Bab 1
"Jujur saja, kamu pernah melakukannya dengan Chloe, 'kan?"
Suara serak seorang pria terdengar melalui celah pintu sehingga membuatku yang hendak masuk terhenti sejenak.
Melalui celah pintu, aku melihat Reynard duduk di posisi tertinggi dengan bibir yang agak terkatup. "Dia yang menggodaku duluan, tapi aku nggak tertarik."
"Reynard, jangan bicara kayak gitu. Chloe itu wanita yang diakui di komunitas kita, banyak pria yang menginginkannya, tahu."
Orang yang berbicara adalah Michael Maverick, sahabat Reynard, sekaligus orang yang menyaksikan hubungan sepuluh tahunku dengan Reynard.
"Kami terlalu akrab, mengerti?" Reynard mengerutkan keningnya.
Saat berusia 14 tahun, aku dikirim ke rumah keluarga Avalon dan itu juga adalah pertama kalinya aku bertemu dengan Reynard. Saat itu, semua orang memberitahuku kalau orang yang akan aku nikahi di masa depan adalah Reynard.
Sejak saat itu, kami hidup bersama selama sepuluh tahun.
"Ya juga, sih. Kalian kerja di kantor yang sama sepanjang hari dan terus bertemu. Waktu pulang ke rumah, kalian makan di meja makan yang sama. Mungkin kamu bahkan tahu berapa kali dia buang air besar dan kentut dalam sehari."
Setelah bercanda, Michael menggerutu beberapa kali. "Sekarang bukan lagi zaman di mana cinta tumbuh seiring berjalannya waktu. Harus ada rasa misteri di antara pria dan wanita, sesuatu yang diinginkan tapi nggak bisa didapat baru bisa ada rasa dan sensasi."
Reynard diam. Dia tidak bisa menyangkal kata-kata Michael.
"Kalau gitu, apa kamu masih akan menikahinya?" Pertanyaan Michael membuat napasku tercekat.
Orang tua Reynard meminta kami untuk mendaftarkan pernikahan, tetapi Reynard tidak mengatakan ya atau tidak, dan aku juga tidak bertanya padanya. Michael bertanya untukku.
Reynard tidak menjawab.
Michael tersenyum. "Nggak mau menikahinya?"
"Bukan."
"Berarti mau, tapi nggak rela, 'kan?" Michael dan Reynard sudah bersama sejak kecil, jadi mereka saling memahami pikiran satu sama lain.
"Michael, kamu pernah dengar sebuah pepatah nggak?" Reynard tersenyum tipis.
"Apa?"
"Rasanya hambar, tapi sayang untuk dibuang." Reynard menghisap sebatang rokok dan asap rokok itu memburamkan wajah yang telah aku kagumi selama sepuluh tahun.
Hatiku terasa sesak. Ternyata, aku sudah menjadi hal yang tidak berarti baginya.
"Jadi, kamu mau menikahinya atau nggak?" tanya Michael lagi.
Reynard menatap ke depan dan meliriknya sekilas, "Kamu sangat ingin tahu jawabannya, apa kamu juga punya perasaan padanya? Gimana kalau aku memberikannya padamu?"
Aku ini seorang manusia yang hidup, tetapi seolah-olah hanya sebuah barang yang diabaikan dan bisa dia berikan begitu saja.
Meski itu kucing yang Reynard pelihara, setelah sepuluh tahun, dia pasti punya perasaan pada kucingnya dan tidak akan bersikap sembarangan seperti ini.
Betapa tidak berartinya aku baginya.
Sementara dia adalah cahayaku selama sepuluh tahun ini, dia adalah segalanya bagiku.
Kata-katanya sangat menyakitiku. Tenggorokanku terasa asin dan pahit …
Aku menunduk, melihat kartu keluarga di ujung jariku, dan menggigit bibirku erat-erat.
"Heh." Michael mencibir, "Kamu bilang apa, sih? Aku nggak mungkin menggoda istri temanku. Aku belum putus asa sampai kayak gitu."
Reynard mematikan rokoknya di asbak, lalu berdiri dari sofa. "Sana pergi. Kedatanganmu hanya membuatku makin kesal."
"Bukan aku yang membuatmu kesal, tapi Chloe. Kalau kamu benar-benar nggak punya perasaan padanya, lebih baik katakan dengan jujur biar dia nggak membuang-buang waktu dan bisa mencari pasangan yang lebih baik." Michael meninggalkan kata-kata ini, mengambil jaket di sofa, berdiri, dan berjalan keluar.
Saat pintu terbuka, Michael terkejut melihatku yang berdiri di luar, lalu mengusap hidungnya dengan canggung. Dia tahu kalau aku mendengar pembicaraan mereka.
Dia tersenyum dengan wajah tenang. "Cari Reynard, ya? Dia ada di dalam."
Jari-jariku yang memegang kartu keluarga terasa kesemutan dan aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
Michael melirik benda di tanganku, bibirnya bergerak sedikit, dan dia mendekatkan dirinya kepadaku. "Pikirkanlah apa yang sebenarnya kamu inginkan."
Bahunya menyentuh bahuku, lalu dia melangkah pergi.
Kartu keluarga di tanganku terasa seperti besi panas yang berat. Aku menelan air liur. Setelah beberapa saat, aku baru bisa mendorong pintu dan masuk ke dalam.