sigit dengan antusias menyiapkan hadiah untuknya saat malam tahun baru. Namun, Susan sendiri lupa akan janji itu. Ketika Sigit datang membawa hadiah untuk bertukar, Susan justru datang dengan tangan kosong. Mata Sigit penuh kekecewaan, dia bertanya kenapa Susan sampai lupa dengan janji itu. Lalu, bagaimana Susan menjawab saat itu? Susan berkata, "Sudah sekian tahun bersama, kita seperti pasangan tua. Ini semua hanya formalitas. Kalau lupa, ya biarkan saja." Alasan yang dia gunakan dulu, kini dikembalikan kepadanya. Susan akhirnya mengerti perasaan Sigit saat mendengar kata-kata itu. Sesaat, dia kehabisan kata-kata. Akhirnya, dia berusaha mengalihkan pembicaraan dengan canggung. Susan melihat sekeliling, mencari topik lain, tetapi tidak menemukan apa-apa. Akhirnya, dia kembali berbicara tentang dirinya sendiri, "Aku lapar." Pandangannya terus mengikuti sosok Sigit. Pria itu membuka mulut, tetapi hanya mengatakan satu kata, "Oh." "Kok cuma bilang 'oh'?" Susan tampak terkejut. Dia tidak menyangka reaksi Sigit akan sedatar itu, bahkan bisa dibilang tidak peduli sama sekali. Sigit pura-pura tidak mengerti. "Lalu kenapa? Apa aku perlu mentransfer uang supaya kamu bisa makan?" "Bukan itu maksudku, aku hanya ... " Kalimatnya belum selesai, tapi suaranya perlahan-lahan melemah. Sigit memandangnya sambil tertawa. Dia tentu tahu apa yang ingin dikatakan Susan. Dulu, Susan sangat pemilih soal makanan, ditambah pekerjaannya sebagai pengacara membuat pola makannya tidak teratur. Jadi, setiap kali dia bilang lapar, bahkan jam tiga pagi sekalipun, Sigit pasti bangun dan memasak untuknya. Namun sekarang, dia tidak lagi peduli apakah Susan akan sakit maag atau tidak. "Kalau kamu punya uang, pergi makan saja sendiri. Aku masih ada acara kumpul nanti, jadi harus pergi sebentar." Setelah bicara, Sigit langsung berbalik, bersiap kembali ke kamar untuk mengganti pakaian. Namun, belum sampai dua langkah, Susan menarik tangannya. Sigit menoleh, kembali bertemu pandang dengan wajah Susan yang kelam. "Sudah malam begini, kamu mau keluar? Mau ke mana?" Sigit tidak tahu kenapa Susan tiba-tiba marah. Dia mencoba melepaskan tangannya, tetapi genggaman Susan makin erat. Merasakan sakit di pergelangan tangannya, Sigit mengernyit dan menghela napas pelan. "Lepaskan. Ini cuma kumpul biasa, kok." Sigit tetap tidak banyak menjelaskan, tetapi bagi Susan, itu sulit diterima. "Tapi dulu kamu nggak pernah seperti ini ... " Benar. Sigit tidak akan pernah meninggalkannya karena hal lain. Kalau itu Sigit yang dulu, begitu mendengar Susan bilang lapar, dia pasti langsung pergi ke dapur. Mana mungkin punya pikiran untuk pergi keluar. Namun sekarang, Sigit tidak mau repot lagi. Karena bagaimanapun juga, dia sudah memutuskan untuk meninggalkan Susan.
Previous Chapter
1/25Next Chapter

© Webfic, All rights reserved

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.